Repost bossdarwordpress.com
Beberapa tahun terakhir ini banyak profesor-profesor dan ilmuwan-ilmuwan senior Barat di bidang politik dan sosiologi yang meneliti kembali tentang G30S yang melahirkan Supersemar, 50 tahun lalu. Mereka tertarik karena ada temuan informasi-informasi baru, dari beberapa pelaku kunci, yang baru terbuka setelah 1998.
Para peneliti senior Barat itu — antara lain Anderson, McVey, Crouch, Wertheim, Roosa, Scott, Wieringa dll — tinggal di negara-negara kapitalis. Mereka bukan simpatisan komunis apalagi PKI. Mereka tak punyakepentingan politik maupun ekonomi atas kejadian-kejadian di Indonesia. Hanya karena rasa keadilannya tersentuh oleh pembunuhan massal ratusan ribu orang saat itu. Integritas akademiknya tertantang untuk menguak misteri di balik versi resmi pemerintah Orba yang — menurut kajian mereka — tidak masuk akal.
Salah satu kajian dari Profesor bidang sosiologi dan kesetaraan gender di University of Amsterdam
Perkembangan menarik lainnya adalah Laporan Intelijen yang disusun oleh gabungan CIA, NSA(National Security Agency), dan DIA (Defense Intelligence Agency) untuk Presiden AS Lyndon B. Johnson, selanjutnya dalam tulisan ini disebut “Laporan CIA“. Dokumen penting dan sensitif itu saat ini sebagiansudah boleh diakses publik, meski ada beberapa kata dan kalimat yang masih disensor.
Dokumen CIA yang kini sudah bisa diakses publik
Laporan CIA itu merupakan dokumen kredibel yangmengagetkan dan menjungkirbalikkan pemahaman kita selama ini. Teori yang dianut sebagian kalangan bahwaCIA mendalangi G30S, ternyata salah. CIA memangmerancang skenario “kudeta komunis yang dirancang untuk gagal”, tapi tak pernah mendalanginya secara langsung.
Sejak Juli 1965, CIA menjalankan “low-posture policy”dengan agak mundur dan lebih banyak jadi pengamat. Mereka kaget dan bingung sendiri dengan kejadianG30S. Kontak intensif CIA dengan TNI AD baru dimulai lagi tanggal 1 November 1965, ketika dihubungi olehBrigjen Sukendro, perwira intel di bawah MenpangadMayjen Soeharto.
Di sisi lain, dengan terbukanya dokumen-dokumenLaporan CIA itu, versi bahwa G30S adalah murni gerakan PKI seperti yang dikatakan rejim Orde Baru, juga salah. Bulan Maret dan April 1965 CIA mendesain skenario“kudeta gagal”, yakni menjebak PKI agar ada alasan untuk memberangus PKI guna menancapkan kuku Barat di Indonesia. Enam bulan sebelum G30S, Dubes Jonesmengatakan itulah satu-satunya cara yang masuk akal jika ingin menyingkirkan komunisme di Indonesia. Hal ini akan dipaparkan pada butir 4 (Manuver CIA).
Yang mengagetkan, dalam Laporan CIA tanggal 1 Oktober s.d. 22 Oktober 1965, ternyata CIA tak percaya Aidit menyetujui pembunuhan jenderal. Dalam memo internal mereka, Sekretariat Negara AS bingung mencarilogika politik dan ekonomi, mengapa parpol yang sudah di atas angin perlu melakukan subversi.
Fakta penting lain yang terungkap adalah Laporan CIAtanggal 10 Maret 1966. Adam Malik diutus Soeharto untuk melobby Dubes CIA Green agar mendukung Soeharto sebagai front man. Menurut laporan CIA itu, Adam Malik menginformasikan bahwa kubu Soeharto sudah siap dengan 22 batalyon di sekitar Jakarta untuk menyerang Soekarno secara fisik, sehari sebelum ditandatanganinya Supersemar.
Tulisan ini dibuat dengan merangkum berbagai kajian para profesor dan ilmuwan Barat, kesaksian beberapapelaku lokal, transkrip-transkrip persidangan Mahmilub, serta temuan-temuan terakhir dari laporan tiga Badan Intelijen AS (CIA, NSA dan DIA) tersebut di atas.
1. Benang Merah Tujuh Jenderal
1.1. Dugaan Korupsi Kol. Soeharto
Peristiwa penting terkait tujuh jenderal korban G30S adalah dugaan keterlibatan korupsi danpenyelundupan yang dilakukan oleh Kol. Soehartoketika menjabat sebagai Pangdam Diponegoro. Kasus ini dilaporkan ke MBAD oleh Kol. Pranoto, yang kelak ditunjuk oleh Soekarno untuk jadi Menpangadmenggantikan A. Yani (sumber: Pranoto, “Catatan Jenderal Pranoto Reksosamodra”).
Pranoto menyebutkan penyelewengan keuangan itu berupa barter liar, monopoli cengkeh dari asosiasi gabungan Pabrik-pabrik Rokok Kretek Jawa Tengah, penjualan besi tua yang disponsori Liem Sioe Liong, Oei Tek Young, dan Bob Hassan.
Liem Sioe Liong dan Soeharto, ketika sudah jadi Presiden
Menurut Prof. R.E. Elson, PhD, peneliti dari University of Queensland, dugaan korupsi Kol. Soeharto dilakukan melalui YPTE (Yayasan Pembangunan Teritorium Empat) yang didirikannya tahun 1957. YPTE bekerjasama dengan staf Soeharto, Soejono Hoemardani, mendirikan NV Garam di Salatiga. Soejono kemudian membeli separuh saham PT Dwi Bakti. Separuh saham lainnya diambil oleh anak angkat Gatot Subroto, yaituBob Hassan dan pengusaha Sukaca.
YPTE didirikan dengan modal Rp 419.352,- dari pajak kopra dan sumbangan Persatuan Pabrik Rokok Kudus. Dalam waktu singkat, modal YPTE menjadi Rp 18 juta, atau meningkat 4300% (sumber: Elson, “Suharto: A Political Biography”). Menariknya, modus operandi bisnis lewat yayasan ini kemudian marak terjadi pada rejimOrde Baru.
1.2. Tujuh Jenderal Pemeriksa
Ketika itu, KASAD A.H. Nasution tengah membentuk tim pemeriksaan untuk membersihkan jajarannya dari korupsi. Asisten KASAD A. Yani marah besar dengankasus dugaan korupsi Kol. Soeharto. Dugaan korupsi itu kemudian ditangani oleh tim pemeriksa MBAD yang diketuai Suprapto dengan anggota S. Parman, MTHaryono, dan Sutoyo. Namun proses hukum dihentikan oleh Wakil KASAD Gatot Subroto.
Menariknya, enam jenderal yang memeriksa dugaan korupsi itu “kebetulan” sama dengan tujuh jenderalkorban G30S. Hanya D.I. Panjaitan yang tak masuk dalam tim itu.
Akibat kasus tersebut, Kol. Soeharto dicopot jabatannya sebagai Pangdam Diponegoro, digantikan oleh Kol. Pranoto. Soeharto kemudian disekolahkan keSeskoad di Bandung.
Ketika di Seskoad, Soeharto dicalonkan menjadi Ketua Senat. Namun D.I. Panjaitan menentangnya, mengingat latar belakang Soeharto yang kurang bersih dalam kasus dugaan korupsi dan penyelundupan itu.
Dengan demikian, lengkaplah tujuh jenderal yangmenentang kasus korupsi Kol. Soeharto itu“kebetulan” sama dengan tujuh jenderal yang dijadikan target G30S.
Tujuh jenderal pemeriksa dugaan korupsi Kol. Soeharto
1.3. Trio Intel
Catatan penting lainnya dari Kodam Diponegoro itu adalah terbentuknya trio intel Soeharto-Ali-Yoga. Soeharto (ketika itu Letkol) dinaikkan pangkat dan diangkat jadi Pangdam Siliwangi karena manuver Ali Murtopo dan Yoga Sugama menyabot Kol. Bambang Supeno, yang pengangkatannya hampir ditandatangani Presiden (sumber: Soebandrio, “Kesaksianku Tentang G30S”).
Keterkaitan trio ini terus berlanjut. Ketika Soeharto menjabat sebagai Pangkostrad, ia menarik pulang Yoga Sugama dari tugasnya sebagai Atase Militer di Yugoslavia, dan mengangkatnya jadi Kepala Intelijen Kostrad. Menurut Kepala Badan Pusat Intelijen Soebandrio, Soeharto sengaja membentuk jaringan intel sendiri untuk menyabot kebijakan-kebijakan Soekarno, antara lain soal Ganyang Malaysia yang akan dibahas pada butir 3.1 (Sabotase Petinggi Kanan).
Pangkostrad Mayjen Soeharto
Trio Soeharto-Ali-Yoga ini juga membentuk jaringan dengan Kol. George Benson, intel senior CIA yang ditempatkan sebagai penasehat civic action di Kedubes AS dari tahun 60an hingga 70an. Dari jaringan ini Ali-Yoga dapat memperoleh banyak informasi intelijen asing. Hal ini akan dibahas lebih lanjut pada butir 4 (Manuver CIA).
2. Segitiga PKI-AD-Soekarno
2.1. Realitas Politik
Sentra kekuatan politik pasca Dekrit Presiden 1959 bertumpu pada tiga pilar: PKI, Angkatan Darat (AD) danSoekarno. Ketika itu, PKI adalah parpol legal denganbasis massa jutaan orang sampai ke pelosok-pelosok daerah. Kalkulasi politik saat itu, jika dilakukan Pemilu lagi setelah 1955, besar kemungkinan PKI akan menang. Oleh sebab itu Soekarno menjalankan politik Demokrasi Terpimpin. Tak ada lagi Pemilu, antara lain untuk menjaga keseimbangan agar PKI tidak jadi besar sendirian.
Di sisi lain, AD sering mengirim perwira untuk belajar di AS dan menjalin koneksi di sana. Kondisi ini dipergunakan oleh Pemerintah AS untuk menciptakanagen-agen “pro-Barat” untuk melawan komunisme (Blok Timur). Untuk itu, AS memberi bantuan pelatihan, memberi sumbangan, menjualpersenjataan, serta memberi bantuan keuangan (sumber: Dr. Peter Dale Scott, “The United States and the Overthrow of Sukarno”, 1965-1967).
Satu-satunya kekuatan politik yang mencegah AD dan PKI saling cakar-cakaran adalah pilar ketiga, yakniSoekarno sebagai penyeimbang. Realitas politik saat itu membuat Soekarno, mau tidak mau, harusmerangkul PKI, parpol yang kemungkinan besar akan menang jika ada pemilu. Di sisi lain, Soekarno jelas harusmerangkul AD. Ia membutuhkan kedua kekuatansayap kiri dan sayap kanan, yang merupakan realitas politik saat itu, untuk menjalankan misi-misinya, seperti New Emerging Forces (NEFO), Ganyang Malaysia, dll.
Demokrasi Terpimpin
2.2. Jenderal Pro-Barat
Ketika itu, baik di AD, AU maupun AL, terdapat 3 golongan perwira tinggi, yaitu golongan yang berorientasi kiri, tengah, dan kanan. Di AD, parapimpinan Komandonya kebanyakan kanan antikiri. Menpangad A.H. Nasution adalah “Golden Boy” AS yang dikenal gigih meyakinkan para pembesar di Washington tentang komitmennya melawan komunisme. Gabungan Kepala-kepala Staf AS memberi bantuan untuk ADpada 1958 sebagai dukungan agar Nasution dapat melaksanakan rencananya untuk mengendalikan kaum komunis (sumber: Scott, “United States and the Overthrow of Sukarno”, hlm 246).
Maka terjadilah peristiwa 1960 dimana AD haluan kanan, melalui Sukendro, memberantas PKI pada Juli-September 1960, yang berujung pada desakan perwira-perwira pro-Barat terhadap Nasution agar melakukankudeta pada Soekarno (sumber: CIA – Indonesia, 1965, hlm 190-191). Soekarno segera menghentikan gerakan ini, dan “mengasingkan” Sukendro selama 3 tahun untuk studi di University of Pittsburgh.
Sepak terjang Nasution yang “militan Barat” membuat Soekarno — yang dikenal anti nekolim — menjadi gerah. Presiden mengganti posisi Nasution sebagai Menpangad dengan A. Yani. Nasution ditempatkan sebagai Kepala Staf ABRI, yang hanya mengurus administrasi tanpa pasukan. Dengan kata lain, tahun 1962 Nasution masuk kotak, tapi tetap dimuliakan (naik jadi Ka Staf ABRI). Yani kemudian mengganti beberapa Pangdam yangpro-Nasution. Sejak itu, friksi yang tajam antaraNasution dan Yani diketahui banyak kalangan termasuk di luar AD (sumber: Soebandrio, “Kesaksianku tentang G30S”).
Yani dikenal antikomunis. Ia pun dikenal pro-Barat, memiliki hubungan yang sangat erat dengan penasehatcivic action Kol. George Benson (sumber: B. Evans, “Influence of the United States Army,” hlm 28-29). Tapi setidaknya, di mata Soekarno, Yani kooperatif dan tidak sefrontal Nasution. Yani dikenal loyal terhadap Soekarno, meski tak selalu sependapat dengan kebijakan-kebijakannya. Yani sering disebut-sebut sebagai “Jenderal Kesayangan Bung Karno“.
A. Yani, “Jenderal Kesayangan Bung Karno”
2.3. Embrio “Dewan Jenderal”
Sekitar 1963, Menpangad Yani membentuk kelompok pemikir (kolega AS menyebutnya “brain trust”) yang terdiri dari Jend. Suprapto, Jend. Haryono, Jend. S. Parman, dan Jend. Sukendro yang ia tarik pulang dari “pengasingan” di AS. Mereka juga bertindak selaku “wanjakti” (istilah sekarang), menentukan kepangkatan di jajaran AD. “Kelompok rahasia” ini kemudian didesas desuskan orang sebagai “Dewan Jenderal” (sumber: CIA, Indonesia – 1965).
Jika kita melihat susunannya, empat jenderal brain trustitu (termasuk Yani diluar Sukendro) sama dengan “Dewan Jenderal” target korban G30S. Tapi tidak menjawab pertanyaan mengapa Sutoyo, Panjaitan danNasution juga jadi target. Dan tidak menjawab pertanyaan mengapa Sukendro tidak jadi target.
3. Ganyang Malaysia
Peristiwa kunci yang menjadi triger G30S danSupersemar, yang jarang disinggung kaitannya, adalah kebijakan Ganyang Malaysia. Memang Malaysia yangcari gara-gara duluan, melanggar perjanjian batas wilayah yang ditandatangani dengan Indonesia di Manila. Berbagai upaya damai lewat perundingan dilakukan RI, tapi tak digubris Malaysia. Soekarno berang dan menuding Malaysia sebagai boneka Inggris, anteknekolim.
Soekarno inspeksi pasukan
3.1. Sabotase Petinggi Kanan
Di luar dugaan, dan mungkin tak banyak orang tahu,Komando AD — yang sebelumnya sangat mendukung dan jadi Panglima dalam Pembebasan Irian Barat — ternyata tidak mendukung kebijakan Ganyang Malaysia. Pasalnya, para jenderal pro-Barat tidak menghendaki perang dengan Inggris (sumber: Sundhaussen, “Road to Power”, hlm 188).
Tapi pembangkangan ini tak dilakukan terang-terangan. Di depan Soekarno, AD mendukung dan menempatkanMayjen Soeharto sebagai Wakil Panglima Kolaga, di bawah Panglima Omar Dani.
Tapi di belakang Soekarno, AD melakukan sabotaseyang meliputi dua hal: di lapangan dan di jalur diplomatik. Di lapangan, Soeharto selaku Wakil Panglima menentukan penempatan personil dan persenjataan untuk operasi Ganyang Malaysia. Sesuai misi sabotase dari MBAD, Soeharto memperlambatkegiatan pengiriman pasukan, membiarkan pasukan-pasukan di dekat perbatasan Malaysia terus meneruskekurangan personil dan perlengkapan, serta tidak diberi kapal-kapal pengangkut sehingga mereka tak dapat menyerbu Malaysia (sumber: Sundhaussen, “Road to Power”, hlm 189 dan J. A. MacKie, “Confrontation”, hlm 214).
Di jalur diplomatik, MBAD menugaskan Soeharto untuk mengirim agen-agen intel (koneksi Ali-Yoga) untuk menghubungi para pejabat tinggi Malaysia dan Inggrisguna meyakinkan mereka bahwa AD tak menghendaki perang (sumber: ibid.).
3.2. Bantuan dari RRC
Di tengah percaturan Perang Dingin, RRC menawarkanbantuan peralatan militer kepada RI untuk 40 batalyon. Peralatannya lengkap, mulai dari senjata manual, otomatis, tank dan kendaraan lapis baja. Semua itu gratis dan tanpa syarat. Tawaran RRC disampaikan melalui jalur resmi diplomatik, yakni Menlu. Para pemimpin China sangat gembira ketika dikabari bahwa Bung Karno menerima tawaran tersebut, meski ia belum menentukan kapan direalisasikannya (referensi disini).
Soekarno dan Mao Tse Tung
3.3. Keluar dari PBB
Kalangan Barat kuatir jika Malaysia jatuh ke tangan Indonesia. Peta kekuatan Barat-Timur di Asia Tenggara bisa berubah total. PBB membuat manuver politikdengan mengangkat Malaysia sebagai anggota tidak tetap Dewan Keamanan PBB. Hal ini membuat Bung Karno marah dan memutuskan Indonesia keluar dari PBB tanggal 7 Januari 1965.
Bung Karno mengkritisi PBB yang cuma jadi perpanjangan tangan nekolim
4. Manuver CIA
4.1. Skenario Presiden Boneka
Dubes AS untuk Indonesia saat itu, Howard Jones, merupakan tokoh yang bersahabat karib denganSoekarno. Adalah Dubes Jones yang mendekatkanPresiden Soekarno dengan Presiden J.F. Kennedy, yang akhirnya akrab secara ideologis maupun personal. Saking simpatinya, Dubes Jones menulis buku berjudul“Indonesia The Possible Dream”. Ia meyakinkan pihak AS bahwa Soekarno masih sangat dicintai dan memilikilegitimasi yang kuat di Indonesia. Upaya mendongkel Soekarno lewat cara-cara kasar seperti yang terjadi tahun 1960 lewat Sukendro-Nasution tak akan berhasil.
Buku “Indonesia The Possible Dream” karya Dubes Jones
Maret 1965, Dubes Jones mengusulkan, agar dapat berhasil di Indonesia, kudeta harus diberi kedok yang sebaliknya: usaha untuk menyelamatkan PresidenSoekarno. AD harus tampil sebagai penyelamat Soekarno dan bukan sebagai penggali kuburnya. Dewan Keamanan Nasional AS memahami bahwapemberantasan PKI harus “bisa dibenarkan secarapolitik dari sudut kepentingan Indonesia sendiri”(sumber: “American-Indonesian Relations,” presentasi oleh Howard P. Jones kepada Chiefs of Mission Conference, Baguio, Filipina).
Soekarno: “I am very much attached to Ambassador Jones. He understands me.”
Dari situ timbul ide untuk pura-pura menyelamatkan Soekarno dan kemudian mendudukkannya sebagaipresiden boneka, mengingat Proklamator itu masih dicintai rakyatnya.
4.2. Skenario “Kudeta Gagal”
Sampai bulan April 1965, Dubes Jones sendirimeragukan bahwa PKI akan melakukan kudeta (agar ada alasan bagi AD untuk memberantasnya). “PKIberada dalam posisi yang terlalu baik lewat taktik kerjasamanya dengan Soekarno dewasa ini,” katanya(sumber: ibid.).
Strategi kemudian berkembang jadi skenario “kup PKI prematur” yang “sengaja dirancang untuk gagal” sehingga memberi “kesempatan yang sah dan memuaskan bagi AD untuk menghancurkan PKI dan membuat Soekarno sebagai tawanan niat baik AD”(sumber: Neville Maxwell, peneliti Inggris, Journal of Contemporary Asia 9 no. 2, 1979).
4.3. Ganti Dubes
Juli 1965, Dubes Jones yang dekat dengan Soekarno diganti dengan Dubes Marshall Green, Top Executive CIAdi bidang subversif. Sebelumnya, Green ditugaskan di Korsel dan sukses membantu kudeta militer JenderalPark Chung Hee. Green diberi wewenang untukbersikap lebih keras terhadap Soekarno.
Dubes Green dan Soeharto
Seiring dengan itu, AS menjalankan “low-posture policy”dengan mengurangi peran intelijen mereka, termasuk pengurangan personil Kedubes AS besar-besaran, sebagai antisipasi kemungkinan chaos dan demonstrasi, sekaligus agar rencana konflik AD dengan PKI tampak seperti persoalan domestik (sumber: Bunnel, “American Low-Posture Policy, hlm 50).
Berdasarkan fakta-fakta tersebut di atas, dapat disimpulkan bahwa AS memang merancang skenario “kudeta komunis yang gagal” agar ada alasan bagi ADuntuk menyerang PKI. Tapi belum sampai pada detailaction plan. Tak sulit membayangkan bahwa ide tentang “kudeta gagal” — yang gencar disosialisasikan olehDubes Jones di kalangan diplomat asing itu — juga disalurkan ke aliansi lokal lewat penasehat civic action,Kol. George Benson, figur yang dihormati dan dikagumi ibarat mentor bagi para perwira intel, termasuk Ali-Yoga.
Artikel mengenang Kol. George Benson di Jakarta Post
Setelah itu, CIA mengurangi perannya lewat taktik “low-posture policy”. Sehingga, seluruh rentetan peristiwa sejak Juli s.d. 31 Oktober 1965 adalah murni gerakan lokal ibarat “bola liar”. Dari berbagai data yang tersedia, CIA tidak merancang detail sampai bagian yang paling sulit: isu apa yang bisa membuat PKI mau lakukan kudeta.
5. Isu Dewan Jenderal
5.1. Angkatan Kelima
Kembali pada situasi Konfrontasi. Seperti telah dikemukakan pada butir 3.1, pimpinan Komando AD tidak mendukung operasi Ganyang Malaysia, disebabkan para elite yang pro-Barat tak ingin perang dengan Inggris. Meski secara formal mendukung, namun di lapangan justru menyabot, serta membina relasi intel dengan pemerintah Inggris dan Malaysia.
Karena kurangnya dukungan AD terhadap Ganyang Malaysia, serta melihat tawaran bantuan peralatan militer dari RRC seperti diuraikan pada butir 3.2, Soekarno bermaksud membentuk “Angkatan Kelima”. Ia sebenarnya tak pernah menjelaskan apa dan siapa yang dimaksud dengan Angkatan Kelima. Jika dilihat dari Surat Keputusan Presiden, tampaknya yang dimaksud Angkatan Kelima adalah pasukan sukarelawan, dari kalangan mana saja.
Keppres tentang Aksi Sukarelawan
Namun, dalam suasana saling curiga antara 2 pilar kekuatan AD dan PKI, pihak AD berkesimpulan bahwa Angkatan Kelima adalah buruh dan tani yangdipersenjatai RRC. Hal ini yang kemudian, di era Orde Baru, berkembang jadi pemutusan hubungan diplomatik dengan RRC, dilanjutkan dengandiskriminasi WNI keturunan Cina menjadi “warga kelas dua”: nama harus diganti, KTP ditandai, karir di birokrasi dibatasi, hari raya tak boleh dirayakan, dll.Diskriminasi yang terus berlanjut selama puluhan tahun di rejim Orba.
Padahal sebenarnya, RRC tidak “diam-diam mempersenjatai PKI”, melainkan menawarkan bantuan peralatan militer kepada pemerintah RI secara resmi lewat jalur diplomatik (Menlu). Penggunaanya untuk operasi Ganyang Malaysia, bukan untuk kudeta atauperang saudara dengan AD. Jumlah persenjataannya juga untuk 40 batalyon saja, bukan untuk jutaan orangseperti yang kemudian dipropagandakan.
Menpangad Yani menolak pembentukan Angkatan Kelima. Hubungan AD semakin merenggang dengan Presiden. Sementara, di sisi lain, friksi ini membuat PKI jadi semakin merapat ke Presiden. Dari situ timbul isu adanya “beberapa jenderal yang tidak puas dengan Presiden akan melakukan kudeta”. Isu ini menyulut kubu pro-Soekarno, baik di kalangan PKI, angkatanmiliter lain, termasuk faksi perwira-perwira AD yangpro-Soekarno.
Ketidaksukaan kelompok kiri terhadap kelompok kanan bahkan sampai ke masalah pribadi. Mereka menyorotigaya hidup Yani cs yang mereka anggap kebarat-baratan dan borjuis. Sehingga, timbul istilah “kabir” (kapitalis birokrat). Juga sebutan-sebutan kebencian lain seperti “jenderal antek CIA” yang akan “menggulingkan Pemimpin Besar Revolusi”. Dari situlah isu “Dewan Jenderal” menjadi panas.
5.2. Dokumen Gilchrist
Bersamaan dengan itu, terbit apa yang disebut sebagai Dokumen Gilchrist. Sir Andrew Gilchrist adalah Dubes Inggris sekaligus agen British Special Operations Executive. Pada sebuah demo di rumah Bill Palmer (agen CIA), ditemukan telegram dari Gilchrist bahwaPemerintah Inggris akan menggulingkan Soekarnolewat “our local army friends”.
Dubes Inggris Sir Andrew Gilchrist
Dokumen tersebut kemudian sampai di meja Kepala Badan Pusat Intelijen Dr. Soebandrio, diantar oleh seorang kurir yang mengaku bernama Kahar Muzakar,tanpa identitas dan alamat.
Sebenarnya, jika diteliti, besar kemungkinan dokumen Gilchrist itu palsu. Ada beberapa grammatical error yang elementer, yang tampaknya mustahil ditulis oleh seorang diplomat ulung yang piawai memainkan kata seperti Sir Andrew Gilchrist. Dari tatabahasanya, terlihat bahwa yang menulis “dokumen Dubes Inggris” itu bukan orang Inggris.
Salinan Dokumen Gilchrist. Tanda [sic] di bagian grammatical errorKejanggalan kedua, dokumen itu ditemukan bukan hasil kelihaian intel pemerintah, melainkan ditemukan olehdemonstran (dimana banyak orang punya kesempatan untuk menyusupkannya). Ketiga, dokumen itu diantar ke meja Kepala Badan Pusat Intelijen Soebandrio oleh kuriryang tak jelas. Sangat mencurigakan sebenarnya.
Namun Soebandrio percaya dan membawa dokumen Gilchrist ke Presiden. Menurutnya, Presiden kaget membaca dokumen yang provokatif itu. Soekarno berkali-kali menanyakan, apakah dokumen itu asli. Kepala Badan Pusat Intelijen itu mengatakan bahwa ia telah mengecek lewat intel-intelnya dan meyakinibahwa dokumen itu asli. Soekarno kemudianmemanggil jajaran tinggi angkatan bersenjatanya. Semua hadir, kecuali Menpangau Omar Dani yang tengah bertugas di front Malaysia.
Tanggal 22 Mei 1965, di rapat Presiden dengan para Panglima itu Menpangad Yani menjelaskan bahwamemang ada yang disebut dengan Dewan Jenderal, tapi untuk urusan penilaian kepangkatan, bukan untukkudeta. Hal ini mengacu pada kelompok brain trust CIA yang dijelaskan pada butir 2.3.
5.3. Pemicu Penculikan Dewan Jenderal
Melihat besarnya kemungkinan bahwa Dokumen Gilchrist itu palsu, bisa disimpulkan bahwa yang terjadi sebenarnya adalah taktik disinformasi. Provokasi subversif semakin bertambah, lewat isu bahwa Soekarno sakit keras, untuk menimbulkan suasana genting seolah Dewan Jenderal akan kudeta pada Hari ABRI, 5 Oktober 1965.
Tanggal 26 September 1965 beredar isu adanyarekaman suara rapat Dewan Jenderal. Dikatakan bahwa rekaman itu adalah hasil rapat Dewan Jenderal di Akademi Hukum Militer tanggal 21 September 1965, berisi susunan Kabinet Dewan Jenderal setelah mengkup Soekarno tanggal 5 Oktober 1965. Isi Kabinet tersebut, antara lain A.H. Nasution (Perdana Menteri),A. Yani (Waperdam/Menhan), M.T. Haryono (Menlu),Suprapto (Mendagri), S. Parman (Menkeh), dll.
Supaya lebih panas, disebut-sebut bahwa yang bacarencana susunan Kabinet pasca kup 5 Oktober di rekaman itu adalah “suara Jend. S. Parman”. Digosok lagi isu bahwa rekaman itu sudah sampai ke tangan Presiden.
Yang membawa rekaman suara itu adalah Muchlis Bratanata dan Nawawi Nasution dari NU, serta Sumantri dan Agus Herman Simatupang dari IPKI.
Sebenarnya, jika dipikir dengan jernih, bagaimana mungkin rekaman rapat rahasia Dewan Jenderal berisirencana kudeta dibawa-bawa oleh 4 orang sipil. Mengapa pula Dewan Jenderal rapat rahasia di Akademi tempat prajurit belajar. Belum lagi susunan Kabinetnya, berisi jenderal AD semua seolah tak memikirkan realitas politik di Indonesia. Tapi panasnya suhu politik saat itu, tampaknya, membuat banyak pihak begitu mudah dikompori.
Isu rekaman suara ini terungkap di Mahmilub nantinya, namun barang buktinya tak pernah ada. Sehingga, bisa disimpulkan bahwa rekaman suara Dewan Jenderal ini pun palsu. Rekaman yang diedarkan tanggal 26 September itu adalah pemicu terakhir untuk provokasi berikutnya: culik Dewan Jenderal, sebelum kuptanggal 5 Oktober.
Di persidangan Mahmilub terungkap pula bahwa rencana awalnya Dewan Jenderal itu ditangkap untukdihadapkan ke Presiden. Keputusan nantinya diserahkan ke Presiden. Semacam tekanan politik berbau anarkis seperti peristiwa penculikan Rengasdengklok untuk minta ketegasan Soekarno-Hatta lakukan Proklamasi. Menurut para saksi pelaku di Mahmilub, rencana awalnya adalah menculik hidup-hidup, bukan rencana pembunuhan jenderal (sumber: Transkrip Mahmilub, persidangan Sudisman, tanggal 7 Juli 1967).
Bersambung...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar