Jumat, 09 Desember 2016

G30S dan Dugaan Korupsi Kol. Soeharto

Repost bossdarwordpress.com

Beberapa tahun terakhir ini banyak profesor-profesor dan ilmuwan-ilmuwan senior Barat di bidang politik dan sosiologi yang meneliti kembali tentang G30S yang melahirkan Supersemar, 50 tahun lalu. Mereka tertarik karena ada temuan informasi-informasi baru, dari beberapa pelaku kunci, yang baru terbuka setelah 1998.

Para peneliti senior Barat itu — antara lain Anderson, McVey, Crouch, Wertheim, Roosa, Scott, Wieringa dll — tinggal di negara-negara kapitalis. Mereka bukan simpatisan komunis apalagi PKI. Mereka tak punyakepentingan politik maupun ekonomi atas kejadian-kejadian di Indonesia. Hanya karena rasa keadilannya tersentuh oleh pembunuhan massal ratusan ribu orang saat itu. Integritas akademiknya tertantang untuk menguak misteri di balik versi resmi pemerintah Orba yang — menurut kajian mereka — tidak masuk akal.

Salah satu kajian dari Profesor bidang sosiologi dan kesetaraan gender di University of Amsterdam

Perkembangan menarik lainnya adalah Laporan Intelijen yang disusun oleh gabungan CIA, NSA(National Security Agency), dan DIA (Defense Intelligence Agency) untuk Presiden AS Lyndon B. Johnson, selanjutnya dalam tulisan ini disebut “Laporan CIA“. Dokumen penting dan sensitif itu saat ini sebagiansudah boleh diakses publik, meski ada beberapa kata dan kalimat yang masih disensor.

Dokumen CIA yang kini sudah bisa diakses publik

Laporan CIA itu merupakan dokumen kredibel yangmengagetkan dan menjungkirbalikkan pemahaman kita selama ini. Teori yang dianut sebagian kalangan bahwaCIA mendalangi G30S, ternyata salah. CIA memangmerancang skenario “kudeta komunis yang dirancang untuk gagal”, tapi tak pernah mendalanginya secara langsung.

Sejak Juli 1965, CIA menjalankan “low-posture policy”dengan agak mundur dan lebih banyak jadi pengamat. Mereka kaget dan bingung sendiri dengan kejadianG30S. Kontak intensif CIA dengan TNI AD baru dimulai lagi tanggal 1 November 1965, ketika dihubungi olehBrigjen Sukendro, perwira intel di bawah MenpangadMayjen Soeharto.

Di sisi lain, dengan terbukanya dokumen-dokumenLaporan CIA itu, versi bahwa G30S adalah murni gerakan PKI seperti yang dikatakan rejim Orde Baru, juga salah. Bulan Maret dan April 1965 CIA mendesain skenario“kudeta gagal”, yakni menjebak PKI agar ada alasan untuk memberangus PKI guna menancapkan kuku Barat di Indonesia. Enam bulan sebelum G30S, Dubes Jonesmengatakan itulah satu-satunya cara yang masuk akal jika ingin menyingkirkan komunisme di Indonesia. Hal ini akan dipaparkan pada butir 4 (Manuver CIA).

Yang mengagetkan, dalam Laporan CIA tanggal 1 Oktober s.d. 22 Oktober 1965, ternyata CIA tak percaya Aidit menyetujui pembunuhan jenderal. Dalam memo internal mereka, Sekretariat Negara AS bingung mencarilogika politik dan ekonomi, mengapa parpol yang sudah di atas angin perlu melakukan subversi.

Fakta penting lain yang terungkap adalah Laporan CIAtanggal 10 Maret 1966. Adam Malik diutus Soeharto untuk melobby Dubes CIA Green agar mendukung Soeharto sebagai front man. Menurut laporan CIA itu, Adam Malik menginformasikan bahwa kubu Soeharto sudah siap dengan 22 batalyon di sekitar Jakarta untuk menyerang Soekarno secara fisik, sehari sebelum ditandatanganinya Supersemar.

Tulisan ini dibuat dengan merangkum berbagai kajian para profesor dan ilmuwan Barat, kesaksian beberapapelaku lokal, transkrip-transkrip persidangan Mahmilub, serta temuan-temuan terakhir dari laporan tiga Badan Intelijen AS (CIA, NSA dan DIA) tersebut di atas.

1. Benang Merah Tujuh Jenderal

1.1.  Dugaan Korupsi Kol. Soeharto

Peristiwa penting terkait tujuh jenderal korban G30S adalah dugaan keterlibatan korupsi danpenyelundupan yang dilakukan oleh Kol. Soehartoketika menjabat sebagai Pangdam Diponegoro. Kasus ini dilaporkan ke MBAD oleh Kol. Pranoto, yang kelak ditunjuk oleh Soekarno untuk jadi Menpangadmenggantikan A. Yani (sumber: Pranoto, “Catatan Jenderal Pranoto Reksosamodra”).

Pranoto menyebutkan penyelewengan keuangan itu berupa barter liar, monopoli cengkeh dari asosiasi gabungan Pabrik-pabrik Rokok Kretek Jawa Tengah, penjualan besi tua yang disponsori Liem Sioe Liong, Oei Tek Young, dan Bob Hassan.

Liem Sioe Liong dan Soeharto, ketika sudah jadi Presiden

Menurut Prof. R.E. Elson, PhD, peneliti dari University of Queensland, dugaan korupsi Kol. Soeharto dilakukan melalui YPTE (Yayasan Pembangunan Teritorium Empat) yang didirikannya tahun 1957. YPTE bekerjasama dengan staf Soeharto, Soejono Hoemardani, mendirikan NV Garam di Salatiga. Soejono kemudian membeli separuh saham PT Dwi Bakti. Separuh saham lainnya diambil oleh anak angkat Gatot Subroto, yaituBob Hassan dan pengusaha Sukaca.

YPTE didirikan dengan modal Rp 419.352,- dari pajak kopra dan sumbangan Persatuan Pabrik Rokok Kudus. Dalam waktu singkat, modal YPTE menjadi Rp 18 juta, atau meningkat 4300% (sumber: Elson, “Suharto: A Political Biography”). Menariknya, modus operandi bisnis lewat yayasan ini kemudian marak terjadi pada rejimOrde Baru.

1.2.  Tujuh Jenderal Pemeriksa

Ketika itu, KASAD A.H. Nasution tengah membentuk tim pemeriksaan untuk membersihkan jajarannya dari korupsi. Asisten KASAD A. Yani marah besar dengankasus dugaan korupsi Kol. Soeharto. Dugaan korupsi itu kemudian ditangani oleh tim pemeriksa MBAD yang diketuai Suprapto dengan anggota S. Parman, MTHaryono, dan Sutoyo. Namun proses hukum dihentikan oleh Wakil KASAD Gatot Subroto.

Menariknya, enam jenderal yang memeriksa dugaan korupsi itu “kebetulan” sama dengan tujuh jenderalkorban G30S. Hanya D.I. Panjaitan yang tak masuk dalam tim itu.

Akibat kasus tersebut, Kol. Soeharto dicopot jabatannya sebagai Pangdam Diponegoro, digantikan oleh Kol. Pranoto. Soeharto kemudian disekolahkan keSeskoad di Bandung.

Ketika di Seskoad, Soeharto dicalonkan menjadi Ketua Senat. Namun D.I. Panjaitan menentangnya, mengingat latar belakang Soeharto yang kurang bersih dalam kasus dugaan korupsi dan penyelundupan itu.

Dengan demikian, lengkaplah tujuh jenderal yangmenentang kasus korupsi Kol. Soeharto itu“kebetulan” sama dengan tujuh jenderal yang dijadikan target G30S.

Tujuh jenderal pemeriksa dugaan korupsi Kol. Soeharto

1.3.  Trio Intel

Catatan penting lainnya dari Kodam Diponegoro itu adalah terbentuknya trio intel Soeharto-Ali-Yoga. Soeharto (ketika itu Letkol) dinaikkan pangkat dan diangkat jadi Pangdam Siliwangi karena manuver Ali Murtopo dan Yoga Sugama menyabot Kol. Bambang Supeno, yang pengangkatannya hampir ditandatangani Presiden (sumber: Soebandrio, “Kesaksianku Tentang G30S”).

Keterkaitan trio ini terus berlanjut. Ketika Soeharto menjabat sebagai Pangkostrad, ia menarik pulang Yoga Sugama dari tugasnya sebagai Atase Militer di Yugoslavia, dan mengangkatnya jadi Kepala Intelijen Kostrad. Menurut Kepala Badan Pusat Intelijen Soebandrio, Soeharto sengaja membentuk jaringan intel sendiri untuk menyabot kebijakan-kebijakan Soekarno, antara lain soal Ganyang Malaysia yang akan dibahas pada butir 3.1 (Sabotase Petinggi Kanan).

Pangkostrad Mayjen Soeharto

Trio Soeharto-Ali-Yoga ini juga membentuk jaringan dengan Kol. George Bensonintel senior CIA yang ditempatkan sebagai penasehat civic action di Kedubes AS dari tahun 60an hingga 70an. Dari jaringan ini Ali-Yoga dapat memperoleh banyak informasi intelijen asing. Hal ini akan dibahas lebih lanjut pada butir 4 (Manuver CIA).

2. Segitiga PKI-AD-Soekarno

2.1. Realitas Politik

Sentra kekuatan politik pasca Dekrit Presiden 1959 bertumpu pada tiga pilar: PKI, Angkatan Darat (AD) danSoekarno. Ketika itu, PKI adalah parpol legal denganbasis massa jutaan orang sampai ke pelosok-pelosok daerah. Kalkulasi politik saat itu, jika dilakukan Pemilu lagi setelah 1955, besar kemungkinan PKI akan menang. Oleh sebab itu Soekarno menjalankan politik Demokrasi Terpimpin. Tak ada lagi Pemilu, antara lain untuk menjaga keseimbangan agar PKI tidak jadi besar sendirian.

Di sisi lain, AD sering mengirim perwira untuk belajar di AS dan menjalin koneksi di sana. Kondisi ini dipergunakan oleh Pemerintah AS untuk menciptakanagen-agen “pro-Barat” untuk melawan komunisme (Blok Timur). Untuk itu, AS memberi bantuan pelatihan, memberi sumbangan, menjualpersenjataan, serta memberi bantuan keuangan (sumber: Dr. Peter Dale Scott, “The United States and the Overthrow of Sukarno”, 1965-1967).

Satu-satunya kekuatan politik yang mencegah AD dan PKI saling cakar-cakaran adalah pilar ketiga, yakniSoekarno sebagai penyeimbang. Realitas politik saat itu membuat Soekarno, mau tidak mau, harusmerangkul PKI, parpol yang kemungkinan besar akan menang jika ada pemilu. Di sisi lain, Soekarno jelas harusmerangkul AD. Ia membutuhkan kedua kekuatansayap kiri dan sayap kanan, yang merupakan realitas politik saat itu, untuk menjalankan misi-misinya, seperti New Emerging Forces (NEFO), Ganyang Malaysia, dll.

Demokrasi Terpimpin

2.2. Jenderal Pro-Barat

Ketika itu, baik di AD, AU maupun AL, terdapat 3 golongan perwira tinggi, yaitu golongan yang berorientasi kiritengah, dan kanan. Di AD, parapimpinan Komandonya kebanyakan kanan antikiri. Menpangad A.H. Nasution adalah “Golden Boy” AS yang dikenal gigih meyakinkan para pembesar di Washington tentang komitmennya melawan komunisme. Gabungan Kepala-kepala Staf AS memberi bantuan untuk ADpada 1958 sebagai dukungan agar Nasution dapat melaksanakan rencananya untuk mengendalikan kaum komunis (sumber: Scott, “United States and the Overthrow of Sukarno”, hlm 246).

Maka terjadilah peristiwa 1960 dimana AD haluan kanan, melalui Sukendro, memberantas PKI pada Juli-September 1960, yang berujung pada desakan perwira-perwira pro-Barat terhadap Nasution agar melakukankudeta pada Soekarno (sumber: CIA – Indonesia, 1965, hlm 190-191). Soekarno segera menghentikan gerakan ini, dan “mengasingkan” Sukendro selama 3 tahun untuk studi di University of Pittsburgh.

Sepak terjang Nasution yang “militan Barat” membuat Soekarno — yang dikenal anti nekolim — menjadi gerah. Presiden mengganti posisi Nasution sebagai Menpangad dengan A. Yani. Nasution ditempatkan sebagai Kepala Staf ABRI, yang hanya mengurus administrasi tanpa pasukan. Dengan kata lain, tahun 1962 Nasution masuk kotak, tapi tetap dimuliakan (naik jadi Ka Staf ABRI). Yani kemudian mengganti beberapa Pangdam yangpro-Nasution. Sejak itu, friksi yang tajam antaraNasution dan Yani diketahui banyak kalangan termasuk di luar AD (sumber: Soebandrio, “Kesaksianku tentang G30S”).

Yani dikenal antikomunis. Ia pun dikenal pro-Barat, memiliki hubungan yang sangat erat dengan penasehatcivic action Kol. George Benson (sumber: B. Evans, “Influence of the United States Army,” hlm 28-29). Tapi setidaknya, di mata Soekarno, Yani kooperatif dan tidak sefrontal Nasution. Yani dikenal loyal terhadap Soekarno, meski tak selalu sependapat dengan kebijakan-kebijakannya. Yani sering disebut-sebut sebagai “Jenderal Kesayangan Bung Karno“.

A. Yani, “Jenderal Kesayangan Bung Karno”

 2.3. Embrio “Dewan Jenderal”

Sekitar 1963, Menpangad Yani membentuk kelompok pemikir (kolega AS menyebutnya “brain trust”) yang terdiri dari Jend. Suprapto, Jend. Haryono, Jend. S. Parman, dan Jend. Sukendro yang ia tarik pulang dari “pengasingan” di AS. Mereka juga bertindak selaku “wanjakti” (istilah sekarang), menentukan kepangkatan di jajaran AD. “Kelompok rahasia” ini kemudian didesas desuskan orang sebagai “Dewan Jenderal” (sumber: CIA, Indonesia – 1965).

Jika kita melihat susunannya, empat jenderal brain trustitu (termasuk Yani diluar Sukendro) sama dengan “Dewan Jenderal” target korban G30S. Tapi tidak menjawab pertanyaan mengapa Sutoyo, Panjaitan danNasution juga jadi target. Dan tidak menjawab pertanyaan mengapa Sukendro tidak jadi target.

3. Ganyang Malaysia

Peristiwa kunci yang menjadi triger G30S danSupersemar, yang jarang disinggung kaitannya, adalah kebijakan Ganyang Malaysia. Memang Malaysia yangcari gara-gara duluan, melanggar perjanjian batas wilayah yang ditandatangani dengan Indonesia di Manila. Berbagai upaya damai lewat perundingan dilakukan RI, tapi tak digubris Malaysia. Soekarno berang dan menuding Malaysia sebagai boneka Inggris, anteknekolim.

Soekarno inspeksi pasukan

3.1. Sabotase Petinggi Kanan

Di luar dugaan, dan mungkin tak banyak orang tahu,Komando AD — yang sebelumnya sangat mendukung dan jadi Panglima dalam Pembebasan Irian Barat — ternyata tidak mendukung kebijakan Ganyang Malaysia. Pasalnya, para jenderal pro-Barat tidak menghendaki perang dengan Inggris (sumber: Sundhaussen, “Road to Power”, hlm 188).

Tapi pembangkangan ini tak dilakukan terang-terangan. Di depan Soekarno, AD mendukung dan menempatkanMayjen Soeharto sebagai Wakil Panglima Kolaga, di bawah Panglima Omar Dani.

Tapi di belakang Soekarno, AD melakukan sabotaseyang meliputi dua hal: di lapangan dan di jalur diplomatik. Di lapangan, Soeharto selaku Wakil Panglima menentukan penempatan personil dan persenjataan untuk operasi Ganyang Malaysia. Sesuai misi sabotase dari MBAD, Soeharto memperlambatkegiatan pengiriman pasukan, membiarkan pasukan-pasukan di dekat perbatasan Malaysia terus meneruskekurangan personil dan perlengkapan, serta tidak diberi kapal-kapal pengangkut sehingga mereka tak dapat menyerbu Malaysia (sumber: Sundhaussen, “Road to Power”, hlm 189 dan J. A. MacKie, “Confrontation”, hlm 214).

Di jalur diplomatik, MBAD menugaskan Soeharto untuk mengirim agen-agen intel (koneksi Ali-Yoga) untuk menghubungi para pejabat tinggi Malaysia dan Inggrisguna meyakinkan mereka bahwa AD tak menghendaki perang (sumber: ibid.).

3.2. Bantuan dari RRC

Di tengah percaturan Perang Dingin, RRC menawarkanbantuan peralatan militer kepada RI untuk 40 batalyon. Peralatannya lengkap, mulai dari senjata manual, otomatis, tank dan kendaraan lapis baja. Semua itu gratis dan tanpa syarat. Tawaran RRC disampaikan melalui jalur resmi diplomatik, yakni Menlu. Para pemimpin China sangat gembira ketika dikabari bahwa Bung Karno menerima tawaran tersebut, meski ia belum menentukan kapan direalisasikannya (referensi disini).

Soekarno dan Mao Tse Tung

3.3. Keluar dari PBB

Kalangan Barat kuatir jika Malaysia jatuh ke tangan Indonesia. Peta kekuatan Barat-Timur di Asia Tenggara bisa berubah total. PBB membuat manuver politikdengan mengangkat Malaysia sebagai anggota tidak tetap Dewan Keamanan PBB. Hal ini membuat Bung Karno marah dan memutuskan Indonesia keluar dari PBB tanggal 7 Januari 1965.

Bung Karno mengkritisi PBB yang cuma jadi perpanjangan tangan nekolim 

4. Manuver CIA

4.1. Skenario Presiden Boneka

Dubes AS untuk Indonesia saat itu, Howard Jones, merupakan tokoh yang bersahabat karib denganSoekarno. Adalah Dubes Jones yang mendekatkanPresiden Soekarno dengan Presiden J.F. Kennedy, yang akhirnya akrab secara ideologis maupun personal. Saking simpatinya, Dubes Jones menulis buku berjudulIndonesia The Possible Dream. Ia meyakinkan pihak AS bahwa Soekarno masih sangat dicintai dan memilikilegitimasi yang kuat di Indonesia. Upaya mendongkel Soekarno lewat cara-cara kasar seperti yang terjadi tahun 1960 lewat Sukendro-Nasution tak akan berhasil.

Buku “Indonesia The Possible Dream” karya Dubes Jones

Maret 1965, Dubes Jones mengusulkan, agar dapat berhasil di Indonesia, kudeta harus diberi kedok yang sebaliknya: usaha untuk menyelamatkan PresidenSoekarno. AD harus tampil sebagai penyelamat Soekarno dan bukan sebagai penggali kuburnya. Dewan Keamanan Nasional AS memahami bahwapemberantasan PKI harus “bisa dibenarkan secarapolitik dari sudut kepentingan Indonesia sendiri”(sumber: “American-Indonesian Relations,” presentasi oleh Howard P. Jones kepada Chiefs of Mission Conference, Baguio, Filipina).

Soekarno“I am very much attached to Ambassador Jones. He understands me.”

Dari situ timbul ide untuk pura-pura menyelamatkan Soekarno dan kemudian mendudukkannya sebagaipresiden boneka, mengingat Proklamator itu masih dicintai rakyatnya.

4.2. Skenario “Kudeta Gagal”

Sampai bulan April 1965, Dubes Jones sendirimeragukan bahwa PKI akan melakukan kudeta (agar ada alasan bagi AD untuk memberantasnya). “PKIberada dalam posisi yang terlalu baik lewat taktik kerjasamanya dengan Soekarno dewasa ini,” katanya(sumber: ibid.).

Strategi kemudian berkembang jadi skenario “kup PKI prematur” yang “sengaja dirancang untuk gagal” sehingga memberi “kesempatan yang sah dan memuaskan bagi AD untuk menghancurkan PKI dan membuat Soekarno sebagai tawanan niat baik AD”(sumber: Neville Maxwell, peneliti Inggris, Journal of Contemporary Asia 9 no. 2, 1979).

4.3. Ganti Dubes

Juli 1965, Dubes Jones yang dekat dengan Soekarno diganti dengan Dubes Marshall GreenTop Executive CIAdi bidang subversif. Sebelumnya, Green ditugaskan di Korsel dan sukses membantu kudeta militer JenderalPark Chung Hee. Green diberi wewenang untukbersikap lebih keras terhadap Soekarno.

Dubes Green dan Soeharto

Seiring dengan itu, AS menjalankan “low-posture policy”dengan mengurangi peran intelijen mereka, termasuk pengurangan personil Kedubes AS besar-besaran, sebagai antisipasi kemungkinan chaos dan demonstrasi, sekaligus agar rencana konflik AD dengan PKI tampak seperti persoalan domestik (sumber: Bunnel, “American Low-Posture Policy, hlm 50).

Berdasarkan fakta-fakta tersebut di atas, dapat disimpulkan bahwa AS memang merancang skenario “kudeta komunis yang gagal” agar ada alasan bagi ADuntuk menyerang PKI. Tapi belum sampai pada detailaction plan. Tak sulit membayangkan bahwa ide tentang “kudeta gagal” — yang gencar disosialisasikan olehDubes Jones di kalangan diplomat asing itu — juga disalurkan ke aliansi lokal lewat penasehat civic action,Kol. George Benson, figur yang dihormati dan dikagumi ibarat mentor bagi para perwira intel, termasuk Ali-Yoga.

Artikel mengenang Kol. George Benson di Jakarta Post

Setelah itu, CIA mengurangi perannya lewat taktik “low-posture policy”. Sehingga, seluruh rentetan peristiwa sejak Juli s.d. 31 Oktober 1965 adalah murni gerakan lokal ibarat “bola liar”. Dari berbagai data yang tersedia, CIA tidak merancang detail sampai bagian yang paling sulitisu apa yang bisa membuat PKI mau lakukan kudeta.

5. Isu Dewan Jenderal

5.1. Angkatan Kelima

Kembali pada situasi Konfrontasi. Seperti telah dikemukakan pada butir 3.1, pimpinan Komando AD tidak mendukung operasi Ganyang Malaysia, disebabkan para elite yang pro-Barat tak ingin perang dengan Inggris. Meski secara formal mendukung, namun di lapangan justru menyabot, serta membina relasi intel dengan pemerintah Inggris dan Malaysia.

Karena kurangnya dukungan AD terhadap Ganyang Malaysia, serta melihat tawaran bantuan peralatan militer dari RRC seperti diuraikan pada butir 3.2, Soekarno bermaksud membentuk “Angkatan Kelima”. Ia sebenarnya tak pernah menjelaskan apa dan siapa yang dimaksud dengan Angkatan Kelima. Jika dilihat dari Surat Keputusan Presiden, tampaknya yang dimaksud Angkatan Kelima adalah pasukan sukarelawan, dari kalangan mana saja.

Keppres tentang Aksi Sukarelawan

Namun, dalam suasana saling curiga antara 2 pilar kekuatan AD dan PKI, pihak AD berkesimpulan bahwa Angkatan Kelima adalah buruh dan tani yangdipersenjatai RRC. Hal ini yang kemudian, di era Orde Baru, berkembang jadi pemutusan hubungan diplomatik dengan RRC, dilanjutkan dengandiskriminasi WNI keturunan Cina menjadi “warga kelas dua”: nama harus diganti, KTP ditandai, karir di birokrasi dibatasi, hari raya tak boleh dirayakan, dll.Diskriminasi yang terus berlanjut selama puluhan tahun di rejim Orba.

Padahal sebenarnya, RRC tidak “diam-diam mempersenjatai PKI”, melainkan menawarkan bantuan peralatan militer kepada pemerintah RI secara resmi lewat jalur diplomatik (Menlu). Penggunaanya untuk operasi Ganyang Malaysiabukan untuk kudeta atauperang saudara dengan AD. Jumlah persenjataannya juga untuk 40 batalyon saja, bukan untuk jutaan orangseperti yang kemudian dipropagandakan.

Menpangad Yani menolak pembentukan Angkatan Kelima. Hubungan AD semakin merenggang dengan Presiden. Sementara, di sisi lain, friksi ini membuat PKI jadi semakin merapat ke Presiden. Dari situ timbul isu adanya “beberapa jenderal yang tidak puas dengan Presiden akan melakukan kudeta”. Isu ini menyulut kubu pro-Soekarno, baik di kalangan PKI, angkatanmiliter lain, termasuk faksi perwira-perwira AD yangpro-Soekarno.

Ketidaksukaan kelompok kiri terhadap kelompok kanan bahkan sampai ke masalah pribadi. Mereka menyorotigaya hidup Yani cs yang mereka anggap kebarat-baratan dan borjuis. Sehingga, timbul istilah “kabir” (kapitalis birokrat). Juga sebutan-sebutan kebencian lain seperti “jenderal antek CIA” yang akan “menggulingkan Pemimpin Besar Revolusi”. Dari situlah isu “Dewan Jenderal” menjadi panas.

5.2. Dokumen Gilchrist

Bersamaan dengan itu, terbit apa yang disebut sebagai Dokumen Gilchrist. Sir Andrew Gilchrist adalah Dubes Inggris sekaligus agen British Special Operations Executive. Pada sebuah demo di rumah Bill Palmer (agen CIA), ditemukan telegram dari Gilchrist bahwaPemerintah Inggris akan menggulingkan Soekarnolewat our local army friends.

Dubes Inggris Sir Andrew Gilchrist

Dokumen tersebut kemudian sampai di meja Kepala Badan Pusat Intelijen Dr. Soebandrio, diantar oleh seorang kurir yang mengaku bernama Kahar Muzakar,tanpa identitas dan alamat.

Sebenarnya, jika diteliti, besar kemungkinan dokumen Gilchrist itu palsu. Ada beberapa grammatical error yang elementer, yang tampaknya mustahil ditulis oleh seorang diplomat ulung yang piawai memainkan kata seperti Sir Andrew Gilchrist. Dari tatabahasanya, terlihat bahwa yang menulis “dokumen Dubes Inggris” itu bukan orang Inggris.

Salinan Dokumen Gilchrist. Tanda [sic] di bagian grammatical errorKejanggalan kedua, dokumen itu ditemukan bukan hasil kelihaian intel pemerintah, melainkan ditemukan olehdemonstran (dimana banyak orang punya kesempatan untuk menyusupkannya). Ketiga, dokumen itu diantar ke meja Kepala Badan Pusat Intelijen Soebandrio oleh kuriryang tak jelas. Sangat mencurigakan sebenarnya.

Namun Soebandrio percaya dan membawa dokumen Gilchrist ke Presiden. Menurutnya, Presiden kaget membaca dokumen yang provokatif itu. Soekarno berkali-kali menanyakan, apakah dokumen itu asli. Kepala Badan Pusat Intelijen itu mengatakan bahwa ia telah mengecek lewat intel-intelnya dan meyakinibahwa dokumen itu asli. Soekarno kemudianmemanggil jajaran tinggi angkatan bersenjatanya. Semua hadir, kecuali Menpangau Omar Dani yang tengah bertugas di front Malaysia.

Tanggal 22 Mei 1965, di rapat Presiden dengan para Panglima itu Menpangad Yani menjelaskan bahwamemang ada yang disebut dengan Dewan Jenderal, tapi untuk urusan penilaian kepangkatan, bukan untukkudeta. Hal ini mengacu pada kelompok brain trust CIA yang dijelaskan pada butir 2.3.

5.3. Pemicu Penculikan Dewan Jenderal

Melihat besarnya kemungkinan bahwa Dokumen Gilchrist itu palsu, bisa disimpulkan bahwa yang terjadi sebenarnya adalah taktik disinformasi. Provokasi subversif semakin bertambah, lewat isu bahwa Soekarno sakit keras, untuk menimbulkan suasana genting seolah Dewan Jenderal akan kudeta pada Hari ABRI, 5 Oktober 1965.

Tanggal 26 September 1965 beredar isu adanyarekaman suara rapat Dewan Jenderal. Dikatakan bahwa rekaman itu adalah hasil rapat Dewan Jenderal di Akademi Hukum Militer tanggal 21 September 1965, berisi susunan Kabinet Dewan Jenderal setelah mengkup Soekarno tanggal 5 Oktober 1965. Isi Kabinet tersebut, antara lain A.H. Nasution (Perdana Menteri),A. Yani (Waperdam/Menhan), M.T. Haryono (Menlu),Suprapto (Mendagri), S. Parman (Menkeh), dll.

Supaya lebih panas, disebut-sebut bahwa yang bacarencana susunan Kabinet pasca kup 5 Oktober di rekaman itu adalah “suara Jend. S. Parman”. Digosok lagi isu bahwa rekaman itu sudah sampai ke tangan Presiden.

Yang membawa rekaman suara itu adalah Muchlis Bratanata dan Nawawi Nasution dari NU, serta Sumantri dan Agus Herman Simatupang  dari IPKI.

Sebenarnya, jika dipikir dengan jernih, bagaimana mungkin rekaman rapat rahasia Dewan Jenderal berisirencana kudeta dibawa-bawa oleh 4 orang sipil. Mengapa pula Dewan Jenderal rapat rahasia di Akademi tempat prajurit belajar. Belum lagi susunan Kabinetnya, berisi jenderal AD semua seolah tak memikirkan realitas politik di Indonesia. Tapi panasnya suhu politik saat itu, tampaknya, membuat banyak pihak begitu mudah dikompori.

Isu rekaman suara ini terungkap di Mahmilub nantinya, namun barang buktinya tak pernah ada. Sehingga, bisa disimpulkan bahwa rekaman suara Dewan Jenderal ini pun palsu. Rekaman yang diedarkan tanggal 26 September itu adalah pemicu terakhir untuk provokasi berikutnya: culik Dewan Jenderalsebelum kuptanggal 5 Oktober.

Di persidangan Mahmilub terungkap pula bahwa rencana awalnya Dewan Jenderal itu ditangkap untukdihadapkan ke Presiden. Keputusan nantinya diserahkan ke Presiden. Semacam tekanan politik berbau anarkis seperti peristiwa penculikan Rengasdengklok untuk minta ketegasan Soekarno-Hatta lakukan Proklamasi. Menurut para saksi pelaku di Mahmilub, rencana awalnya adalah menculik hidup-hidup, bukan rencana pembunuhan jenderal (sumber: Transkrip Mahmilub, persidangan Sudisman, tanggal 7 Juli 1967).
Bersambung...

Sabtu, 27 Februari 2016

Kekritisan Pemuda Kepada Tujuan Hidupnya

   Kesadaran manusia bisa dicapai dengan cara berpikir, dan mentafakuri hidup, apakah hanya sekedar ada hidup di Dunia ini, dan benar- benar tidak meyakini Adanya Tuhan, Siapa Tuhan, Apa tujuan Tuhan menciptakan mereka.
kesalahan terbesar manusia ketika pikirannya terdoktrin dengan kondisi lingkungan yang tidak mengenal Aturan Tuhan, apalagi meyakini Hukum Tuhan tidak pantas diterapkan didunia ini.

Apalagi Pemikiran Ini tertimpa pada Muslim, Naudzubillah, secara Tidak Langsung Memberhalakan sesuatu yang sama persis terjadi dimasa Lampau, Tuhan Hanya Dijadikan icon pencipta Alam semesta, tapi tidak untuk sebagai Illah (totalitas beribadah).

Dan menerapkan ideologi yang sejarah munculnya dari kaum eropa yang memberontak pada agama, akibat keabsolutan hukum tuhan diberikan kewenangan kepada Agamawan (paus), dan penyalahgunaan kekuasaan menjadikan tokoh agamawan, bangsawan dan raja menjadikan kaum proletar dan ilmuan eropa semakin menderita.

Zaman Renaissan muncul, ketika kaum Ilmuan Eropa meRevolusi pemikiran mereka, bahwa penyebab penderitaan mereka pada zaman The Dark Ages, ketika mereka menerapkan Teokrasi, paus adalah wakil Tuhan ,jadi wakil tuhan tidak pernah salah dan para paus diakui haknya untuk mengampuni dosa manusia, di dalam islam tak ada seorang pun berhak memberikan ampunan terhadap dosa orang lain.
Karena itulah tidaklah tepat jika konsep politik dalam islam, yang diterapkan selama ratusan tahun, yakni konsep khilafah, di sebut sama dengan istilah dalam ajaran nasrani yaitu theokrasi.

Berbagai penyelewengan penguasa agama dan pemberontakan tokoh tokoh agama eropa kepada kekuasaan gereja yang mengklaim sebagai wakil Tuhan menunjukkan bahwa konsep infallible (tidak dapat salah)dari gereja sudah tergoyangkan.

Pemberontakan demi pemberontakan terus berlangsung, sehingga dunia kristen eropa kemudian terbelah menjadi dua bagian besar, katholik dan protestan. Beratus tahun kedua agama ini bersaing dan saling melakukan berbagai aksi pembantaian.

Dendam masyarakat eropa terhadap keistimewaan para tokoh agama yang bersekutu dengan penguasa yang menindas rakyat semacam itu juga berpengaruh besar terhadap sikap kaum eropa dalam memandang agama.
Munculah tokoh2 pemikir eropa yang bertentangan dengan doktrin gereja, seperti Machiaveli, Descartes, John Lock, Voltaire, Montesquieu, Rousseuau dsb.. Yang melahirkan berbagai ideologi yang menjadi pilar peradaban hari ini, seperti ;Sekularisme, Liberalisme, Humanisme, Empirisme, Rasionalisme, Machiavelisme, Marxistme, Kapitalisme, Demokrasi, HAM dan Pluralisme dll..

Sungguh Aneh Ideologi2 ini yang lahir dari worldview Barat yang lahir berontak pada agama pasca Renaissan, dipakaikan kepada muslim, dengan semangat melepaskan ikatan agama dengan kehidupan, serta melepaskan Aturan petunjuk Hidup setelah Kematian.

Justru Muslim disuruh berpikir agar iya yakin dengan Tuhan dan AgamaNya, ratusan Ayat Al,qur'an mengajak Manusia Berpikir agar manusia Ma'rifatullah (mengenal Allah).

Tidakkah sebagaimana mestinya, cara berpikir muslim harusnya Hidup harus Beribadah kepadaNya, berpolitik karna beribadah, bersains karna Ingin Ma'rifatullah, belajar sejarah karna ingin menyampaikan kebenaran, bersosial karna beribadah , berekonomi karna beribadah. Hidup ini indah jika orientasi diubah dari semula memperjuangkan propaganda, klaim, berhala ideologi, menjadi Mentauhidkan Allah Sahadja.

"Dan Aku Tidak menciptakan Jin Dan Manusia melainkan supaya mereka mengabdi kepadaKu".( QS Adzdzariyat 56).

Akhukum
@mukhlizhein

Refrensi;
Michael H Hart, The 100: A Ranking of the Most Influential Persons in History
Samuel Hutington, the clash of civilizations and the remaking of the world order
Adian Husaini, Wajah Peradaban Barat
Syed M Naquiq Al Attas, Islam And Secularism
Al Ghazali, Ihya Ulumuddin

Kamis, 04 Februari 2016

Kritik Islam Terhadap Teori-Teori Dasar Kapitalisme



A.   Pendahuluan
Setiap konsep yang berkembang di dunia ini, tak lepas dari sebuah
say no to capitalism
pemikiran yang mendasarinya. Baik pemikiran yang mendasari tersebut disandarkan lagi pada sebuah pemikiran ataukah ia berupa pemikiran yang paling mendasar. Pemikiran yang paling mendasar biasa kita kenal dengan sebutan aqidah, mabda, ideologi atau juga world view. Pemikiran mendasar inilah yang akan menentukan corak dan kekhasan konsep yang dilahirkannya.
Pemikiran merupakan suatu kekayaan yang paling berharga bagi umat mana pun. Kekayaan material/fisik, penemuan ilmiah, rekayasa industri, megahnya bagunan, dan lain-lain jauh kedudukannya dibandingkan dengan pemikiran. Karena kita tahu, bahwa kekayaan-kekayaan yang bersifat fisik tadi dilahirkan dari sebuah pemikiran juga. Begitu juga kemajuan dan kemunduran suatu peradaban, ia akan sangat tergantung dari pelestarian dan penjagaanumat terhadap pemikirannya. Oleh karena itu, pemikiran merupakan peninggalan yang paling berharga bagi generasi selanjutnya.
Pemikiran yang dimaksud di sini adalah aktivitas berfikir pada umat terhadap realitas kehidupan yang mereka hadapi. Bagaimana mereka menilai kehidupan ini. Bagi mereka yang menilai kehidupan sebagai suatu ladang menanam amal untuk kehidupan kelak dengan tuntunan yang telah diturunkan Sang Pencipta, akan melahirkan konsep hidup dan gaya hidup yang berbeda dengan orang yang menilai kehidupan ini sebagai tempat singgah tanpa aturan khusus dari Sang Khalik atau mereka yang menilai bahwa dunia ini hanyalah sebuah fase dari perubahan materi yang kekal.

Pada saat ini, umat Islam dengan kekayaan pemikiran serta konsep-konsep kehidupan yang diwariskan dari generasi sebelumnya malah dalam keadaan terpuruk. Ia berjalan dalam konsep dan gaya hidup yang jauh berbeda dengan para pendahulunya yang berhasil menorehkan tinta emas peradaban pada masanya. Jika ditinjau secara mendalam, konsep atau sistem pemerintahan dan ekonomilah yang paling berpengaruh dan paling banyak merubah kekhasan uamt Islam ini. Dengan pemerintahan, berbagai macam aturan hidup dapat disahkan atau dilegalkan, tak peduli ia bertentangan dengan aturan Sang Khalik atau tidak. Begitu juga dengan ekonomi, dimana manusia dominan beraktivitas di dalamnya. Hal ini terjadi karena dengan melakukan aktivitas ekonomi lah manusia mampu memenuhi kebutuhan pokok untuk menyambung hidup dan kebutuhan-kebutuhan naluriahnya juga.
Oleh karena itu, sangat diperlukan suatu usaha untuk menunjukkan kesalahan sistem-sistem kehidupan yang dijalani masyarakat sekarang sekaligus menunjukkan pula mana sistem yang benar dan bagaimana cara menggantinya. Pada kesempatan ini, penulis mencoba membedah teori-teori dasar yang membuat sistem ekonomi kapitalisme tegak berdiri dan menghegemoni berbagai negara bahkan dunia. Sampai saat ini, kapitalisme masih menjadi sistem ekonomi yang diterapkan oleh penguasa negeri ini, dengan berbagai macam kebijakannya. Ia masih dianggap sebagai solusi oleh para ekonom dan digandrungi para pencari ilmu, sehingga masih banyak lulusan-lulusan ekonomi dari perguruan tinggi yang mengamalkannya padahal notabene mereka adalah muslim. Sehingga wajarlah ketika negara dan masyarakat terjebak sistem ribawi, masih sedikit yang menyuarakan sistem ekonomi penggantinya. Padahal Allah swt telah berfirman:
وَأَحَلَّ اللَّهُ الْبَيْعَ وَحَرَّمَ الرِّبَا
“...Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba...” (TQS Al-Baqarah: 275)
Lisan Nabi Agung Muhammad saw pun pernah mewanti-wanti umatnya dengan bersabda:
"Bila muncul perzinaan dan berbagai jenis dan bentuk riba di suatu kampung, maka benar-benar orang sudah meng¬abaikan (tak perduli) sama sekali terhadap siksa dari Allah yang akan menimpa mereka (pada suatu saat nanti)" (HR Thabrani dan Al Hakim)
Dengan kritik terhadap teori-teori dasar sistem ekonomi kapitalisme ini, maka ini akan menunjukkan kesalahan konsep-konsep lain yang di bangun di atasnya. Atau setidaknya mempermudah menunjukkan kesalahan konsep-konsep pada sistem ekonomi kapitalisme. Sehingga umat sadar dan mau meninggalkannya serta beranjak menuju sistem ekonomi yang diambil dari tuntunan wahyu yaitu sistem ekonomi Islam.

B.      Teori-Teori Dasar Kapitalisme
Sistem ekonomi mana pun, lahir untuk menyelesaikan permsalahan ekonomi yang dihadapi oleh manusia. Tentunya mengikuti cara pandang para pencetusnya. Begitu pun kapitalisme, ia lahir untuk menyelesaikan problematika ekonomi dengan cara pandangnya.
1.       Scarcity (kelangkaan)
Menurut ekonom konvensional, problematika dasar ekonomi terletak pada kebutuhan manusia yang tak terbatas, sedangkan barang dan jasa untuk memenuhi kebutuhan tersebut adalah terbatas. Inilah yang disebut dengan kelangkaan atau scarcity. Oleh karena itu, manusia dituntut untuk mengalokasikan sumber daya yang ada secara rasional untuk memenuhi kebutuhannya.
Karena keterbatasan ini, kemudian manusia harus memilih barang-barang apa saja yang harus dihasilkan agar tercapai kepuasan maksimum, walaupun tidak semua barang yang diinginkan itu terpenuhi semuanya. Inilah yang memunculkan masalah ekonomi. Masalah-masalah ekonomiitu adalah:
·      Barang dan jasa apa yang akan dihasilkan (what)
·      Bagaimana barang dan jasa tersebut dihasilkan (how)
·      Untuk siapa barang dan jasa tersebut dihasilkan (for whom)
What (barang apa yang dihasilkan). Guna menjawab pertanyaan ini, biasanya dilihat apa yang menjadi kebutuhkan yang mendesak oleh masyarakat. Jika banyak masyarakat yang membutuhkan maka diproduksilah barang tersebut, karena dengan memproduksi barang yang sangat dibutuhkan masyarakat tersebut, berarti sebagian besar keinginan masyarakat terpenuhi. Dari pertanyaan what (barang apa yang dihasilkan) inilah kita kenal dengan problem produksi.
How (bagaimana barang itu dihasilkan). Masalah ini menyangkut cara atau teknik untuk memanfaatkan sumber daya sedikit untuk memproduksi barang yang dibutuhkan. Manusia terus berusaha untuk memenuhi semua kebutuhannya. Dengan ditemukannya teknik-teknik khusus untuk membuat barang dan jasa dengan memanfaatkan jumlah sumber daya yang lebih sedikit. Dengan demikian jumlah sumber daya yang terbatas tadi tidak semakin cepat habisnya. Karena ini terkait pilihan-pilihan pemanfaatan sumber daya, lebih dikenal dengan problem konsumsi.
For whom (untuk siapa barang itu dihasilkan). Barang yang diproduksi harus memenuhi kebutuhan masyarakat. Hal ini menyangkut pembagian barang-barang yang ada. Sehingga pertanyaan ini terkait erat dengan problem distribusi.

2.       Value/Nilai
Sumber daya yang ada dan digunakan sebagai alat pemenuhan kebutuhan biasa disebut barang dan jasa. Barang berarti alat pemenuh/pemuas kebutuhan yang terindera dan dapat dirasakan, sedangkan jasa hanya dapat dirasakan saja. Hanya saja, tidak semua barang dan jasa itu mampu memenuhi atau memuaskan kebutuhan manusia, sehingga layak diproduksi. Inilah yang disebut nilai (value), yaitu tingkat kegunaan suatu barang atau jasa. Nilai ini, menurut Adam Smith, ditentukan oleh jumlah tenaga kerja buruh yang diperlukan untuk menghasilkan barang atau jasa tersebut. Sedangkan untuk mengukur tenaga buruh yang dicurahkan yaitu dengan melihat jam kerja menyelesaikan barang tersebut dan tingkat keterampilan buruhnya.
Selanjutnya, menurut ekonom kapitalis, nilai (value) ini dapat berupa kemampuan barang dalam memenuhi kebutuhan manusia, biasa disebut dengan nilai guna (utility value).  Biasanya digunakan dalam teori kepuasaan (teori utilitas). Bahwa kepuasan maksimal akan dirasakan ketika pertama kali mengkonsumsi barang, kemudian akan berkurang seiring banyaknya barang yang dikonsumsi.Selain itu, nilai (value) ini juga berupa kemampuan barang untuk ditukarkan atau dinisbatkan kepada barang lain. Biasa disebut dengan nilai tukar (exchange value).

3.       Price/harga
Kebutuhan manusia yang beraneka ragam membutuhkan berbagai macam jenis barang dan jasa. Oleh karena itu, meniscayakan adanya pertukaran barang atau jasa satu dengan barang atau jasa lainnya. Dengan berkembangnya peradaban, maka ditemukanlah alat tukar (medium of exchange), berupa uang, untuk mengukur nilai (exchange value) yang ada pada barang atau jasa. Sehingga muncullah harga, yaitu kemampuan suatu barang untuk ditukarkan atau dinilai dengan uang.
Harga terbentuk dari pertemuan penawaran dari produsen dengan permintaan dari konsumen. Harga inilah yang membuat keseimbangan pasar. Sebesar apapun produsen menginginkan keuntungan dengan menawarkan banyak barang, namun ketika harga rendah karena permintaan sedikit, maka terpaksa ia menurunkan tingkat produksinya. Begitu juga konsumen, sebesar apapun ia menginginkan banyak barang dengan harga rendah, suatu saat ia akan menurunkan konsumsinya karena harga mulai naik seiring dengan langkanya barang yang diproduksi. Inilah yang disebut dengan mekanisme pasar bebas.
Dengan kombinasi 3 teori dasar tadi, maka tujuan ekonomi berupakesejahteraan dan keadilan dapat terwujud. Menurut ekonom kapitalis, dalam mewujudkan kesejahteraan dilakukan dengan cara memproduksi barang dan jasa sebanyak-banyaknya, tentu barang dan jasa yang memiliki value alias diinginkan masyarakat. Hal ini berangkat dari adanya kelangkaan (scarcity). Dalam konteks makro, kesejahteraan ini dilihat dari pertumbuhan ekonomi yang tinggi. Sedangkan untuk mewujudkan keadilan, maka diserahkan kepada mekanisme pasar bebas. Masalah dasar ekonomi pun – produksi, distribusi dan konsumsi – mampu diselesaikan dengan mekanisme pasar bebas ini. Jumlah barang dan jasa yang hendak diproduksi, kemana harus dialirkan/didistribusikan dan berapa jumlah yang akan dihabiskan diserahkan kepada pasar, hargalah yang akan menuntunnya.

C.      Kritik Islam terhadap teori-teori dasar Kapitalisme
Sebagaimana kita ketahui, bahwa setiap konsep, apakah itu sistem ekonomi atau yang lainnya, tentunya tidak lepas dari pandangan paling mendasar yang sering diistilahkan aqidah, mabda atau world view. Berdasarkan pemikiran mendasar inilah, Islam telah menggariskan bahwa dalam menentukan konsep, hukum atau solusi terhadap permasalahan apa pun tidak boleh lepas dari dalil-dalil syara’, yaitu al-Quran, hadits, ijma dan qiyas, begitu juga dalam menilai konsep atau hukum yang berasal dari luar Islam.

1.       Kritik terhadap scarcity/kelangkaan
Teori yang menyatakan bahwa kebutuhan bersifat tidak terbatas sedangkan barang dan jasa sebagai alat pemenuh kebutuhan bersifat terbatas adalah salah. Sebab, kebutuhan-kebutuhan yang harus dipenuhi secara pasti hanyalah kebutuhan primer yang meliputi sandang, pangan dan papan. Selebihnya hanyalah kebutuhan sekunder atau tersier. Kebutuhan primer tidak akan pernah bertambah, sejak zaman dahulu hingga modern saat ini kebutuhan manusia hanya itu-itu saja. Berkembangnya peradaban dan majunya sains dan teknologi hanya menambah kebutuhan-kebutuhan sekunder dan tersier saja. Dan faktanya kebutuhan ini pun dapat diusahakan dan dipenuhi secara alami seiring kemajuan peradaban di komunitas tersebut. Kalau pun tidak dipenuhi, tidak menimbulkan masalah yang menyebabkan kematian.
Sebagai contoh, kebutuhan akan pangan atau makanan. Kebutuhan manusia zaman majapahit tidak jauh berbeda dengan kebutuhan manusia sekarang. Yang membedakan hanya adanya kemajuan pengolahan makanan. Sehingga pada zaman majapahit mungkin belum ditemui mie instan, bubur ayam, pecel lele, coca cola, teh botol, dan lain-lain. Begitu juga manusia yang hidup di suku-suku pedalaman, mereka tidak punah gara-gara tidak mencicipi makanan ala modern yang tersebar di wilayah perkotaan.
Kritik selanjutnya mengenai sumber daya pemenuh kebutuhan yang terbatas, apakah benar demikian? Jika kita melihat ayat al-Quran mengenai pemanfaatan isi bumi, misalnya firman Allah:
هُوَ الَّذِي خَلَقَ لَكُمْ مَا فِي الْأَرْضِ جَمِيعًا
“Dia-lah Allah, yang menjadikan segala yang ada di bumi untuk kamu”(TQS al-Baqarah: 29)
Ayat ini menunjukkan bahwa Allah menciptakan bumi seisinya untuk dimanfaatkan, tanpa menyebutkan tata cara/kaifiyatpemanfaatannya. Sehingga dalam pemanfaatannya diserahkan kepada manusia sesuai perkembangan kemampuan akalnya. Juga firman Allah swt:
وَسَخَّرَ لَكُمْ مَا فِي السَّمَاوَاتِ وَمَا فِي الْأَرْضِ جَمِيعًا مِنْهُ
“Dan Dia menundukkan untukmu apa yang ada di langit dan di bumi semuanya, (sebagai rahmat) daripada-Nya...” (TQS al-Jatsiyah: 13)
Ayat ini juga sama seperti ayat sebelumnya, ia bersifat umum dan tidak memberikan rincian (takhshish) tentang tata cara pengelolaan sumber daya. Malah ayat ini semakin menguatkan bahwa Allah swt telah menyiapkan harta kekayaan untuk umat manusia secara melimpah ruah. Dengan demikian, sebenarnya sumber daya pemenuh kebutuhan tidak bersifat langka, melainkan melimpah dan faktanya ilmu pengetahuan manusia selalu bisa menemukan cara untuk menemukan, mengelola dan memanfaatkan kekayaan alam tersebut. Bahkan, sesuatu yang sebelumnya belum dianggap sebagai sumber daya yang mampu memenuhi kebutuhan.

2.       Kritik terhadap value/nilai
Menurut ekonom kapitalis, nilai bersifat relatif atau subyektif, karena ia berhubungan dengan kebutuhan manusia, yang tentunya berbeda-beda. Pandangan ini salah, sebenarnya nilai (value) suatu barang cukup dinilai dengan manfaat (kegunaan) barang tersebut dengan memperhatikan faktor kelangkaannya pada saat tertentu. Manfaat beras atau nasi akan sama dari waktu ke waktu.
Begitu juga pernyataan bahwa nilai diukur oleh besarnya tenaga buruh yang dicurahkan, ini adalah salah. Karena faktanya ada barang yang diperoleh tanpa harus mengeluarkan tenaga kerja. Tetapi, nilai itu bisa berupa manfaat/kegunaan dasar bahan baku atau merupakan kombinasinya dengan jerih payah manusia, tidak hanya berdasarkan tenaga buruh saja. Selain itu, ekonom kapitalis pun membatasi nilai pada sesuatu yang bersifat materi semata. Tanpa memperhatikan hukum barang tersebut, apakah boleh dikonsumsi atau tidak, halal atau haram. Selama ia dibutuhkan dan diinginkan manusia maka ia termasung barang ekonomis yang layak diproduksi.

3.       Kritik terhadap Struktur Harga
Menurut kapitalis, struktur harga adalah adalah mekanisme paling adil yang mampu memecahkan problem dasar ekonomi (produksi – distribusi – konsumsi). Benarkah bahwa adil itu tercipta dengan menyerahkan pada struktur harga atau dengan mekanisme pasar bebas?Apakah adil bagi mereka yang tidak mampu atau lemah untuk dibiarkan begitu saja memperoleh barang mengikuti harga di pasaran? Apakah adil jika seseorang menguasai sumberdaya sangat banyak sedangkan di lain pihak jutaan orang tak memiliki akses sama sekali? Ataukah adil itu sama rata seperti yang diungkapkan Karl Marx? Dengan demikian, makna adil akan kembali kepada pandangan dasar sebuah konsep tersebut dibangun.
Menurut Islam, penilaian adil atau tidak bukan diserahkan kepada akal manusia yang terbatas, tetapi disandarkan kepada wahyu (syara’). Oleh karena itu, sebelum melakukan aktivitas produksi, konsumsi dan distribusi, seorang muslim harus bertanya dulu, bolehkah barang A saya produksi, saya konsumsi dan saya distribusikan? Jika tidak memperhatikan kaidah tersebut, sudah sepatutnya kita merenungkan firman Allah swt:
وَمَنْ أَعْرَضَ عَنْ ذِكْرِي فَإِنَّ لَهُ مَعِيشَةً ضَنْكًا وَنَحْشُرُهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ أَعْمَى
Dan barangsiapa yang berpaling dari peringatan-Ku, maka sesungguhnya baginya penghidupan yang sempit. Dan Kami akan menghimpunnya pada hari kiamat dalam keadaan buta” (TQS Thaha: 124)
Ketika bisa melihat ketidakadilan dan kedzaliman peradaban sekarang. Dimana penindasan dilakukan dengan cara-cara modern dan penguasaan sumber daya hanya dikuasai segelintir orang. Itulah penghidupan yang sempit yang dialami umat manusia karena telah jauh dari tuntunan wahyu.


D.      Penutup
Itulah beberapa kritik terhadap teori-teori dasar kapitalisme. Dengan demikian, jelaslah sudah kesalahan-kesalahan sistem kapitalisme dari dasarnya. Oleh karenanya, tidak cukup melakukan islamisasi terhadap teori-teori ekonomi yang ada saat ini. Karena teori-teori tersebut lahir dari fakta-fakta perilaku para pelaku ekonomi, sedangkan perilaku para pelaku ekonomi lahir dari pandangan dasar kapitalisme. sehingga ruh kapitalisme akan tetap melekat, yaitu pencapaian kesejahteraan dengan peningkatan pertumbuhan ekonomi secara nasional dan terwujudnya keadilan melalui mekanisme pasar bebas.
Sistem ekonomi Islam lahir dari aqidah Islam dan ia digali dari dalil-dalil syara. Ia memiliki pandangan dasar bahwa pengelolaan seluruh harta kekayaan harus sesuai dengan tuntunan wahyu, sehingga darinya lahir 3 pilar sistem ekonomi Islam, yaitu:
1.    Kepemilikan. Membahas harta kekayaan yang boleh dan tidak boleh dimiliki seseorang, di dalamnya terbagi menjadi 3 yaitu; kepemilikan individu, negara dan umum.
2.    Pemanfaatan kepemilikan. Membahas bagaimana kepemilikan yang 3 di atas dihabiskan/dikonsumsi dan dikembangkan/diproduktifkan.
3.    Distribusi harta kekayaan di tengah-tengah manusia. Membahas bagaimana harta didistribusikan secara ekonomis antar individu dan bagaimana pula distribusi kekayaan oleh negara sehingga mampu tercapai keadilan melalui terpenuhinya kebutuhan pokok tiap-tiap individu (sandang, pangan dan papan) dan kebutuhan pokok masyarakat (keamanan, kesehatan dan pendidikan)
Gambaran sistem ekonomi Islam
Gambaran Sistem Ekonomi ISlam

Semoga bermanfaat. Wallahu ‘alam

Sumber bacaan:
-       An-Nabhani, Taqiyuddin. 2009. Sistem Ekonomi Islam. Bogor: al-Azhar Press
-       Triono, Dwi Condro. 2011. Ekonomi Islam Madzhab Hamfara Jilid I. Yogyakarta: Irtikaz
-       Eko, Yuli. 2009. Ekonomi untuk SMA dan MA kelas X. Jakarta: Pusat Perbukuan Depdiknas (Buku Sekolah elektronik)

Senin, 04 Januari 2016

PERANG DIPONEGORO

Pangeran Diponegoro lahir sekitar 1785. Pangeran ini merupakan putra tertua dari Sultan Hamengkubuwono III yang memerintah pada tahun 1811 hingga 1814.Ibunya bernama, Raden Ayu Mangkarawati, yang merupakan keturunan Kyai Agung Prampelan, ulama yang sangat disegani di masa Panembahan Senapati mendirikan kerajaan Mataram. Bila ditarik lebih jauh lagi, silsilahnya sampai pada Sunan Ampel Denta, seorang wali Sanga dari Jawa Timur. Saat masih kanak-kanak, Diponegoro diramal oleh buyutnya, Sultan Hamengkubuwono I, bahwa ia akan menjadi pahlawan besar yang merusak orang kafir.[1]

Kondisi kraton ketika itu penuh dengan intrik dan persaingan akibat pengaruh Belanda. Sebab itulah sejak kecil Diponegoro yang bernama asli Pangeran Ontowiryo dikirim ibunya ke Tegalrejo untuk diasuh neneknya, Ratu Ageng di lingkungan pesantren. Sejak kecil, Ontowiryo terbiasa bergaul dengan para petani di sekitarnya, menanam dan menuai padi. Selain itu ia juga kerap berkumpul dengan para santri di pesantren Tegalrejo, menyamar sebagai orang biasa dengan berpakaian wulung. Diponegoro belajar mengenai Islam kepada Kyai Taptojani, salah seorang keturunan dari keluarga asal Sumatera Barat, yang bermukim di dekat Tegalrejo. Menurut laporan residen Belanda pada tahun 1805, Taptojani mampu memberikan pengajaran dalam bahasa Jawa dan pernah mengirimkan anak-anaknya ke Surakarta, pusat pendidikan agama pada waktu itu. Di Surakarta, Taptojani menerjemahkan kitab fiqih Sirat Al-Mustaqim karya Nuruddin Ar Raniri ke dalam bahasa Jawa. Ini mengindikasikan, Diponegoro belajar Islam dengan serius.[2]

Louw dalam De Java Oorlog Van 1825 – 1830, menulis: “Sebagai seorang yang berjiwa Islam, ia sangat rajin dan taqwa sekali hingga mendekati keterlaluan.”

Ada banyak hal tentang Diponegoro yang mencerminkan nilai-nilai Jawa desa: di sini orang berpikir tentang kekuatan fisik, kebiasaannya untuk berjalan dengan kaki telanjang (tidak hanya ketika berziarah), dan partisipasinya sekali setahun dalam panen raya padi di tanah miliknya di selatan Yogya. Kehati-hatiannya dalam menggunakan uang, yang sampai-sampai membuat terkesan orang Belanda yang kikir, dan kecermatan mengadministrasi dan mengurus tanah-tanahnya, suatu hal yang tidak umum dilakukan di kalangan keraton Jawa tengah bagian selatan pada waktu itu, juga istimewa. Begitu juga ketajaman ekspresinya, kemuakannya pada sifat angkuh dan suka pamer, kedekatannya dengan alam, dan cintanya pada binatang peliharaan.

Dalam Babad Diponegoro disebutkan, adalah Diponegoro sendiri yang menolak gelar putra mahkota dan merelakan untuk adiknya R.M. Ambyah. Latar belakangnya, untuk menjadi Raja yang mengangkat adalah orang Belanda. Diponegoro tidak ingin dimasukkan kepada golongan orang-orang murtad. Ini merupakan hasil tafakkurnya di Parangkusuma. Dikutip dalam buku Dakwah Dinasti Mataram:

“Rakhmanudin dan kau Akhmad, jadilah saksi saya, kalau-kalau saya lupa, ingatkan padaku, bahwa saya bertekad tak mau dijadikan pangeran mahkota, walaupun seterusnya akan diangkat jadi raja, seperti ayah atau nenenda. Saya sendiri tidak ingin. Saya bertaubat kepada Tuhan Yang Maha Besar, berapa lamanya hidup di dunia, tak urung menanggung dosa.”[3]

Dalam bukunya, Babad Diponegoro, Pangeran Diponegoro menjelaskan tentang peranan dan tanggungjawab Ratu Adil dalam menjamin kebahagiaan dan kesejahteraan rakyatnya di masa-masa perubahan yang disebabkan oleh politik ganda dan revolusi industri di Eropa serta tatanan kolonial baru di Jawa; pentingnya mengombinasikan otoritas spiritual dan duniawi dalam sosok pemimpin. Diponegoro mengeksplorasi peranan Ratu Adil sebagai penjaga tatanan moral masyarakat, dan sebagai penjamin penghormatan atas peranan Islam dalam masyarakat Jawa. Ia juga menunjukkan nilai-nilai universal Islam sebagai sebuah agama namun tetap mengakui peran agama-agama dan sistem kepercayaan lain, khususnya pengaruh penting dari nenek moyang dan spiritual wali Jawa.

Pendidikan Diponegoro membuatnya mampu diterima di berbagai komunitas yang berbeda meliputi dunia peradilan, pedesaan, pesantren, dan mereka yang terlibat dalam perdagangan jarak jauh (termasuk Arab dan China).

Pandangan dunia Diponegoro juga mencakup suatu pendapat yang sangat jelas hingga hari ini mengenai bagaimana orang-orang Muslim Jawa seharusnya hidup dalam zaman dominasi imperium Barat. Bagi Diponegoro, tidak seperti kebanyakan orang Muslim Indonesia dewasa ini, jawaban atas ini semua rupanya terletak pada menjalankan perang suci dan pengembangan karakter yang jelas tegas antara wong Islam (orang Islam), orang Eropa kapir laknatullah (kafir yang dilaknat oleh Allah), dan kapir murtad (orang Jawa yang memihak Belanda).

Diponegoro dan para komandan seniornya memberikan perhatian yang cukup detail untuk melestarikan budaya dan bahasa Jawa dalam menghadapi serangan budaya Barat dan pembentukan tatanan kolonial baru pasca Januari 1818 negara Hindia Timur Belanda. Diponegoro bersikeras pada penggunaan bahasa Jawa, khususnya kromo inggil, dan adopsi penggunaan pakaian Jawa oleh tawanan perang Belanda. Tapi dia mengombinasikan tuntutan budaya spesifik tersebut dengan analisis yang luas dan praktis pada hubungan Jawa-Belanda dengan memberikan penawaran kepada kolonialis Belanda tiga pilihan: (1) mereka memeluk agama Islam, dalam hal ini posisi administratif atau militer mereka akan ditingkatkan; (2) mereka kembali ke negara mereka di mana hubungan antara Jawa dan Belanda akan tetap sebagai saudara dan teman; atau terakhir (3) jika mereka ingin tetap di Jawa, mereka diminta untuk membatasi diri untuk tinggal di dua kota di Pantai Utara Jawa—yaitu Batavia, ibukota kolonial, dan Semarang bekas pusat Pemerintahan Pantai Utara Jawa. Di sana mereka akan ditawarkan kesempatan untuk terus melakukan perdagangan dan hubungan komersial dengan Jawa asalkan mereka membayar produk Jawa sesuai dengan harga di pasar internasional—terutama indigo, kopi, gula dll—dan juga membayar sewa yang tepat untuk setiap tanah yang mereka tinggali atau dibangun pos perdagangan di atasnya. Visi Diponegoro melihat sebuah masa depan yang terglobalisasi, di mana nusantara akan menjadi bagian dari jaringan perdagangan dan arus modal internasional.

Diponegoro hidup dalam suatu dunia yang semakin terbelah, antara mereka yang siap menyesuaikan diri dengan rezim Eropa yang baru dan mereka yang melihat tatanan moral Islam sebagai “bintang pedoman” dalam masyarakat yang telah kehilangan tambatan tradisionalnya. Keputusannya untuk memberontak pada bulan Juli 1825 adalah karena tuntutan keadaan waktu itu. Ia tidak punya pilihan lain. Dalam melakukannya ia benar-benar bersikap seperti ungkapan “kemuliaan kegagalan” (the nobility of failure) dalam tradisi samurai Jepang, yaitu kemampuan untuk tetap setia pada cita-cita meskipun tahu akan kalah atau menemui ajalnya.

 

B.        Arti Penting Perang Jawa

Perang yang terjadi dalam satu wilayah kedaulatan negara dalam sejarah militer disebut perang kecil (small war). Pemberontakan, revolusi atau perang saudara adalah bentuk dari aksi politik dalam perang kecil. Perang kecil  (Oorlog) dalam arti sebagai sebuah kampanye militer yang dilakukan oleh tentara reguler  terhadap kekuatan militer bukan reguler. Formatnya digelar sebagai aksi penumpasan pemberontak (Java Oorlog, Atjeh Oorlog), penaklukan atau aneksasi wilayah, atau aksi penghukuman atas penghinaan kedaulatan.

Teori tersebut mendasari pandangan Belanda terhadap perlawanan Diponegoro dan umatnya sebagai aksi politik yang dilakukan oleh orang Jawa untuk merebut kembali kedaulatannya. Menurut As’ad, ada tiga indikasi untuk sampai pada kesimpulan tersebut: pertama, memiliki ideologi (ideological asset), yaitu jihad, berperang untuk mendirikan negara yang berkeadilan berdasarkan agama Islam. Kedua, memiliki organisasi dan kondisi lingkungan yang mendukung, pemimpinnya mampu mengeksploitasi emosi masyarakat dengan tema yang abstrak. Ketiga,“pemberontak” amat menguasai medan. Pemberontakan Diponegoro juga merupakan kelanjutan dari perang antarkelompok feodal masyarakat Jawa pada abad ke-19, yang oleh John Keegan disebut sebagai permanent warfare.

Dari aspek kultural, perang Jawa juga merupakan bentuk penolakan terhadap sistem budaya asing, termasuk sistem militer. Hal ini terlihat dalam susunan organisasi militer pasukan Diponegoro yang berkiblat pada Turki Utsmani untuk semakin menajamkan antipati terhadap budaya Barat.

Perang Jawa (1825-1830) adalah garis batas dalam sejarah Jawa dan sejarah Indonesia pada umumnya antara tatanan lama Jawa dan zaman modern. Itulah masa dimana untuk pertama kali sebuah pemerintah kolonial Eropa menghadapi pemberontakan sosial yang berkobar di sebagian besar Pulau Jawa. Hampir seluruh Jawa Tengah dan Jawa Timur, serta banyak daerah lain di sepanjang pantai utara Jawa terkena dampak pergolakan itu. Dua juta orang, yang artinya sepertiga dari seluruh penduduk Jawa, terpapar oleh kerusakan perang; seperempat dari seluruh lahan pertanian yang ada, rusak; dan jumlah penduduk Jawa yang tewas mencapai 200.000 orang.[4]

Demi memastikan kemenangan pahitnya atas orang Jawa, karena banyak korban yang jatuh, Belanda harus membayar dengan sangat mahal: sebanyak 7.000 serdadu pribuminya dan 8.000 tentara asli Belanda tewas; dan biaya perang yang harus mereka keluarkan mencapai sekitar 25 juta gulden (setara dengan 2,2 miliar dolar AS saat ini).[5] Setelah berakhirnya perang, Belanda secara tak terbantahkan menguasai pulau Jawa dan sebuah fase baru pemerintah kolonial Belanda dimulai dengan diberlakukannya “sistem tanam paksa” (cultuur stelsel) pada tahun 1830-1870 oleh Gubernur Jenderal Johannes van den Bosch (menjabat antara 1830-1834).

Kekalahan Diponegoro pada tahun 1830 membuka jalan bagi pengenalan ‘Cultivation System’ yang digulirkan oleh Johannes van den Bosch (1830-1877), dimana produk Jawa dibeli oleh negara kolonial Belanda dengan harga tetap yang rendah dan kemudian dijual di pasar dunia sesuai dengan harga internasional, sebuah sistem yang memberikan penghasilan bersih kepada Belanda sebesar 832.000.000 gulden (setara dengan USD75 miliar uang hari ini) sehingga meringankan beban transisi negara tersebut menuju ke ekonomi industri modern.[6] Perkembangan pasca-Perang Jawa semakin membenarkan keprihatinan Diponegoro atas ketidakadilan perdagangan antara Jawa dan kekuasaan kolonial Belanda.

Dengan demikian, perang ini menandai berakhirnya sebuah proses yang mematang sejak periode Gubernur Jenderal Herman Willem Daendels (1808-1811). Termasuk perubahan sejak dari era Serikat Perusahaan Hindia Timur atau Vereenigde Oost-Indische Compagnie (VOC), 1602-1799, ketika kontak-kontak antara Batavia dan kerajaan-kerajaan di Jawa tengah bagian selatan telah terjalin diantara para pejabat setingkat duta besar sebagaimana layaknya terjadi di antara negara-negara berdaulat, menuju periode “puncak kolonial” ketika para raja akhirnya menduduki posisi sebagai bawahan atau subordinat terhadap kekuasaan kolonial Eropa.

Perang Jawa juga memberikan daya dorong untuk sebuah proses yang masih akan bergulir sendiri dalam Indonesia modern, yaitu intergrasi nilai-nilai Islam ke dalam identitas Indonesia masa kini.

 

C.        Jalannya Peperangan1.      Penyiapan kekuatan

Masa pemerintahan Sultan Hamengkubuwono IV adalah masa keemasan masuknya pengaruh budaya Eropa di Jawa. Pada 16 Desember 1822, Sultan Hamengkubuwono IV meninggal secara mendadak saat makan. Kemungkinan dia diracun. Kemudian pemerintah Hindia Belanda mengangkat RM Menol yang masih berusia 2 tahun sebagai Sultan Hamengkubuwono V.

Tiadanya kepemimpinan yang kuat dan disegani telah membuat wibawa keraton menjadi hilang sehingga tingkah laku para pejabat pemerintahan Hindia Belanda semakin menjadi-jadi, semakin mudah keluar masuk keraton dan mengadakan hubungan gelap dengan puteri-puteri keraton. Skandal seks dan perselingkuhan merebak di kalangan keluarga para bangsawan dan keluarga kalangan keraton. Korupsi, penyalahgunaan jabatan dan pemerasan rakyat meluas. Tanah-tanah milik kerajaan (Kroonsdomein) yang subur disewakan kepada orang Eropa atau orang Cina yang mendapat dukungan dari para bangsawan keraton serta Residen pemerintah kolonial Belanda. Pungutan pajak dan pungutan bea lainnya semakin ditingkatkan—tanpa mengindahkan akibat yang semakin membebani kehidupan rakyat—dengan semakin memperbanyak gerbang pajak (Tol Poorten) yang disewakan kepada orang-orang Cina.

Hal ini membuat prihatin Pangeran Diponegoro, sehingga menginspirasikan dirinya untuk membentuk negara (balad) Islam. Pangeran Diponegoro ini merupakan anak tertua dari Sultan Hamengkubuwono III. Pangeran Diponegoro menolak diangkat menjadi Pangeran Adipati/Putera Mahkota, sebagai penggantinya dia menunjuk RM Ambyah. Penolakan dinobatkan menjadi putera mahkota ini dikarenakan Pangeran Diponegoro kecewa terhadap ayahandanya (Sultan Hamengkubuwono III) yang dinilainya telah melakukan perbuatan durhaka terhadap orangtuanya sendiri. Pangeran Diponegoro tidak menyetujui sikap Sultan Hamengkubuwono III yang melakukan pemakzulan terhadap kakeknya (Sultan Hamengkubuwono II) dan bersikap lemah terhadap tekanan pemerintah Hindia Belanda serta mengadopsi gaya hidup sekuler yang kebarat-baratan.

Masa muda Pangeran Diponegoro dijalaninya dengan berkelana dari masjid ke masjid dan berguru dari satu pesantren ke pesantren lainnya. Kebiasaan itu membuatnya memiliki banyak guru (kyai, ulama) dan hubungan yang luas dengan komunitas santri. Pengembaraannya di kalangan komunitas santri disertai pendalamannya atas sejarah Nabi Muhammad SAW telah mengubah sikap dan gagasannya tentang masyarakatnya. Situasi dan kondisi masyarakat Jawa masa itu dipersepsikannya identik dengan masyarakat Arab jaman pra Islam. Sehingga ia merasa berkewajiban mengubahnya menjadi masyarakat Islami yang berdasarkan tuntunan Rasulullah SAW. Gagasannya itu hanya dapat dicapai melalui perang Sabil terhadap orang kafir. Pendirian Pangeran Diponegoro semakin teguh dan secara simbolik untuk menegaskan idealisme sikapnya itu ia mulai menanggalkan pakaian Jawa dan menggantinya dengan pakaian jubah dan surban yang serba putih. “Saya bukan Diponegoro, saya adalah Ngabdul Khamid.”[7]

Pergaulannya dengan yang luas dengan komunitas santri dan petani memudahkannya untuk memperoleh simpati, dukungan dan legitimasi kepemimpinan dari masyarakat, apalagi ia adalah salah seorang keturunan Sultan. Tekad untuk mendirikan negara Islam di Jawa semakin kuat karena hubungannya yang akrab dengan para pemimpin bawahan, demang, bekel, kyai dan ulama, terutama Kyai Mlangi, Kyai Kwaron, dan Kyai Taptojani.

Pangeran Diponegoro selama 12 tahun mempersiapkan diri seandainya terjadi perang Sabil yang dicita-citakannya. Tegalrejo merupakan suatu markplaats, yaitu tempat “menjual dan membeli” gagasan, konsep ideologi, politik, kenegaraan, budaya, militer, rencana strategi dan aksi; tempat berkumpulnya pemimpin masyarakat ketika di Kesultanan Yogyakarta terjadi kekosongan kepemimpinan;[8] tempat Diponegoro memperoleh basis legitimasinya melalui permufakatan sukarela dari kelompok yang berkepentingan.[9]

Diponegoro mendapatkan dukungan dari dua basis utama, yaitu dari kalangan komunitas santri dan pendukung berbasis kedaerahan. Para santri merupakan komunikator terdepan bagi penyampaian ide dan gagasan tentang negara Islam, perang sabil, dan masyarakat jahiliyyah. Mereka adalah kelompok yang memiliki jaringan luas di masyarakat. Dalam tradisi pesantren, seorang santri yang tamat belajar wajib menjalankan semacam “inisiasi”, yaitu menggembara dari satu tempat ke tempat lain, untuk mengajarkan ilmunya kepada orang lain (dakwah). Pangeran Diponegoro memanfaatkan anggota komunitas religius untuk menjaga dan memelihara kontak-kontak hubungan dengan para pendukungnya di daerah-daerah yang jauh seraya mendorong pihak-pihak lain untuk ikut bergabung dalam perang sabil.

Selain komunitas santri, pendukung Diponegoro berasal dari lintas daerah, dengan tingkatan mutu tempur pasukan yang bertingkat. Menurut Diponegoro:

“Penduduk Madiun bagus dalam bertahan terhadap serangan pertama, namun setelah itu mereka tidak banyak berguna. Penduduk Pajang juga terkenal pemberani, tetapi tidak lama setelah itu kondisinya sama seperti yang tadi. Penduduk Bagelen lebih baik, itu kalau bertempur di daerahnya sendiri. Jika mereka harus bertempur di luar daerahnya, mereka kalah dengan cepat. Tetapi penduduk Mataram terbaik diantara semua; mereka bertarung dengan gigih dan tahu bagaimana harus prihatin dan tabah menghadapi penderitaan akibat perang.”[10]

Setelah sekian lama mempersiapkan diri dan menggalang dukungan, pendirian Diponegoro semakin teguh setelah mengalami beberapa peristiwa yang menyinggung kehormatan pribadi dan pelanggaran terhadap norma-norma kehidupan Jawa dan Islam. Ditambah lagi beban kehidupan yang makin berat bagi masyarakat lapisan bawah. Ia akhirnya mengambil keputusan untuk berbuat sesuatu, yaitu merebut kembali pulau Jawa.

Usaha menyongsong perang Jawa dimulai dengan mempersiapkan gua Selarong sebagai tempat awal untuk konsolidasi kekuatan laskar tempur para pengikutnya, membangun pabrik-pabrik mesiu yang tersembunyi dan tersebar di beberapa tempat, antara lain: desa Geger di sebelah selatan kota Yogyakarta, daerah Gunung Kidul, desa Parakan, desa Kembangarum di daerah Kedu, dan beberapa tempat lainnya. Menyebar telik sandi yang menyamar sebagai abdi pembantu rumah tangga, pekatik pemelihara kuda peliharaan, di lingkungan Keraton maupun di kediaman Patih Danurejo, Residen, Sekretaris Residen, Asisten Residen, para Ningrat yang dianggap sebagai sahabat para pejabat pemerintah Hindia Belanda, dan orang-orang lain yang dianggap sebagai lawan (musuh) dari cita-citanya mendirikan negara Islam, serta dilakukannya pembelian padi secara besar-besaran oleh masyarakat pada pertengahan 1825.

Kemudian pada pertengahan Juli 1825, terjadi insiden pemancangan patok batas rencana pembebasan tanah untuk pembangunan infrastruktur transportasi jalan baru dan penutupan jalan masuk ke kediamannya di Tegalrejo. Insiden itu membuat Pangeran Diponegoro merasa sudah tiba saatnya bagi dirinya untuk mengambil keputusan untuk berbuat sesuatu dengan memobilisasi kekuatan pasukan laskar tempur sebagai awal Perang Sabil merebut kembali pulau Jawa yang tujuan akhirnya mendirikan negara Islam.

Sejak terjadinya insiden pancang dan penutupan jalan dari Yogyakarta ke Tegalrejo, kediaman Diponegoro dijaga oleh 1.500 orang pengikutnya. Mereka terpengaruh berita bahwa Diponegoro akan ditangkap. Pada 21 Juli 1825, residen akhirnya memerintahkan satu detasemen pasukan yang dipimpin oleh asisten residen, Chevallier, untuk menangkap Diponegoro. Kedatangan pasukan tersebut disambut dengan perlawanan dari pengikut Diponegoro.[11]

Dalem Tegalrejo dikepung, dihancurkan, dan dibakar. Diponegoro kemudian lari ke Selarong, sebuah desa strategis yang berada di kaki bukit kapur, kurang lebih 9 km dari Yogyakarta. Di sana, diam-diam telah lama dipersiapkan sebagai markas besar. Pada akhir Juli 1825, di Selarong telah berkumpul beberapa orang bangsawan Yogyakarta, antara lain Pangeran Mangkubumi, Pangeran Adinegoro, Pangeran Panular, Adiwinoto Suryodipuro, Kyai Mojo, Pangeran Ronggo, dan Pangeran Surenglogo. Diponegoro memerintahkan Joyomenggolo, Bahuyuda dan Hanggowikromo untuk memobilisasi orang-orang di desa sekitar Selarong dan bersiap melakukan perang. Ia juga membuat perencanaan strategis dan langkah-langkah taktis untuk melakukan serangan.

Secara garis besar, strategi Diponegoro adalah merebut dan menguasai seluruh wilayah Kesultanan, lalu mengusir Belanda dan orang Cina keluar dari wilayah Kesultanan Yogyakarta.Nagara, terutama keraton Yogyakarta, sebagai sasaran strategis yang harus diduduki dengan mengepungnya dari semua penjuru. Pemberontakan lokal disulut untuk memecah kekuatan lawan dan kekuatan pihak-pihak yang membantu lawan.

Selanjutnya, Diponegoro mengambil beberapa langkah untuk mencapai tujuan strategisnya:

Menyerbu nagara (Keraton Yogyakarta) dan mengisolasinya untuk mencegah datangnya pasukan bantuan dari luar Yogyakarta.[12]Mengirim pesan yang berisi perintah untuk memerangi orang Eropa dan Cina.[13] Pesan itu disampaikan kepada para pemimpin pasukan ke seluruh wilayah Kesultanan; Kedu, Bagelen, Banyumas, Serang, dan wilayah Monconegoro Timur. Ia mengirim pesan yang sama kepada para demang di perbatasan Kesultanan dan Kesunanan. Diponegoro kemudian mengangkat pemimpin daerah melalui surat keputusan pengangkatan resmi yang disebut Piagem.Menyusun daftar bangsawan yang dianggap sebagai lawan dan melindungi mereka yang membantu.Membagi wilayah Kesultanan menjadi beberapa daerah perang[14] serta mengangkat komandan wilayah dan komandan pasukan, juga melantik beberapa pembantu utama.Menyusun pasukan pengawal keraton yang terdiri atas enam korps, yaitu Pasukan Mantirejo, Pasukan Daeng, Pasukan Nyutro, Pasukan Mandung, Pasukan Ketanggung, dan Pasukan Kanoman.

Struktur organisasi, hierarki, dan susunan tugas masing-masing korps tidak meniru model Barat, tetapi meniru model organisasi Janissari, yaitu pasukan elit kekhilafahan Turki Utsmani abad ke-16, yang disesuaikan dengan kondisi Jawa. Untuk menjalankan strategi perlawanan, Diponegoro menggunakan hierarki Turki untuk kepangkatan pasukannya. Ali Pasha setara komandan divisi diadopsi menjadi Alibasah. Di bawahnya, Pasha setara komandan brigade menjadi Basah. Kemudian setara komandan batalyon adalah Dulah, yang diadopsi dari istilah kepangkatan Agadulah. Untuk setara komandan kompi diambil istilah Seh.

Struktur pimpinan perlawanan Diponegoro meliputi dari yang tertinggi Pramudeng Prang (Sultan Ngabdulkamid Herucokro Kabirul Mukminim Sayidin Panotogomo Senopati ing Ngalogo Sabilullah, yaitu Pangeran Diponegoro sendiri). Panglima Tentara adalah Alibasah Ngabdul Mustapa Sentot Prawirodirjo. Komandan untuk kewilayahan perang (mandala) Pajang, Yogyakarta, dan Bagelen, berturut-turut Alibasah Kasan Besari, Alibasah Sumonegoro, dan Pangeran Diponegoro.

Perang Diponegoro sebagai perang rakyat meluas di sebagian wilayah Jawa. Saleh menuangkan catatan Letnan Gubernur Jenderal LPJ (Viscount) du Bus de Gissignies yang menyebutkan adanya pasokan senjata untuk pasukan Diponegoro melewati pantai selatan (Samudra Hindia) di sekitar wilayah muara Sungai Progo.

Pada 9 Agustus 1828, diketahui ada sebuah padewakang, kapal Bugis, bersama sejumlah besar perahu kecil berangkat dari muara Sungai Progo ke arah daratan. Peristiwa ini diduga sebagai penyelundupan senjata untuk pasukan Diponegoro. Siapa yang membantu penyelundupan senjata untuk pasukan Diponegoro sampai sekarang belum terungkap. Dari Turki hanya digunakan istilah hierarki kepangkatan tentara Diponegoro.

Melihat persiapan yang begitu matang, selama beberapa tahun Diponegoro telah melakukan aksiconspiracy of silence karena dalam waktu yang relatif singkat mampu memobilisasi kekuatan. Ia dengan sengaja mempersiapkan diri untuk melakukan perebutan kekusaan politik di Kesultanan Yogyakarta. Hal ini dimulai saat ia menolak pencalonan sebagai putra mahkota olehJohn Crawfurd pada tahun 1812 hingga menolak tawaran Residen Baron de Salis untuk menjadi Sultan pada tahun 1822. Sikap tersebut menjadi bukti bahwa ia mempunyai pendirian dan ideologi tersendiri tentang negara dan sistem kenegaraan.

 

 

 

2.    Tujuan perang Diponegoro

Banyak penutur sejarah yang mengatakan bahwa perang Diponegoro dipicu oleh perang dinasti antara kasultanan Mataram dan Surakarta dan masalah patok kuburan leluhurnya yang dilanggar. Pemikiran sejarah haruslah logis, kata Hacket Fischer, agar mencegah kekeliruan penuturan sejarah. Logikanya, butuh lebih dari itu untuk melangsungkan perang panjang yang dampaknya hingga menguras anggaran belanja sebuah negara.

Faktor yang mendukung keberlangsungan perlawanan Diponegoro menjadi demikian hebatnya:

a.    Perang Diponegoro bertujuan mempertahankan kedaulatan negara.

Kegiatan perlawanan militer Diponegoro adalah dalam kerangka penegakan Balad al Islam(negara Islam).

Ada tiga indikasi yang menunjukkan Perang Diponeogoro bertujuan mempertahankan negara:

Memiliki ideologi (sumber ideologi) berperang untuk mendirikan negara yang Berkeadilan yang Berdasarkan Agama Islam. Aksi kolektif militer Diponegoro jelas bertujuan untuk mendirikan balad (negara) Islam yang sekaligus merupakan bentuk reaksi penolakan terhadap perluasan pengaruh kapitalisme atau liberalisme yang dianggap mengganggu sistem sosial dan keagamaan di Tanah Jawa.

Menurut Louw perjuangan masyarakat Jawa di bawah kepemimpinan Diponegoro dilandasi oleh alasan yang lebih filosofis, yaitu jihad fi sabilillah. Hal ini diakui oleh Louw dalam De Java Oorlog Van 1825-1830:

“Tujuan utama dari pemberontakan tetap tak berubah, pembebasan negeri Yogyakarta dari kekuasaan Barat dan pembersihan agama daripada noda-noda yang disebabkan oleh pengaruh orang-orang Barat.”

Hal ini tampak dari ucapan Pangeran Diponegoro kepada Jendral De Kock pada saat penangkapannya.

“Namaningsun Kangjeng Sultan Ngabdulkamid. Wong Islam kang padha mukir arsa ingsun tata. Jumeneng ingsun Ratu Islam Tanah Jawi”

(Nama saya adalah Kanjeng Sultan Ngabdulkhamid, yang bertugas untuk menata orang Islam yang tidak setia, sebab saya adalah Ratu Islam Tanah Jawa)”.[15]

Memiliki organisasi dan kondisi masyarakatnya yang mendukung. Kepemimpinannya mampu mendidik masyarakat, memupuk semangat, dan memberikan tujuan. Implikasi positifnya Pangeran Diponegoro memiliki Hegemoni Politik di wilayahnya.

Dengan latar belakang ideologis, diiringi dengan kondisi sosial ekonomi saat itu yang penuh dengan kezaliman, semakin memudahkan Diponegoro untuk mendapatkan dukungan masyarakat. Kondisi tersebut antara lain: Pertama, wilayah kraton yang menyempit akibat diambil alih Belanda, Kedua, pemberian kesempatan kepada orang Tionghoa untuk menarik pajak, Ketiga, kekurangadilan di masyarakat Jawa, Keempat, aneka intrik di istana, Kelima, praktek sewa perkebunan secara besar-besaran kepada orang Belanda, yang menyebabkan pengaruh Belanda makin membesar, Keenam, kerja paksa bukan hanya untuk kepentingan orang Yogyakarta saja, tetapi juga untuk kepentingan Belanda.

Kareel A Steenbrink menyebutkan, pemikiran dan kiprah Pangeran Diponegoro menarik para ulama, santri dan para penghulu merapat pada barisan perjuangannya. Carey menemukan 108 kyai, 31 haji, 15 Syeikh, 12 penghulu Yogyakarta, dan 4 kyai guru yang turut berperang bersama Diponegoro.

Bagi sebagian kalangan, ini cukup mengherankan. Sebab, pasca pembunuhan massal ulama dan santri oleh Sunan Amangkurat I tahun 1647, hubungan santri dengan kraton digambarkan sangat tidak harmonis. Namun Pangeran Diponegoro yang merupakan keturunan bangsawan dan ulama sekaligus, berhasil menyatukan kembali dua kubu tersebut.

Bentuk penolakan terhadap kedaulatan sistem asing yang batil.  Di samping itu sistem organisasi militer Pangeran Diponegoro- yang berkiblat ke Sistem militer Kekhalifahan Turki Usmani menunjukkan sikap hubungan formal bilateral antar dua kekuasaan politik. Terkait dengan kedaulatan, ada hubungan politik antara Pangeran Diponegoro dengan Khalifah di Turki. Bulkiyo yang berasal dari istilahBolzuk atau divisi pasukan elite Turki Usmani Janissari abad ke-16, juga digunakan sebagai nama korps pasukan elite Diponegoro.b.      Kekuatan motivasi dan kecakapan para pemimpin perang Diponegoro dalam mengelola aksi-aksi untuk mencapai tujuan.

Kemampuan para pemimpin perang Diponegoro dalam menggali dan mengolah emosi masyarakatnya agar tetap berkeyakinan terhadap perjuangan, merupakan salah satu faktor pendukung hingga peperangan bisa berlangsung lama. Secara umum kecakapan itu tercermin  dari munculnya strategi baru sebagai balasan untuk strategi Stelsel Benteng. Strategi langsung yang mengandalkan keunggulan jumlah tentara yang diterapkan Diponegoro sebelumnya sudah tidak efektif kemudian digantikan dengan strategi atrisi (die Ermatung Strategie). Strategi penggerogotan mengubah sifat perangnya menjadi perang jangka panjang.

 

 

3.         Jihad Diponegoro

Dalam pandangan Diponegoro dan pasukannya, perang yang mereka lakukan melawan Belanda dan sekutunya adalah sebuah jihad, yaitu berperang melawan kaum kafir yang telah melakukan penyerangan, pengusiran, dan perampasan terhadap umat Islam, dan juga berperang melawan orang-orang murtad, yaitu orang Islam yang membantu orang kafir dalam memusuhi dan melakukan agersi terhadap umat Islam. Dalam masa itu, kata sabil dan sabilillah yang mempunyai makna spesifik, digunakan untuk menggantikan kata jihad. Kata sabil maupunsabilillah merupakan sebutan ringkas dari kata jihad fi sabilillah yang secara khusus kata ini bermakna melakukan peperangan melawan orang kafir.

Di samping itu, penggunaan kata sabil maupun sabilillah dianggap lebih mudah pengucapannya dalam bahasa Jawa daripada kata jihad fisabilillah. Pengucapan istilah-istilah asing dalam bahasa Jawa seringkali disingkat dengan cara mengambil kata yang paling belakang atau menggandengkan dua kata tersebut dan diucapkan sesuai dengan lidah orang Jawa. Hal ini juga dilakukan oleh Diponegoro dalam penulisan Babadnya. Sebagai contoh, Gerad Baron Nahuys (nama Residen Yogyakarta tahun 1816 – 1822) cukup ditulis dengan Nahuys, John Crawfurd diucapkan dengan Karepet, Abu Bakar dilafalkan Bubakar, Abdurrahim menjadi durahim, serta Ali Pasya menjadi Libasah atau basah.

Penggunaan kata sabil dan sabilillah juga erat kaitannya dengan struktur penulisan Babad Diponegoro yang menggunakan macapat. Seperti telah diketahui bahwa penulisan macapat mempunyai aturan yang ketat terutama berkaitan dengan jumlah suku kata (guru wilangan) dan rima (guru lagu). Penggunaan kata jihad fisabilillah yang mempunyai suku kata yang panjang dan agak sulit diucapkan orang Jawa, dirasakan sangat menyulitkan dalam penyusunan macapat yang mempunyai aturan suku kata dan rima. Oleh karena itu, kata sabil dan sabilillah digunakan sebagai kependekan dari kata Jihad fisabilillah.

Di dalam Babad Diponegoro terdapat kurang lebih 59 kata sabil dan sabilillah yang mempunyai pengertian berperang melawan orang kafir. Antara lain dalam tembang Girisan (X) berikut:

Mas Lurah aris katanya

“Bok ayo sabil kewala

Iki Jumungah dinanya

Mapan hiwih aprayoga”

Jeng Sultan kendel sakala

Mangkana osiking drinya

“Wus bener Mas Lurah ika

Nging sun tan rinilan suksma,

Sadina iki sirnaa

Pan aja kongsi kadawa”

Kanjeng Sultan angandika

Mring Pangeran Dipanagara

Heh Kulup prajurit ika

Saanane tuturana

Yen sun arsa sabil iya”

Kanjeng Sultan apan biya…!

Terjemahan bebasnya kurang lebih sebagai berikut:

Mas Lurah dengan bijaksana berkata

Ayo kita sabil saja

Hari ini hari Jumat

Hari baik untuk berperang

Sultan (Abdul Hamid) berhenti sejenak

Dalam batinnya berkata

“Benar perkataan Mas Lurah

Jiwa saya rela

Hari ini juga

Jangan sampai tertunda

Sultan kemudian berkata

Kepada Pangeran Diponegoro III (putera Diponegoro)

Wahai ananda, prajurit

Yang ada hendaknya diberitahu

Kalau saya hendak berperang

Sultan karena saran ini….

Kata sabil yang digunakan dalam tembang di atas bermakna berperang melawan kafir (Belanda). Kalimat “Bok ayo sabil kewala” mempunyai pengertian mari kita berperang dengan orang kafir saja dan tidak perlu mundur.

Selain itu, pasukan yang meninggal dalam jihad disebut dengan meninggal dalam sabil (prapta sabil/sabilullah). Diponegoro menggunakan kata sahid untuk orang-orang Islam dari kalangan masyarakat sipil yang menjadi korban perang. Penggunaan kata sahid ini merupakan pemberian penghargaan Diponegoro yang besar kepada umat Islam yang tidak terlibat langsung dalam peperangan. Bantuan umat Islam sangat besar bagi keberlangsungan perjuangan Diponegoro yang mempergunakan sistem gerilya.

Diponegoro menggunakan Al Quran sebagai dasar ideologi untuk berjihad. Sebagian besar kata Al Quran dalam Babad Diponegoro menunjukkan makna Al Quran sebagai landasan dalam berjihad. Dalam menafsirkan ayat-ayat Al Quran yang membahas jihad dalam artian perang melawan orang kafir, Diponegoro meminta kepada penasihat utamanya, yaitu Kyai Keweron dan Kyai Mojo, untuk menjabarkan dan menafsirkan ayat-ayat tersebut. Di dalam Babad, Diponegoro mengaku bahwa dirinya tidak mengetahui seluruh isi Al Quran dan takut apabila salah dalam menafsirkannya.[16]

Secara umum, Babad Diponegoro tidak menunjukkan dengan terperinci ayat-ayat Al Quran yang dijadikan dasar dalam jihad. Diponegoro hanya mengungkapkan bahwa perjuangan yang dilakukannya didasarkan atas menjalankan perintah untuk menjalankan ayat qital dalam Al Quran.

Ngantepi Islamnya samya

Nglampahi parentah dalil

Ing Quran pan ayat Katal

Namung sing Rabulngalamin

Ing akerat punika

Tetepa ingkang sinuwun

 

Semua orang memegang teguh Islam

Menjalankan perintah dalil

Ayat Qital dalam Al Quran

Hanya kasih Rabbul’alamin

Di akhirat lah

Yang tetap dimohon

Jihad yang dilakukan oleh Diponegoro bertujuan untuk menegakkan agama Islam di Jawa. Hal ini terlihat dalam surat balasan yang ditulis oleh Diponegoro kepada Jenderal de Kock yang menanyakan maksud dan tujuan Diponegoro:

“Dhateng ingkang saudara

Jenderal de Kock ri sampunnya

Tabe kawula punika

Dene Jengandika tanya

Menggah Karsane ki Harya

Estu yen darbe karsa

Rumiyin lan sapunika

Nging luhuring kang agama

Ing Tanah Jawi sadaya

Kalamun estu andika

Tan makewedi punika

Mring agamane akar ya

Islame ing Tanah Jawa

Pan inggih purun ki Harya

Dhame lawan Jengandika

Nanging Anedha pratandha[17]

 

Kepada Saudara

Jenderal de Kock

Saya mohon maaf

Jika anda bertanya

Apa keinginan Aryo (Diponegoro)

Sungguh bila punya keinginan

Hanya untuk meninggikan agama

Di seluruh tanah Jawa

Jika anda benar-benar

Tidak membuat kesulitan

Kepada agama

Islam di tanah Jawa

Maka Aryo bersedia

Berdamai dengan anda

Tetapi, meminta bukti

Selain menegakkan Islam, jihad Diponegoro juga mempunyai misi untuk mendirikan negara Islam di tanah Jawa. Secara implisit hal itu disampaikan oleh Diponegoro kepada Kyai Penghulu yang hendak berangkat ke Mekkah menunaikan ibadah haji seperti yang dituturkan dalam pupuh Dandanggula (VII) berikut ini:

Syukur kaki dika jangji

Lamun besuk dika prapteng Mekah

Poma aywa muleh-muleh

Matia aneng ngriku

Yen manira antuk kang kardi

Dika kabar-kabarna

Lan dika nunuwun

Pandongane para imam

Muga kula oleha supangat Nabi

Lan kaliraning Allah

Den kuwatno manglawan mring kapir

Lan den banget andika nenedha

Sujud ing kakbahtolahi

Nunuwa ing Hyang Agung

Lestarine kang tanah Jawa

Dadya balad agama

Kaki laman estu

Wonten pitulung Hyang Suksma

Ki Pangulu den rikat andika mulih

Ki pangulu aturnya….[18]

 

Syukurlah kalau begitu ananda, kamu harus janji

Jika kamu sudah tiba di Mekah

Sungguh jangan pulang-pulang

Jika perlu wafatlah di sana

Jika saya mendapat apa yang diperjuangkan

Kamu kabarkan

Dan kau pintakan

Doa kepada para imam

Semoga saya mendapat syafaat Nabi

Dan ridlo Allah

Dikuatkan melawan orang kafir

Dan kamu mohonkan dengan sungguh-sungguh

Saat sujud di Ka’bah

Mohonlah kepada Tuhan

Lestarinya tanah Jawa

Menjadi balad agama

Wahai ananda, jika benar-benar

Ada pertolongan Tuhan

Ke Pengulu, cepat-cepat Anda pulang”

Ki Pengulu berkata….

Dari kutipan di atas terlihat bahwa keinginan Diponegoro adalah berdirinya balad agama yang lestari di tanah Jawa. Balad agama yang dimaksud adalah sebuah negara di tanah Jawa yang berlandaskan syariat Islam. Keinginan ini tidak hanya murni keinginan Diponegoro, tetapi menjadi keinginan dari pembantu dan pengikutnya juga. Indikasi itu terlihat dari saran Mangkubumi untuk mengangkat Diponegoro menjadi Sultan dengan gelar Abdulhamid Herucakra Amirul Mukminin Sayyidin Panatagama Khalifatur Rasul ing Tanah Jawa.

Adapun sasaran dari jihad Diponegoro adalah dua kelompok, yaitu orang-orang kafir dan murtad. Yang dimaksud kafir adalah orang Belanda yang notabene adalah non Muslim dan telah melakukan penyerangan dan penjajahan terhadap umat Islam. Sedangkan kata murtad ditujukan kepada orang-orang Muslim Indonesia yang membantu Belanda dalam memerangi Diponegoro dan pasukannya serta melakukan kegiatan penindasan kepada rakyat.

Dalam babad Diponegoro terdapat kurang lebih 96 kata kafir dan 70 kata murtad yang konteksnya adalah musuh orang-orang Islam dalam peperangan. Diantaranya seperti diungkapkan dalam tembang pangkur (XII) berikut ini:

Budhal saking sela Mirah

Sampun prapta ing sawetning Pragi

Mesanggrahan senjati

Mangsah nulya prapta

Kapir lan murtad apan langkung kathahipun

Dhateng ira mara tiga

Nanging datan den tangledi[19]

Berangkat dari Selamira

Sampailah di sebelah timur Pragi

Dan kemudian singgah di Senjati

Kemudian musuh datang

Kafir dan murtad dengan jumlah yang banyak

Datang dengan dibagi tiga

Tetapi tidak dihiraukan

Secara kronologis, istilah kafir dan murtad ini digunakan setelah penyerbuan pasukan Belanda dan Yogyakarta ke Tegalrejo. Sebelum peristiwa tersebut, istilah kafir tidak digunakan meskipun pasukan Inggris dan Sepoy pernah melakukan penyerbuan ke wilayah keraton Yogyakarta. Istilah kafir dan murtad ini muncul ketika ideologi jihad telah dirumuskan oleh Diponegoro bersama dengan ulama-ulama yang mendampinginya.

Pemberian label kafir dan murtad serta Islam sangat diperlukan untuk membedakan siapa pembela agama dan siapa musuh agama. Diponegoro membuat peraturan bahwa yang menjadi pasukannya harus beragama Islam dan menunjukkan perilaku dan atribut Islam. Pasukan Diponegoro yang berasal dari keturunan Tionghoa yang turut bagian dalam melawan Belanda, diwajibkan untuk masuk Islam serta diharuskan memotong rambut kuncir yang menunjukkan identitas orang Cina.[20] Sebagai gantinya, pasukan Diponegoro menggunakan atribut bercorak keislaman yakni surban.

Ideologi anti kafir dan murtad yang keras di kalangan pasukan Diponegoro tercermin dalam penggunaan bahasa, khususnya yang berkaitan dengan kematian pasukan musuh. Dalam babad, Diponegoro tidak segan-segan menyebut musuh yang mati di medan perang dengan namabangke (bangkai) yang biasanya digunakan untuk hewan.[21]

 

 

 

4.    Jalannya peperangan

Tepat tiga minggu sesudah insiden penyerbuan Tegalrejo, pasukan Diponegoro melakukan penyerbuan terhadap nagara Yogyakartadari segala penjuru dengan kekuatan 6.000 pasukan, dimana pasukan ini terdiri dari tiga kolone: Kolone pertama dipimpin oleh Pangeran Abu Bakar, saudara dari Diponegoro yang juga seorang putra dari Sultan III. Pasukan pertama ini bergerak dari arah timur dan menyerbu dalem Pakualaman. Mereka menghancurkan jembatan Kali Code, membakar perkampungan orang-orang Cina dan Eropa ser

Kolone kedua dipimpin oleh Pangeran Adinegoro. Mereka berhasil menguasai jalan penghubung Yogya – Magelang - Surakarta. ta merusak gerbang-gerbang pajak.

Kolone ketiga di bawah pimpinan Pangeran Blitar, bergerak dari arah selatan dan menguasai jalan raya Bantul. Pasukan ini berusaha merebut keraton.[22] Rumah para bupati (tumenggung) yang dianggap lawan dirusak, dijarah, dan dibakar. Dalam penyerbuan tersebut, pasukan Diponegoro juga menjarah gudang-gudang logistik dan mengangkutnya ke luar kota. Penjarahan ini mengakibatkan sebagian besar penduduk Yogyakarta menderita kekurangan bahan makanan.

 Sultan Hamengkubuwono V berhasil diselamatkan dan diberi pengawalan ketat di benteng Vredenburg. Sedangkan Keraton Yogyakarta berhasil dipertahankan oleh pasukan Pengawal Keraton yang dipimpin oleh Mayor Wironegoro, tanpa menimbulkan kerusakan berarti.

Setelah dibakar, nagara Yogyakarta tidak diduduki oleh pasukan Diponegoro, melainkan hanya diisolasi. Pasukan Diponegoro memblokade semua jalan masuk ke kota dan berjaga-jaga di pinggir kota. Praktis, Yogyakarta menjadi kota mati dan kekurangan pangan. Tawanan dan barang-barang rampasan dibawa ke Selarong. Pasukan Diponegoro berhasil menduduki Yogyakarta selama tujuh hari.

Serbuan terhadap nagara yang strategis berdampak luas. Para peserta conspiracy of silence, terutama para tumenggung dan demang bawahan, melakukan mobilisasi pasukan untuk melakukan perang. Akibatnya, dalam waktu singkat hampir seluruh wilayah Kesultanan bergolak. Satu-satunya kekeliruan strategi pasukan Diponegoro adalah mereka tidak sepenuhnya menduduki nagara. Terutama keraton yang menjadi simbol kekuasaan, sekalipun objek vital lainnya berhasil direbut.

Perang kemudian berkobar meluas ke segala penjuru tanah Jawa. Laskar tempur pengikut Pangeran Diponegoro tak mudah ditaklukkan, sebab di dada mereka terpendam Bara Api Semangat Perang Sabil. Tak kurang usaha licik untuk menundukkannya dengan menawarkan tahta dan status tanah perdikan kepada Pangeran Diponegoro. Namun bujuk rayu tawaran tahta dan uang yang terbukti ampuh dalam menyelesaikan pemberontakan Ningrat Jawa pada masa-masa sebelumnya ini tak membuat bergeming pendirian Pangeran Diponegoro dari tujuannya mendirikan negara Islam.

5.        Strategi Belanda menghadapi Diponegoro

Banyak kesulitan yang harus dihadapi oleh Belanda pada awal masa perang Jawa (1825-1827). Mulai dari jumlah pasukan yang hanya 3 resimen (satu resimen infanteri, satu resimen huzar, dan satu resimen artileri), ditambah legiun Mangkunagoro yang jumlahnya sekitar 1.800 orang.[23] Pasukannya tersebut juga tidak mengenal medan (terrain) dengan baik. Tidak ada peta yang lengkap dan hampir semua peta yang tersedia berada dalam kondisi buruk dan cacat. Padahal sebagian besar wilayah Kesultanan Yogyakarta berbukit-bukit. Pasukan yang sebagian besar tidak mengenal medan menjadi faktor penghambat mobilitas. Kondisi cuaca juga tidak menguntungkan karena musim kemarau dan hujan berganti tidak menentu. Selain itu, karakter pemberontak yang mereka hadapi terkenal pemberani dan fanatik. Mereka amat membenci orang Eropa dan Cina.

Jenderal H.M. de Kock, yang ditugaskan sebagai Komisaris Pemerintah untuk Kesultanan Yogyakarta dan Kasunanan Surakarta, menyusun plan de champagne (rencana kampanye) untuk menumpas pemberontakan. Plan de champagne tersebut terdiri atas:

-       Membuat persekutuan dengan Sunan Surakarta dan Mangkunagoro untuk mengisolasi Diponegoro.

-       Merebut sasaran strategis, yaitu nagara Yogyakarta, dari tangan pemberontak untuk mengembalikan kedaulatan Pemerintah Hindia Belanda dan kewibawaan Sultan.

-       Mengamankan jalur komunikasi darat yang strategis antara Surakarta-Klaten dan Klaten-Yogyakarta.

-       Mengamankan jalur komunikasi darat Semarang-Salatiga dan Salatiga-Surakarta.

-       Mengamankan jalur komunikasi darat di pantai utara antara Semarang-Rembang

-       Mengamankan jalur komunikasi darat Pekalongan-Semarang

-       Membebaskan daerah-daerah milik Kesultanan yang direbut dan diduduki oleh pemberontak, seperti Serang, Ngawi, dan Madiun.

-       Membebaskan daerah milik Pemerintah Hindia Belanda di Demak, Rembang, Jabarangkah (Karesidenan Pekalongan), Banyumas, Kedu, dan Bagelen sampai batas sungai Bogowonto.

-       Memanggil pasukan-pasukan yang beroperasi di luar Jawa dan menetapkan garis awal di beberapa pelabuhan pendaratan di Pantai Utara.

-       Merekrut spion dan orang-orang yang dipercaya untuk mencari informasi tentang lawan.

 

 

 

 

Selama 1825-1827, de Kock terus melakukan operasi militer dengan beberapa sasaran strategis. Ia melakukan operasi militer dengan lima pendekatan langsung, yaitu:

-       Membuat persekutuan dengan Sunan Surakarta dan Mangkunagoro untuk mengisolasi Diponegoro, baik secara militer maupun politis, untuk membentuk pendapat umum bahwa pemberontakan adalah sebuah perbuatan jahat.

-       Mengikat persahabatan dengan musuh-musuh Diponegoro—para pangeran di Kesultanan Yogyakarta—agar tidak membantu Diponegoro, sekalipun bersikap pasif.

-       Merebut kembali daerah-daerah Kesultanan Yogyakarta yang diduduki oleh pengikut Diponegoro. Menegakkan kembali keamanan dan pemerintahan agar pajak-pajak dapat dipungut dan perekonomian dapat berjalan kembali secara lancar.

-       Menggiring pasukan pemberontak ke daerah antara Sungai Progo dan Bogowonto sebagaikilling area.

-       Menangkap pemimpin tertinggi pemberontak, yaitu Diponegoro sebagai “center of gravity”.

Selain itu, de Kock juga menyebarkan seruan kepada pengikut Diponegoro bahwa ia akan memberikan pengampunan kepada mereka yang dengan sukarela menyerahkan diri. Ia juga menulis surat kepada Diponegoro dan Mangkubumi yang berada di Selarong. Diponegoro segera merundingkan isi surat itu dengan Pangeran Mangkubumi dan Kyai Mojo, kemudian memerintahkan kepada Pangeran Joyokusumo dan Pangeran Suryenglogo untuk menulis surat balasan yang secara tegas menolak berdamai.[24]

Setelah menerima surat balasan, de Kock segera memerintahkan pasukan kolose kedua untuk menyerbu Selarong, tetapi desa Selarong telah kosong. Para pimpinan pasukan Diponegoro telah berpencar meninggalkan Selarong menuju ke pelbagai arah. Kegagalan dalam penyerbuan Selarong tersebut membuat perang menjadi semakin berlarut-larut. Perkiraan de Kock yang membiarkan lawan berperang dengan cara perangnya sendiri sampai kehabisan logistic ternyata keliru. Karena prajurit-prajurit Diponegoro ternyata mampu bertahan hanya dengan makan nasi kering dan garam. Dapat dikatakan, operasi pengejaran (marching, fighting, camping) selama 1825-1827 yang diprakarsai oleh Jenderal de Kock telah gagal menangkap Diponegoro.

Pada pertengahan tahun 1827, Jenderal De Kock mulai merintis jalan perundingan dengan menugaskan seorang pengusaha berkebangsaan Inggris (William Stavers) dan seorang pengusaha keturunan Arab (Ali Chalif) untuk berunding serta menawarkan kepada Pangeran Diponegoro untuk memilih tanah di mana saja yang diinginkannya asal bersedia menghentikan peperangan.

Menjawab tawaran Jenderal De Kock itu, Pangeran Diponegoro menjawab ia mau menghentikan peperangan dengan syarat : Pertama, semua orang Belanda harus memeluk agama Islam. Kedua, wilayah pesisir utara Jawa dikembalikan kepada Kesultanan. Ketiga, orang Belanda boleh tinggal di Jawa tetapi tidak boleh melakukan aktivitas perdagangan. Tujuan peperangan tidak lain adalah untuk memuliakan agama Islam.

Perang perlawanan rakyat semesta yang dipimpin Pangeran Diponegoro ini pun terus berkobar. Perang yang panjang dan melelahkan bagi kedua belah pihak.

 

Operasi Stelsel Benteng (1827-1830)

Selama perang berlangsung pemerintah Hindia Belanda terpaksa harus membangun lebih dari 250 buah benteng untuk mendukung strategi perang Stelsel Benteng. Menerapkan strategi politik berupa Blokade Politik, Isolasi Politik, politik Belah Bambu (Stick and Carrot), Politik Adu Domba (Devide Et Empera). Dibarengi penelitian sosio budaya untuk menguak titik kelemahan kekuatan Laskar Diponegoro yang dilakukan oleh ilmuwan orientalis ahli urusan Pribumi dan orang Jawa (Roorda van Eysinga).

Mereka juga mendatangkan bala bantuan pasukan koninklijke leger expedisi yang didatangkan langsung dari negeri Belanda. Selain itu, untuk menambah jumlah pasukannya, Belanda kemudian merekrut prajurit dari Afrika dan Pantai Gading—yang kemudian dikenal sebagai Belanda hitam. Belanda juga memobilisasi pasukan bantuan prajurit Pribumi dari berbagai daerah (Hulptroepen), antara lain : Legiun Mangkunegoro, Pasukan Kasunanan Surakarta, Manado dan Gorontalo (pimpinan Hasan Monwarfa), Buton (pimpinan Raja Haji Sulaiman), Alfoeren Halmahera, Tidore, Ternate, Sumenep Madura, Badung Bali, dan dari beberapa daerah lainnya. mendatangkan tentara yang bermarkas di Sulawesi hingga total kekuatannya mencapai 23.000 personel.

Perang ini telah menguras keuangan pemerintah Hindia Belanda yang mengeluarkan biaya perang hingga tak kurang dari 25.000.000 Gulden (Rp 127 Milyar). Biaya perang yang sangat besar untuk ukuran masa itu. Konsekuensi finansial yang besar untuk strategi Stelsel Benteng hingga Belanda menyebut Perang Diponegoro sebagai groote onheilen (bencana besar) bagi administratif Kolonial. Defisit anggaran mereka sampai f18.000.000 Gulden (sekitar Rp 92 Milyar). Dan tahun 1827 saja tidak kurang dari 3000 orang serdadu Eropa tewas di hadapan kedigdayaan Tentara Islam Diponegoro.

Gagalnya strategi mobilitas merupakan pengalaman yang berharga. De Kock selama ini banyak terfokus untuk menangkap pimpinan pemberontak. Ia kini mencoba untuk melakukan cara pendekatan pribadi dengan para tumenggung beserta bawahannya. Operasi-operasi militer intensif bukan semata-mata untuk menghancurkan lawan atau merebut daerah lawan, tetapi juga sekaligus mengucilkan para pemimpinnya. Berbeda dengan perang umum, pihak lawan dalam perang kecil tidak memiliki center of gravity sehingga sulit untuk menentukan sasaran pokok. Salah satu cara menghancurkannya adalah dengan merebut milik yang paling berharga bagi mereka, to capture whatever they prize most.

Bagi de Kock, para pimpinan lawan adalah sesuatu yang amat berharga. Mereka dibujuk dan diajak berbicara untuk menyelesaikan permusuhan secara damai. Berunding dengan lawan tidak berarti mengurangi kehormatan dan kewibawaan pemerintah karena karakter orang Jawa ternyata sulit diperhitungkan. Mereka seringkali terlihat sebagai orang yang lamban dan pemalas, namun ternyata mereka adalah gerilyawan yang tangguh.

Dari hasil pemikiran dan pengalaman di lapangan, de Kock memperbaiki kesalahan strategi mobilitasnya. Pada tahun 1827, ia memutuskan untuk melaksanakan strategi baru, yaitu strategi Stelsel Benteng. Strategi ini meliputi dua aspek, yaitu aspek strategi dan aspek sistem persenjataan yang menyatukan pasukan dengan senjatanya. Dalam strategi ini, benteng, meriam dan pasukan menjadi unsur pokok ofensif-defensif. Benteng menjadi tidak terpaku dalam satu wilayah (statis), tetapi dinamis.

Dalam teori strategi, Stelsel Benteng disebut sebagai strategi tidak langsung. Sebab, penguasaan wilayah agar pasukan dapat memperoleh kebebasan bergerak esensinya. Pasukan harus berada sedekat mungkin dengan lawan untuk memecahkan konsentrasi pasukan lawan, sehingga benteng sebagai pangkalan pasukan harus dibangun sedekat mungkin dengan daerah penduduk lawan. Operasi-operasi militer yang berupa patroli taktis ofensif dilakukan secara teratur. Gunanya untuk mendesak lawan ke suatu “killing area”, yaitu daerah antara Sungai Projo dan Bogowonto, yang merupakan daerah yang dijaga secara ketat dengan mendirikan benteng-benteng untuk mempersempit lawan dan mencegah penerobosan lawan ke luar wilayah, serta mendisorganisasi kekuatannya.

Pelaksanaan strategi benteng disertai beberapa pedoman dan operasi yang harus ditaati oleh setiap prajurit, seperti larangan (forbidances) bagi pasukan untuk tidak membakar desa (rumah, lumbung-lumbung pangan dan rumah ibadah), menangkap ternak (lembu, kerba dan kambing), menghancurkan panen juga persediaan makanan atau lumbung-lumbung pangan. Perbuatan-perbuatan tersebut hanya akan menimbulkan sikap antipati dan permusuhan yang berujung perlawanan.

Pasukan juga diharuskan berhubungan langsung dengan masyarakat agar mereka merasa terlindungi. Merebut simpati masyarakat amat esensial dalam strategi ini. Inilah sebuah strategi yang menggabungkan beberapaaspek militer ofensif-defensif dengan aspek kultural, psikologi dan ekonomi.

Secara ringkas, konsepsi Stelsel Benteng adalah penguasaan teritorial atau penaklukan total. Penguasaan teritori merupakan tujuan pokok, sebab jika keamanan ditegakkan, diharapkan perekonomian rakyat akan pulih dan pajak-pajak bisa dipungut kembali. Aspek kultural yang disosialisasikan kepada tentara adalah menghormati kepercayaan dan budaya setempat. Aspek psikologi terutama untuk melunakkan sikap fanatik (dwiepziek) lawan.

       Konsepsi Stelsel Benteng dimaksudkan untuk memperbaiki kualitas daya tempur pasukan Jendral de Kock yang merasa malu atas kegagalan selama perang dua tahun. Dapat dikatakan, strategi itu adalah kekuatan baru setalah gagasan membagi Kesultanan Yogyakarta ditolak oleh Menteri Koloni dan Kelautan, Elout, pada April 1827 atas nama Raja Belanda.

Operasi sosial dilakukan oleh Belanda dengan mengerahkan para bangsawan pemilik apanage ke medan perang dengan tugas utama mempengaruhi masyarakat agar tidak melakukan “perbuatan jahat”. Istilah “berandal” juga dipopulerkan di masyarakat.

Operasi psikologi dilakukan oleh Belanda dengan mengangkat kembali Sultan Sepuh (Sultan Hamengkubuwono II) pada Agustus 1826. Pengangkatan ini membawa pengaruh besar terhadap sebagian bangsawan yang berpihak pada Diponegoro. Pangeran Mangkudiningrat, adalah salah satu pimpinan pasukan di Sambiroto yang meninggalkan Diponegoro. ia menghubungi Residen Kedu, van Valck, untuk menyatakan keinginannya menghentikan permusuhan dengan meminta imbalan apanage di Kaliabu. Pada 1 Desember 1826, sekalipun permohonannya ditolak, Mangkudiningrat tetap menyerah. Menyerahnya Mangkudiningrat menginspirasi Belanda untuk membuat surat tawaran yang berisi ajakan untuk berdamai dan menghentikan permusuhan juga disampaikan kepada para pimpinan pasukan Diponegoro lainnya. Pangeran Notoprojo dan Pangeran Serang berhasil dibujuk.

Belanda juga melakukan operasi teritorial sebagai upaya menjauhkan Diponegoro dari rakyat. Karena  tanpa dukungan rakyat, pasukan Diponegoro akan terisolir dan hanya dianggap sebagaiberandal atau gerombolan perampok. Tujuan utamanya adalah untuk memikat hati rakyat, membina perkawanan, dan merebut teritori secara damai, yang berguna untuk mempersempit ruang gerak lawan. Belanda berusaha merebut simpati rakyat dengan membentuk opini dan sikap antipati terhadap pasukan Diponegoro.

Operasi teritorial dilakukan dengan dua cara, persuasif dan intimidasi. Cara persuasif dilakukan untuk meyakinkan rakyat bahwa tentara Belanda tidak berperang atau memusuhi orang Jawa, tetapi hanya mencari Diponegoro dan Kyai Mojo serta pengikutnya. Cara kedua dilakukan dengan intimidasi. Bila ada orang yang menolak memberikan informasi kepada pasukan Belanda, seluruh penduduk akan dianggap berandal dan desa akan dibakar. Para kuli dan tukang rumput (untuk kuda) juga tidak akan dibayar upahnya.[25]

Strategi Stelsel Benteng ini memaksa pasukan Diponegoro untuk berpencar menjadi kelompok-kelompok kecil. Keadaan ini bukan tanpa resiko. Komunikasi diantara para pimpinan pasukan Diponegoro menjadi terhambat. Masing-masing akhirnya mengambil inisiatif sendiri tanpa menunggu arahan komando dari panglima tertinggi, yaitu Diponegoro. Destabilisasi mulai terjadi di tubuh pasukan Diponegoro. Menurut Carley, ada tiga indikator utama terjadinya destabilisasi sebuah jaringan, yaitu berkurangnya aliran informasi, kesulitan untuk mencapai konsensus umum, dan berkurangnya efektivitas pelaksanaan tugas secara keseluruhan.[26]

Kondisi ini dimanfaatkan oleh Belanda untuk melakukan bujukan dan rayuan kepada beberapa tokoh kunci pasukan Diponegoro. Tawaran pengampunan atau negosiasi penyelesaian permusuhan secara damai pun dilakukan oleh Belanda. Untuk mengantisipasinya, Diponegoro memutuskan tidak seorang pun boleh bertemu dengan Residen Kedu, van Valck.[27]

Menurunnya perlawanan pasukan Diponegoro ditandai dengan menyerahnya pemimpin spiritual perjuangan, Kyai Mojo pada tahun 1829. Tak berapa lama, panglima utama Dipanagara, Sentot Alibasya dan Pangeran Mangkubumi, menyusul menyerah.[28]

Ketidaksamaan tujuan mulai terjadi diantara para pimpinan pasukan Diponegoro. Salah satunya adalah antara Diponegoro dengan Kyai Mojo. Perdebatan besar terjadi antara Diponegoro dan Kyai Mojo pada Agustus 1827 tentang hakikat kekuasaan politik. Mojo, menurut Diponegoro, menantang posisinya sebagai Sultan Erucokro dengan memintanya membagi kekuasaan menjadi empat bagian, yaitu kekuasaan ratu (raja), wali (penyebar agama), pandita (yang terpelajar di bidang hukum), dan mukmin (orang yang percaya). Mojo menyarankan agar Diponegoro memilih satu saja dari empat fungsi di atas. Jika Pengeran Diponegoro memilih menjadi ratu, Mojo mengatakan ia sendiri akan mengambil kekuasaan wali dan akan menjalankan kekuasaan agama secara mutlak. Namun, Diponegoro menolak pembagian kekuasaan semacam itu.[29] Bagi Diponegoro, ia adalah Khalifah Nabi Allah dalam perang suci di Tanah Jawa, dimana kekuasaan poitik dan agama berada di tangannya.

Perdebatan berlarut-larut ini ternyata sulit diselesaikan. Fakta bahwa Mojo menjadi kekuatan ideologi pendorong di balik perang dan intelektual Diponegoro yang tidak mudah didikte menciptakan keadaan dimana sulit dicari titik temu.[30]

Karakter keras kepala dan yakin akan pendapatnya sendiri membuat Kyai Mojo sempat membuat keputusan sendiri tanpa sepengetahuan Diponegoro. Pada awalnya ia diinstruksikan oleh Diponegoro untuk kembali ke Pajang, namun kemudian mengambil inisiatif untuk bertemu dengan Letnan Kolonel Wironegoro dan membuat perjanjian terpisah dengan Belanda.[31] Perubahan sikap Kyai Mojo, yang merupakan tokoh spiritual pasukan Diponegoro, terjadi akibat terbujuk muridnya, Kyai Dadapan. Dalam pertemuan tersebut Kyai Mojo mengajukan beberapa permintaan dan syarat, yaitu keluarganya diperbolehkan ke Pajang dengan hak-hak khusus, pengakuan dirinya sebagai penata agama di keraton, serta mendapat pengawalan sebuah barisan pasukan berkuda. Wironegoro menyanggupi semua permintaan Kyai Mojo apabila ia bersungguh-sungguh ingin menghentikan perang. Sayangnya Mojo gagal menyadari bahwa Belanda bersikap jauh lebih lunak kepada para ningrat yang menyeberang ke pihak mereka, tetapi tidak kepada santri terkemuka seperti dirinya yang mereka anggap sebagai pihak yang paling bertanggungjawab mengobarkan fanatisme agama dalam perang.[32]

Inisiatif Kyai Mojo ini membuat Diponegoro marah. Perbuatan Kyai Mojo dinilai sebagai perbuatan nista dan perbuatan orang yang takut mati. Ia dianggap telah menghina rekan-rekannya yang gugur dalam perang sabil dalam rangka menegakkan agama Islam.

Dene banget karya nistha

tulusuran luru urip

tuture ngelmu tan kena

wus titah lamun tan keni

ginugu ujarneki

ngulama apa ran iku

Sungguh perbuatan yang nista

berkelana hanya ingin hidup (takut mati)

ilmunya tidak bisa

perintahnya tidak bisa

diteladani kata-katanya

ulama macam apa dia

Diponegoro menegaskan, bahwa ia tidak pernah mengijinkan Kyai Mojo untuk bertemu siapa pun.

Mangkono maneh ki Maja

Bicara tan sun lilani

Lamun tan wani jurit

Angur konen bali iku

Demikian Kyai Mojo

Tidak saya ijinkan berunding

Jika tidak berani berperang

Lebih baik kembali

Setelah peristiwa tersebut, Kyai Mojo berusaha bertemu dengan Diponegoro, tetapi permintaan tersebut ditolak oleh Diponegoro.

Akhirnya, Kyai Mojo berserta pasukannya kemudian menuju Pajang. Mengetahui itu, pasukan Letnan Kolonel Le Bron de Vexela dengan cepat mengikuti gerak Kyai Mojo. Pada 11 November 1828 dini hari, mereka melakukan pencegatan dan menyergap pasukan Kyai Mojo di tepi Barat Sungai Bedog. Kemudian, Kyai Mojo dan pengikutnya dibawa ke Salatiga.[33]

Keberhasilan Belanda menangkap Kyai Mojo dan pasukannya membuat pasukan Diponegoro yang masih tersisa semakin terkepung di daerah sempit antara Kali Progo dan Kali Bogowonto. Di situ, strategi Belanda untuk membangun benteng-benteng darurat untuk melindungi dan mempertahankan wilayah-wilayah yang baru saja dibebaskan oleh pasukan mereka mulai mempersulit Diponegoro dan para panglimanya dalam pasokan makanan dan logistik tempur lainnya. Kesulitan-kesulitan juga mulai dirasakan dalam memungut pajak untuk membiayai pasukan.

Pada awal perang, Diponegoro mengorganisasi kebijakan pajaknya sendiri di daerah-daerah yang berhasil direbut. Hal ini meliputi pajak tanah dan cukai di pasar-pasar setempat.Tugas-tugas militer dan tugas-tugas administratif sungguh-sungguh dipisahkan. Kadang-kadang, bupati yang diangkat Pangeran ikut dalam pertempuran, namun mereka kebanyakan diarahkan untuk memainkan peran administratif. Orang-orang yang dipilih Diponegoro untuk jabatan keuangan tersebut ditarik dari pejabat-pejabat priayi senior keraton yang pernah mengabdi pada kesultanan dalam jabatan yang sama. Namun bagi komandan militer, Diponegoro menerapkan kriteria yang berbeda. Di sini, kriterianya adalah keberanian pribadi dan keperkasaan dalam pertempuran. Dalam pandangan Pangeran, keberanian pada dasarnya adalah sifat orang muda.

Namun pada Desemebr 1828, dengan semakin sulitnya pendanaan yang dialami oleh pasukan tempur, membuat Sentot Prawirodirjo meminta agar diberi kuasa untuk memimpin seluruh kekuatan pasukan Diponegoro di medan tempur, sekaligus diizinkan untuk menarik pajak secara langsung. Hal ini mengganggu batin Diponegoro, yang sadar bahwa perannya sebagai Ratu Adil mestilah menjamin kebijakan pajak yang ringan, dan tersedianya sandang pangan yang murah.[34] Pangeran takut jangan-jangan rakyat kebanyakan bakal tertindas jika Sentot Prawirodirjo—yang terkenal suka hidup boros—diizinkan memegang dalam satu tangan tanggungjawab militer dan pemerintahan.

“Jika orang yang memegang pedang juga nyambi memegang uang, bagaimana [ini]? Apakah tidak semakin kapiran (terbengkalai)?”[35]

Akhirnya, dengan rasa enggan Diponegoro setuju untuk memerintahkan pajak pasar bulanan dibagi antara Sentot Prawirodirjo dan dirinya, dengan dua pertiga untuk Sentot Prawirodirjo dan sepertiga untuk Pangeran pribadi.[36] Dalam babad, Diponegoro cukup menyesali keputusannya tersebut. Segera sesudah Belanda membangun dengan cepat sebuah benteng baru yang besar di Nanggulan, di tepi jalan antara Sentolo dan Kalibawang, Sentot tidak bereaksi cukup cepat karena sibuk dengan urusan keuangan.[37] Ketika panglima muda ini memerintahkan serangan dengan kekuatan penuh, benteng Belanda sudah terlampau kuat untuk ditembus dan ia menderita kekalahan besar pada awal Januari 1829.[38]

Pertengahan 1829, suplai makanan semakin menipis. Pejabat-pejabat lokal yang semula mendukung Diponegoro sekarang berbalik menentangnya. Banyak yang mengungsi ke wilayah yang berada di bawah kendali benteng Belanda, karena keamanan dirasa lebih terjamin dan kesempatan ekonomi lebih baik.[39] Perilaku culas dari sebagian pejabat pasukan Diponegoro serta kebijakan Belanda untuk merebut hati rakyat dengan memberikan bajak dan benih gratis kepada mereka yang mau pindah ke wilayah Belanda, mendorong para petani dan keluarga mereka tetap betah tinggal di dekat benteng tersebut.[40] Ikatan kerjasama dan saling percaya antara pasukan Diponegoro dan penduduk desa setempat sudah rusak. Tanpa adanya dukungan rakyat tidaklah mungkin dilancarkan perang gerilya yang berhasil.

Bulan September 1829 benar-benar bulan yang menyedihkan bagi Diponegoro, sebagai pemimpin tertinggi Perang Jawa. Pada tanggal 25 September 1829 Mayor Bauer bersama Raden Mas Atmadiwirja (putera Pangeran Mangkubumi), Tumenggung Reksapraja beserta rombongan mencari Pangeran Mangkubumi, tetapi hasilnya nihil. Belanda tidak berputus asa. Jenderal De Kock mengutus Pangeran Natadiningrat, putera Pangeran Mangkubumi yang telah menyerah, untuk membujuk ayahnya. Maka pada tanggal 27 September 1829 Pangeran Natadiningrat berhasil membujuk ayahnya untuk menyerah kepada Belanda. Keesokan harinya, tanggal 28 September 1829 Pangeran Mangkubumi dibawa oleh puteranya ke Yogyakarta. Di pertengahan jalan (di Mangir) rombongan Pangeran Mangkubumi telah dijemput oleh Residen Van Nes dan pejabat-pejabat kesultanan Yogyakarta.

Pengaruh dari menyerahnya Pangerang Mangkubumi sangat besar bagi pasukan Diponegoro, karena secara berturut-turut telah menyerah pula pangeran Adinegara, Kanjeng Pangeran Aria Suryabrangta, Pangeran Suryadipura, Pangeran Suryakusuma, dan Kanjeng Pangeran Dipasana. Semuanya masih mempunyai hubungan famiIi dengan Diponegoro. Menyerahnya secara berturut-turut orang-orang di sekitar Diponegoro, benar-benar dapat melumpuhkan pasukan Diponegoro.

Apalagi usaha untuk menarik Alibasah, panglima pasukan Diponegoro yang disegani masih terus dilanjutkan. Melalui Pangeran Prawiradiningrat, yang menjadi bupati Madiun dan saudara Alibasah sendiri, Belanda telah berusaha untuk menaklukkannya. Sejak tanggal 23 Juli 1829 usaha ini telah dilakukan walaupun pada permulaannya gagal, karena syarat-syarat yang diajukan oleh Alibasah cukup berat, yaitu:[41]

-          Memberikan uang jaminan sebesar £ I0.000

-          Menyetujui pembentukan sebuah pasukan di bawah Pimpinan Alibasah sendiri yang berkekuatan seribu orang dan dilengkapi dengan persenjataan dan pakaian seragam

-          Memberikan 400 – 500 pucuk senjata api

-          Pasukan Alibasah ini langsung dibawah komando pemerintah Hindia Belanda, dan bebas dari kekuasaan sultan atau pembesar bangsa Indonesia

-          Mereka bebas menjalankan agamanya

-          Tidak ada paksaan minum Jenever atau arak

-          Diizinkan pasukannya memakai surban

Tawar-menawar syarat-syarat ini dilakukan pada tanggal 17 oktober 1829 di Imogiri, antara delegasi Ali basah dengan delegasi Belanda, yang hasilnya masih memerlukan waktu untuk diputuskan oleh penguasa tertinggi Hindia Belanda di Batavia.

Dalam surat yang ditulis Jenderal De Kock kepada Gubernur Jenderal Hindia Belanda di Batavia, tertanggal 20 Oktober 1829, antara lain berisi: “…saya telah menulis surat kepada Residen dan Kolonel Cochius bahwa mereka harus sedapat mungkin berusaha menyenangkan hati Alibasah, karena adalah hal yang penting sekali apabila orang seperti Alibasah dapat kita tarik ke pihak kita dan turut membela kepentingan kita ….. seperti yang hendak saya nyatakan dengan hormat, bahwa karena sebab-sebab itulah saya berpendapat bahwa adalah sangat penting apabila Alibasah sudah berada di pihak kita, makin lama makin mengikat dia pada kepentingan kita. Sungguhpun hal ini harus disertai beberapa pengorbanan dari pada kita.”

Surat Jenderal De Kock ini mendapat jawaban dari pemerintah Hindia Belanda di Batavia tertanggal 25 Oktober 1829, antara lain berbunyi: “Pemerintah pada dasarnya setuju dengan keinginan Jenderal (Jenderal De Kock) bahwa dari pihak kita harus dipergunakan segala apa yang mungkin dapat dipakai, selama hal itu dapat sesuai dengan kebesaran pemerintah dan berusaha sedapat mungkin mencegah kembalinya Alibasah ke pihak pemberontak.”

Melihat isi surat-surat pemerintah Bindia Belanda ini dapat disimpulkan bahwa Belanda bersedia memenuhi syarat-syarat yang diajukan oleh Alibasah. Oleh karena itu kepada Residen Yogyakarta diperintahkan untuk segera menyerahkan uang sebanyak £ 5.000 dan 200 pucuk senjata untuk dipergunakan pasukan Alibasah serta pasukannya itu langsung dibawah komando Jenderal De Kock, walau secara yuridis masih berada dibawah wewenang sultan. Syarat-syarat lainnya seluruhnya dipenuhi.

Untuk pelaksanaan penyerahan Alibasah dengan pasukannya, pada tanggal 23 Oktober 1829 Jenderal De Kock datang ke kota Yogyakarta untuk menyambutnya; dan pada tanggal 24 Oktober 1829 Alibasah dengan pasukannya memasuki kota Yogyakarta dan diterima oleh Jenderal De Kock dengan upacara militer yang meriah.

Dengan menyerahnya Pangeran Mangkubumi, Ali basah dan puluhan Pangeran dan Tumenggung serta tertangkapnya Kiai Mojo dan gugurnya ratusan tokoh-tokoh Perang Jawa, maka secara praktis Diponegoro tinggal sendirian. Pengalaman pahit dan getir yang di alami oleh Diponegoro sebagai pimpinan tertinggi perang Jawa, karena banyaknya sababat-sahabat meninggalkannya atau meninggal dunia. Dalam kondisi yang demikian, ia harus menentukan pilihan: meneruskan pertempuran sampai mati syahid di medan laga atau menyerah kepada musuh sampai mati di dalam penjara.

Setelah menyerahnya Alibasah dengan pasukannya, operasi militer Belanda terus ditingkatkan guna memberikan pukulan terakhir terhadap pasukan Diponegoro yang tinggal sedikit lagi itu. Tekanan-tekanan pasukan Belanda kepada posisi pasukan Diponegoro yang terus-menerus ditingkatkan, banyak pula tokoh-tokoh Perang Jawa yang menyerah, antara lain pada bulan Desember 1829; salah seorang komandan pasukan Diponegoro yang masih ada yaitu Jayasendirga; Tumenggung Jayaprawira dan beberapa tumenggung lainnya beserta pasukannya bertekuk lutut kepada Belanda. Adapula yang karena kondisi kesehatan, akhirnya wafat di puncak gunung Sirnabaya Banyumas seperti Pangeran Abdul Rahim (saudara Diponegoro sendiri).

Pada akhir 1829, posisi Diponegoro beserta sisa pasukannya telah diketahui secara jelas. Namun de Kock tidak memerintahkan penyerbuan untuk membunuh Diponegoro. Ia sadar pengaruh Diponegoro masih besar di masyarakat Jawa. Hal ini terbukti saat ia mengumumkan sayembara untuk menangkap Diponegoro, hidup atau mati, dengan hadiah uang, tak seorang pun yang menanggapi. Sebagai pribadi dan sebagai seorang prajurit, de Kock ingin mengakhiri perang dengan kesatria tanpa menjadikan Diponegoro sebagai pahlawan. Kematian Diponegoro hanya akan membuat orang Jawa menganggap orang Belanda sebagai musuh—sesuatu yang sangat ingin dihindarinya.

Dengan alasan tersebut, ia akhirnya memilih untuk memperdaya dan membujuk Diponegoro keluar dari kantong pertahanannya secara damai untuk kemudian menangkapnya. De Kock berusaha mengeksploitasi nilai-nilai budaya dan karakter kesatria bangsawan Jawa yang ada pada diri Diponegoro. Salah satu nilai kesatria yang dianggap luhur adalah “seorang kesatria pantang ingkar terhadap janji”. Karena itu, ia memerintahkan Kolonel Cleerens untuk terus melakukan aksi tipu daya terhadap Diponegoro sampai ia mengucapkan janjinya.[42]

Memasuki tahun 1830, musibah yang menimpa pasukan Diponegoro masih terus saja bertambah. Pada tanggal 8 Januari 1830, putera Diponegoro yaitu Pangeran Dipakusuma tertangkap oleh pasukan Belanda; pada tanggal 18 Januari 1830 berikutnya Patih Diponegoro menyerah kepada Belanda.

Usaha untak menghentikan Perang Jawa dengan damai yang licik terus dilakukan. Dengan menggunakan bekas tokoh-tokoh Perang Jawa seperti Alibasah dan Patih Danureja dalam usaha perdamaian licik membawa hasil yang menggembirakan bagi Belanda. Sebab pada tanggal 16 Februari 1830 telah terjadi pertemuan pertama antara Diponegoro dengan Kolonel Cleerens, wakil pemerintah Hindia Belanda dalam rangka perdamaian di Kamal, sebelah utara Rama Jatinegara daerah Bagelen.

Pertemuan perdamaian tidak dapat dilangsungkan, karena Diponegoro menuntut perundingan itu harus dilakukan oleh seorang yang mempunyai posisi yang sama dengan dia; setidak-tidaknya seperti Jenderal De Kock. Padahal Jenderal De Kock pada saat itu sedang berada di Batavia.

Untuk menunggu kedatangan Jenderal De Kock, maka Diponegoro dengan pasukannya terpaksa harus menginap di Kecawang sebelah utara desa Saka. Selama tenggang waktu perundingan, gencatan senjata dilakukan oleh kedua belah pihak. Desa Kecawang masih terlalu jauh, apabila perundingan akan dilangsungkan di sana. Oleh karena itu; untuk memudahkan jalan perundingan Diponegoro dengan pasukannya harus pindah ke Menoreh yang tidak begitu jauh dari Magelang, markas besar pasukan Belanda.

Pada tanggal 21 Februari 1830 rombongan Diponegoro telah tiba di Menoreh. Tetapi sampai 5 Maret 1830 Jenderal De Kock belum juga datang ke Magelang padahal bulan Ramadhan telah tiba. Berkenaan dengan bulan suci ini; Diponegoro tidak mau mengadakan perundingan dengan Belanda karena ia akan memusatkan dirinya untuk melakukan ibadah puasa selama sebulan. Kontak pertama antara Diponegoro dengan Jenderal De Kock terjadi pada tanggai 8 Maret 1830, sebagai perkenalan dan selanjutnya jadwal perundingan akan dilangsungkan sesudah bulan Ramadhan.

Menjelang hari raya Idul Fithri, Diponegoro telah menerima hadiah dalam bentuk seekor kuda tunggang yang sangat baik dan uang sebesar f 10.000.- Kemudian diikuti dengan pembebasan putera dan isteri Diponegoro yang ditahan di Semarang dan membolehkan mereka berkumpul dengan Diponegoro di tempat penginapan perundingan di Magelang.

Pada tanggal 25 Maret 1830, Jenderal de Kock telah memberikan perintah rahasia kepada Letnan Kolonel Du Perron dan pasukannya untuk memperketat pengawalan dan penjagaan kota Magelang dengan mengerahkan pasukan Belanda dari beberapa daerah di Jawa Tengah. Instruksinya, apabila perundingan gagal, Diponegoro dan delegasinya harus ditangkap!

Pada tanggal 28 Maret 1830 perundingan akan dilangsungkan di gedung Keresidenan Kedu di Magelang. Sebelum jam 07.00 pagi Tumenggung Mangunkusuma datang kepada Residen Kedu untuk memberitahukan bahwa sebentar lagi Diponegoro dengan staf nya akan tiba. Pemberitahuan ini menyebabkan Letnan Kolonel Du Perron menyiap-siagakan pasukannya, sesuai dengan perintah Jenderal De Kock. Jam 07.30 pagi Diponegoro dengan stafnya dikawal oleh seratus orang pasukannya memasuki gedung keresidenan. Delegasi Diponegoro diterima langsung oleh Jenderal De Kock dengan staf nya. Perundingan dilakukan di tempat kerja Jenderal De Kock. Pihak Diponegoro disertai dengan tiga orang puteranya yaitu Diponegoro Anom, Raden Mas Jonad, Raden Mas Raab, ditambah dengan Basah Martanegara dan Kiai Badaruddin. Sedangkan di pihak Jenderal De Kock disertai oleh Residen Valk, Letnan Kolonel Roest, Mayor Ajudan De Stuers dan Kapten Roeps sebagai juru bicara.

Letnan Kolonel De Kock van Leeuwen, Mayor Perie dan opsir-opsir Belanda lainnya ditugaskan untuk melayani dan mengawasi pemimpin-pemimpin pasukan Diponegoro yang berada di kamar yang lain. Sedangkan letnan Kolonel Du Peron tetap berada di luar gedung keresidenan untuk setiap saat dapat melakukan penyergapan, sebagaimana telah diperintahkan oleh Jenderal De Kock.

Kolonel Cleerens yang mula-mula sekali berhasil melakukan kontak dengan Diponegoro dan berhasil merencanakan pertemuan perdamaian serta telah memberikan jaminan diplomasi penuh kepada Diponegoro dan stafnya tidak diikutsertakan bahkan tidak berada di kota Magelang tempat perundingan dilaksanakan. Dengan demikian jika terjadi pengkhianatan maka secara moral Cleerens tidak terlibat langsung, karena memang tidak hadir.

Babak pertama Jadwal perundingan, menurut Diponegoro sebagai pendahuluan untuk menjajagi materi perundingan pada babak selanjutnya; tetapi menurut Jenderal De Kock harus langsung memasuki materi Perundingan. Pembicaraan materi perundingan menjadi tegang, karena De Kock bersikeras untuk langsung membicarakan materi perundingan. Suasana tegang dan panas itu, sampai-sampai Diponegoro terlontar ucapan: “Jika tuan menghendaki persahabatan, maka seharusnya tidak perlu adanya ketegangan di dalam perundingan ini. Segalanya tentu dapat diselesaikan dengan baik. Jikalau kami tahu bahwa, tuan begitu jahat, maka pasti lebih baik kami tinggal terus saja berperang di daerah Bagelen dan apa perlunya kami datang kemari.”[43]

Ketika pihak Jenderal De Kock terus mendesak tentang tujuan penerangan yang telah dilakukan oleh Diponegoro selama lebih lima tahun ini, maka akhirnya ia memberi jawaban dengan tegas dan gamblang, yaitu antara lain: “Mendirikan negara merdeka di bawah pimpinan seorang pemimpin dan mengatur agama Islam di pulau Jawa”. Mendengar jawaban ini Jenderal De Kock terperanjat, karena ia tidak mengira bahwa Diponegoro akan mengajukan tuntutan semacam itu. Sewaktu De Kock memberi jawaban bahwa tuntutan semacam itu adalah terlalu berat dan tak mungkin dapat dipenuhi, Diponegoro tetap teguh pada tuntutannya.

Tanda-tanda perundingan babak pertama akan menemui jalan buntu, dan Belanda khawatir jika pe¬rundingan ditunda sampai besok, berarti kesempatan buat Diponegoro dan pasukannya untuk mengadakan konsolidasi guna menghadapi segala kemungkinan. Sesuai dengan rencana Belanda bahwa perundingan adalah semata-mata methoda untuk menangkap Diponegoro dan stafnya, maka dengan angkuhnya Jenderal De Kock berkata: “Kalau begitu, tuan tidak boleh lagi kembali dengan bebas.”

Mendengar ucapan ini, Diponegoro dengan marah menjawab : “Jika demikian, maka tuan penipu dan pengkhianat, karena kepada saya telah dijanjikan kebebasan dan boleh kembali ke tempat perjuangan saya semula, apabila perundingan ini gagal.”

Jenderal De Kock berkata lagi: “Jika tuan kembali, maka peperangan akan berkobar lagi.” Diponegoro menjawab: “Apabila tuan perwira dan jantan, mengapa tuan takut berperang?”[44]

Tiba-tiba Jenderal De Kock menginstruksikan kepada Letnan Kolonel Du Perron dan pasukannya untuk menyergap Diponegoro dan stafnya serta seluruh pengawalnya dilucuti. Dalam posisi tidak siap tempur, Diponegoro dan pasukannya dengan mudah ditangkap dan dilucuti.

Menyadari telah tertipu, Diponegoro kemudian menyatakan diri bertanggungjawab atas pecahnya peperangan. Namun ia tetap menolak menyerah dan menyatakan lebih baik mati.

Pan wus yekti nora nana maning

Begja pinatenan

Ingsun tan nedya gumingsir[45]

Sesungguhnya tidak ada lagi

Sekalipun dihukum mati

Saya tidak akan menyerah

Dalam kondisi emosional, Diponegoro sempat berpikir untuk membunuh Jenderal de kock. Namun niat tersebut ia urungkan mengingat akibatnya kurang baik.

Pan sansaya enget tyasnya Sri Bupati[46]

Lamun matenana

Ingsun marang jendral iki

Nora becik temahira

Terpikir oleh Sri Raja

Seandainya membunuh

Jenderal

Tidak baik akhirnya.

Kesadaran itu membuatnya bersikap pasrah terhadap takdir. Ia memutuskan untuk meninggalkan Tanah Jawa karena tidak ada yang dimilikinya lagi di sana. Keputusan itu juga untuk menghormati mereka yang gugur dalam peperangan karena membela dan melaksanakan perintah.

Tujuan diponegoro mencapai cita-cita ini terus dilakukannya, meski ia tahu bahwa ia akan kalah. Bukan keberhasilan mencapai tujuan ini yang menjadi fokus utama Diponegoro.. Baginya, konsisten dalam menjalani proses adalah sebuah kemenangan tersendiri.

Pada tanggal 3 Mei 1830 Diponegoro beserta stafnya dibawa ketempat pembuangannya di Menado. Tidak kurang dari 19 orang yang terdiri dari keluarga dan stafnya ikut dalam pembuangan di Menado. Pada tahun 1834 Diponegoro beserta keluarga dan stafnya dipindahkan ke kota Makasar. Dan pada tanggal 8 Januari 1855 Diponegoro wafat dalam usia kira-kira 70 tahun, setelah menjalani masa tawanan selama duapuluh lima tahun.

Perang ini juga memberi dampak yang cukup dahsyat pada keluarga dan keturunan Diponegoro. Bertahun-tahun lamanya keluarga Pangeran Diponegoro dikucilkan dan diasingkan oleh kalangan keraton karena tindakan perjuangan perlawanan Pangeran Diponegoro tersebut. Kondisi ini baru pulih setelah Diponegoro mendapatkan pengakuan sebagai Pahlawan Nasional pada tanggal 6 November 1973.

Pasca kemenangan di perang Diponegoro, Belanda mulai melakukan demiliterisasi di kalangan masyarakat Jawa. Kekhawatiran terhadap munculnya jiwa keprajuritan bangsa Jawa membuat pemerintah kolonial Hindia Belanda mengeluarkan strategi baru. Untuk melemahkan kekuatan Jawa, selain diadakan tanam paksa, pasukan keraton juga didemobilisasikan.

Selanjutnya, keraton dipisahkan dari rakyat dengan cara menghapus tanah lungguh para bangsawan/pejabat keraton dan juga menghapus tanah-tanah mancanegara. Dengan dihapusnya tanah lungguh, berarti para bangsawan tidak lagi memiliki basis di pedesaan. Akibat lebih jauh, tradisi dan potensi militer kerajaan menjadi lumpuh. Semangat, kemampuan, dan keterampilan prajurit terus merosot. Terlebih lagi dengan dihapusnya tradisi Seton pada masa pemerintahan Pakubuwono VII (1830-1858) di Surakarta. Sejak itu, prajurit Jawa benar-benar kehilangan arena berlatih yang juga sekaligus ajang pencarian bakat militer. Untuk semakin menggerus jiwa keprajuritan bangsa Jawa, satu-satunya kerajaan yang diberi kesempatan oleh pemerintah kolonial Hindia Belanda untuk memelihara tentara yang agak lengkap hanya Mangkunegaran, yang dinilai loyal dan tidak membahayakan.

Di tengah kebuntuan perkembangan militer secara fisik, Belanda juga mengembangkan konsep ksatria Jawa, yang aktualisasinya tidak lagi berhubungan dengan organisasi kemiliteran. Sejalan dengan ide kepriyayian, maka ide kstaria yang ditanamkan lewat wayang dan piwulang itu lebih ditekankan pada segi moral dan etika.

Sejak itu, dunia keprajuritan Jawa hidup dalam bayangan. Kebesaran, kemegahan, keperkasaan prajurit dan ksatria Jawa hanya tinggal kenangan, yang tersimpan dalam catatan sejarah, naskah babad, kronik, atau cerita tutur, tempat bangsa Jawa bernostalgia pada kebesaran masa lampau. Aliran darah prajurit dan tradisi ksatria pada bangsa Jawa seolah-olah lenyap tinggal bekas-bekasnya.[47]

 

D.       KESIMPULAN

Dalam ranah sejarah strategi militer, perang Diponegoro ini meninggalkan jejak sejarah yang monumental. Penerapan taktik strategi militer Stelsel Benteng yang memadukan antara manuver kolone dengan pembangunan benteng, disertai dengan strategi Blokade Politik, Isolasi Politik, politik Belah Bambu, Politik Adu Domba, dibarengi penelitian sosio-budaya oleh ilmuwan orientalis, oleh Pemerintah Hindia Belanda untuk selanjutnya terus dipakai untuk memandamkan perlawanan pemberontakan di berbagai pelosok Nusantara. Termasuk pula di antaranya untuk menjinakkan perlawanan rakyat Aceh.

Perang Diponegoro ini pada hakekatnya adalah manifestasi dari konflik laten di antara bangsawan Jawa, sebuah Permanent Warfare yang beraspek politik dan budaya. Kekalahan Pangeran Diponegoro bermakna ideologis di mana gagalnya realisasi gagasan Pangeran Diponegoro membentuk Balad Islam dan menjadi Khalifah Islam di tanah Jawa.

Diskursus tentang negara (balad) Islam di tanah Jawa sudah ada dari jaman Pangeran Diponegoro. Bahkan bukan sekadar  wacana, melainkan bagaimana untuk mempertahankannya. Perang Jawa yang dahsyat dan penuh patriotisme telah digerakkan dan dipimpin oleh tokoh-tokoh pejuang Islam, yang hampir sebagian terbesar berideologi Islam dan bertujuan berdirinya negara merdeka yang berdasarkan Islam. Fakta-fakta sejarah yang terungkap, baik latar belakang yang mewarnai para tokoh Perang Jawa, masa peperangan yang memakan waktu lima tahun lebih, yang diisi dengan menegakkan syari’at Islam di dalam kehidupan pasukan Diponegoro sampai pada saat perundingan dengan Belanda serta tujuan yang akan dicapai, semuanya adalah bukti yang kuat bahwa Diponegoro dan pasukannya telah melakukan perjuangan politik Islam untuk mendirikan negara Islam di tanah Jawa.

Kegagalan yang diderita oleh Diponegoro dan pasukannya, bukan karena tujuan dan metodenya yang salah, tetapi karena kekuatan yang tak seimbang, baik manpower, persenjataan, perlengkapan dan pengkianatan bangsa sendiri yang sebagian besar membantu Belanda yang kafir; disamping tipu muslihat yang licik dan keji yang dilakukan oleh penguasa kolonial Belanda.

Tipu muslihat yang licik dan keji, yang hanya bisa dilakukan oleh orang-orang yang bermoral rendah dan jahat, ternyata telah menjadi watak kepribadian penguasa kolonial Barat di Indonesia, baik Portugis-Kristen Katholik maupun Belanda-Kristen Protestan.

Jika sekarang diskursus tentang negara Islam kembali hangat, mestinya umat tidak perlu merasa heran. Berarti ada yang memelihara kesinambungan perjuangan islam di tanah Jawa sesudahnya, sebagai sebuah upaya rekonstruksi sejarah dan mengembalikan visi dan misi Islam kembali ke jalurnya. Yang harus menjadi pertanyaan adalah siapa yang menjadi pelanjut perjuangan itu kini?

 

 

[1]Louw, P.J.F – S Hage – M nijhoff, Eerstee Deel Tweede deel 1897, Derde deel 1904, De Java Oorlog Van 1825 – 1830 door, hal. 89

[2]Dr. Kareel A. Steenbrin, Beberapa Aspek Tentang Islam di Indonesia Abad ke 19, Penerbit Bulan Bintang Jakarta, 1984, hal. 29

[3]Babad Diponegoro, jilid 1 hal. 39-40

[4] Peter Carey, The Origin of Java War (1825-1830), English Historical Review, 1976, hal. 52

[5] De Graaf, Geschiedenis van Indonesie. ‘s-Gravenhage: Nijhof, Bandung: Van Hoeve, 1949, hal. 399

[6] Ricklefs, A History of Modern Indonesia since c.1300, Basingtoke: Macmillan, 1993, hal. 123

[7] Bernhard H.M. Vlekke, Nusantara a History of Indonesia, 1959, hal. 284

[8] P.J.F. Louw, De Java Oorlog van 1825-1830, I, 1894, hal. 97-106.

[9] Babad Diponegoro, I, 1983, hal. 103.

[10] Louw dan de klerck 1894-1909, v:743

[11] P.J.F. Louw, I, 1894, hal 85

[12] Peter Carey, Orang Jawa dan Masyarakat Cina 1755-1825, Pustaka Azet, 1986, hal. 39

[13] J. Hageman Jcz, Geschiedenis Oorlog op Java 1825 tot 1850, 1856, hal. 32

[14] Peter Carey, Babad Diponegoro An Account of the Outbreak of the Java War (1825-1830),1981, hal. 18-36

[15] P. Swantoro, Dari Buku ke Buku, Sambung Menyambung Menjadi Satu, 2002.

[16] Ambaristi  dan lasman marduwiyota, babad diponegoro i, hal. 479

[17] Ambaristi  dan lasman marduwiyota, babad diponegoro i, hal.251

[18] Ambaristi  dan lasman marduwiyota, babad diponegoro i, hal. 188

[19] Ambaristi  dan lasman marduwiyota, babad diponegoro i, hal.325

[20] lihat Benny g. Santoso, Tionghoa Dalam Pusaran Politik, hal. 177 serta hembing wijayakusuma, pembantaian massal 1740: tragedi berdarah angke (jakarta: pustaka populer obor, 2005), hal. 177.

[21] Ambaristi  dan lasman marduwiyota, babad diponegoro ii, hal.218.

[22] Babad Diponegoro, I, hal. 230

[23] Peter Carey, Waiting for the Just King, Modern Asia Studies, 20, I, 1986, hal. 59-137

[24] P.J.F. Louw, I, 1984, hal. 253

[25] G. Teitler, Anatomie van de Indische Defensie, Rijks Universiteit te Leiden, 1998, hal. 16-18

[26] Lee carley dan krackhardt,“destabilizing networks,” h. 90.

[27] Babad Diponegoro, II, 1983, hal. 26

[28]alibasah adalah pangkat dalam organisasi militer diponegoro setingkat komandan divisi: satuan tempur militer terbesar, dengan kekuatan penuh

[29] peter carey, takdir: riwayat pangeran diponegoro, hal. 322

[30] ibid, hal. 324

[31] Babad, II, 983, hal. 26

[32] peter carey, takdir: riwayat pangeran diponegoro, hal. 324

[33]saleh as’ad djamhari, strategi menjinakkan diponegoro, komunitas bambu, 2004, hal. 154

[34]peter carey ( 1981a), babad dipanagara: an account of the outbreak of the java war (1825-1830: xxxix-xl

[35] babad diponegoro iv: 54

[36]peter carey, takdir, hal. 333

[37] babad diponegoro iv: 56

[38]peter carey, takdir, hal. 334

[39]peter carey (2008), the power of prophecy: 651-2

[40] carey (1981a), :lxviii catatan 185.

[41] carey 2008: 652

[42] Saleh, Strategi Menjinakkan Diponegoro, hal. 176.

[43]  Abdul Qadir Djaelani , Perang Sabil Versus Perang Salib: Ummat Islam Melawan Penjajah Kristen Portugis Dan Belanda, Yayasan Pengkajian Islam Madinah Al-Munawwarah, Jakarta, 1999 .

[44]  ibid

[45] ibid

[46] ibid

[47] Sigit Wahyudi, Sariana and Priyanto, Supriya, Ksatria Jawa Kajian Tentang Etika, Moral Dan Tradisi Keprajuritan Jawa Di Masa Mataram, Universitas Diponegoro, 1997, hal. vii