Minggu, 29 Juni 2014

Konsep Hadharah dan Madaniyah: Cara Simple Membantu Menentukan Halal-Haram Suatu Benda


Facebook itu kan buatan orang kafir, halal atau haram ya kalau kita main facebook? Jangankan facebook deh, laptop ama smartphone aja, kan juga buatan orang kafir kan? Boleh nggak tuh dipakai? Malahan, sampai ada yang bisnisnya berkaitan dengan teknologi begitu, dan ada pula yang sampai-sampai dakwahnya berkaitan dengan teknologi karya orang kafir begitu. Nggak apa-apa tuh? Jangan-jangan nanti jadi bid'ah lagi?

Inilah keadaan orang-orang sekarang. Inilah salah satu motivasi besar kita, kenapa harus terjun ke aktivitas dakwah guna mencerdaskan orang-orang. Karena banyak dari kita sekarang, tidak bisa menentukan sesuatu itu halal atau haram. Khususnya, dalam menghadapi persoalan modern zaman sekarang.

Nah, berikut ini, saya akan coba paparkan konsep tentang hadharah dan madaniyah. Yang mana dengan konsep ini, insya Allah bisa memudahkan Anda untuk menentukan mana yang boleh dipakai, dan mana yang nggak boleh.

Defenisi Hadharah dan Madaniyah

Biar enak menjelasin gimana cara menggunakan konsep hadharah dan madaniyah untuk menentukan hukum suatu benda, kita berangkat dari defenisi dulu, apa itu hadharah, dan apa itu madaniyah.

Hadharah

Hadharah itu bisa juga artinya: pemahaman. Yang, pemahaman itu ada kaitannya dengan agama-agama tertentu. Juga, ada kaitannya dengan ideologi-ideologi tertentu. Adapun maksud pemahaman disitu adalah, cara pandang tentang kehidupan. Begitu secara istilah. Kalau secara kata, hadharah itu artinya: peradaban.

Contoh. Kan ada agama Islam, ada agama Kristen, dan agama lain-lain. Nah, masing-masing agama, pasti memandang sesuatu itu berbeda-beda. Misal, kalau di dalam Islam babi itu haram, sedangkan di agama lain babi itu halal. Nah, pamahaman terhadap babi, itulah namanya hadharah.

Contoh lain. Kan dalam agama Islam, kalau kita ngutang 10 ribu dari orang, berarti besok harus bayarnya 10 ribu juga ke orang itu. Nggak boleh si pemberi hutang minta dua kali lipat, karena kita kelamaan bayar. Misal, gara-gara kita kelamaan bayar, dinaikinnya jadi kita dipaksa harus bayar 12 ribu. Nah, itu nggak boleh dalam Islam! Itu namanya riba! Haram! Tapi, dalam kapitalisme, itu boleh. Malah, wajib. Nah, persepsi yang berbeda terhadap hutang-piutang, itulah namanya hadharah.

Jadi:
Sekumpulan pemahaman dalam Islam, itu namanya Hadharah Islam.
Sekumpulan pemahaman dalam Kristen, itu namanya Hadharah Kristen.
Sekumpulan pemahaman dalam Budha, itu namanya Hadharah Budha.
Sekumpulan pemahaman dalam Sekulerisme, itu namanya Hadharah Sekuler.
Sekumpulan pemahaman dalam Atheisme, itu namanya Hadharah Atheis.
Sekumpulan pemahaman dalam Pluralisme, itu namanya Hadharah Pluralisme.
Sekumpulan pemahaman dalam Kapitalisme, itu namanya Hadharah Kapitalisme.
Dan lain-lain, masih banyak lagi.
Tentunya, kita hanya boleh mengambil hadharah Islam. Karena hadharah Islam itu kan datangnya dari Allah, dan RasulNya. Sedangkan hadharah lain, itu karang-karangan manusia yang suka ngayal kadang. Makanya, mending ngambil ide yang dikasih oleh Yang Menciptakan dirimu lagi Yang Paling Tahu tentang kamu, atau ngembil ide dari si manusia yang serba lemah, bahkan menghindari mati saja ia tak bisa? Yah jelas harus ngambil ide dari Allah lah (Hadharah Islam).

Madaniyah

Kalau madaniyah itu, artinya benda. Benda, yang bisa kita indera. Bisa kita lihat, kita pegang, kita hirup, kita denger, dan kita jilat. Bentuk fisiknya ada. Contohnya? Yah apa saja yang ada di sekeliling Anda. handphone, itu madaniyah. Baju, itu madaniyah. Buku, itu madaniyah. Yah, pokoknya, benda fisik yang bisa diindera, itu namanya madaniyah.

Naah, tapi, madaniyah itu terbagi lagi menjadi 2. Yaitu, ada madaniyah amm (umum), dan ada madaniyah khas (khusus). Bedanya?
Kalau madaniyah amm, itu yah benda normal yang biasa aja. Kayak yang tadi dicontohkan, seperti ayam goreng, baju, laptop, dan sebagainya.
Sedangkan madaniyah khas, itu terdapat hadharah non-Islam. Contoh: kalung salib, patung Budha, topi kerucut tahun baru dan ulang tahun, dan sebagainya. Itulah benda-benda yang justifikasinya haram.

Topi Kerucut, Mengandung Hadharah Kufur
Kalau udah paham ini, insya Allah, jadinya kita bisa membedakan mana benda yang haram dan halal. Tidak seperti halnya orang Indonesia dulu ketika dijajah Belanda. Saat itu, karena sebagian "orang berada" diberikan pakaian rapi, termasuk dasi, kemudian dasi itu dikatakan sebagai benda yang haram. Padahal, nggak. Karena dasi itu termasuk madaniyah amm. Bukan madaniyah khas. Dan masih banyak lagi kasus serupa lainnya seperti halnya kasus hukum celana jeans, batik, jas, dan lain sebagainya.

Dengan begini, terjawablah pertanyaan di awal tadi. Sekiranya suatu benda itu tidak mengandung pandangan hidup tertentu yang bukan Islam, halal. Boleh-boleh saja dipakai. Apalagi, kalau nggak bertentangan dengan Al-Qur'an dan Assunnah, yah sah-sah saja.

Kisah Adi bin Hatim Mencampakkan Kalung Salibnya

Mari sejenak belajar dari Adi bin Hatim. Nah, Adi bin Hatim ini, merupakan salah seorang sahabat Rasulullah yang sebelum masuk agama Islam, agamanya adalah Nasrani. Suatu ketika Rasulullah ngelihat si Adi bin Hatim masih memakai kalung salib di lehernya. Lalu Rasulullah mendatanginya, kemudian membacakan surat At-Taubah ayat 31.
“Mereka menjadikan orang-orang alimnya dan rahib-rahib mereka sebagai tuhan selain Allah dan (juga mereka mempertuhankan) Al Masih putera Maryam, padahal mereka hanya disuruh menyembah Tuhan yang Esa, tidak ada Tuhan (yang berhak disembah) selain Dia. Maha suci Allah dari apa yang mereka persekutukan...."

[TQS. At-Taubah (9): 31]
Tapi Adi bin Hatim malah bilang, "Ih, aku nggak pernah kok nyembah rahib-rahib maupun pendeta-pendeta itu.." Kemudian Rasulullah menjawab, "Apakah rahibmu menghalalkan apa yang diharamkan oleh Allah, dan kamu menghalalkannya? Dan apakah rahibmu mengharamkan apa yang dihalalkan oleh Allah, kemudian kamu mengharamkannya?"

Mendadak Adi bin Hatim sadar, dan ngaku salah, kemudian bertaubat. Lalu ia campakkan kalung salib itu.

Say "No" to Madaniyah Khas yang Bukan Islam

Kisah tersebut selaras dengan kaidah syara’ yang berbunyi, Al-ashlu fil asy-yaa’ al-ibaahah, maalam yarid Daliilut-Tah-rim. Artinya, hukum asal suatu benda adalah mubah, selama tidak ada dalil yang mengharamkannya.

Kalau soal perbuatan jahat yang dilakukan oleh seseorang dengan menggunakan madaniyah amm, itu hukumnya yah tergantung perbuatannya. Lihat dulu fakta kasusnya. Kasus apapun. Karena memang hukum asal perbuatan manusia itu kan terikat dengan hukum syara' (Al-ashlu fil af'al at-taqoyyadu bi al-hukmi asy syari'iy).

Dan selaras pula dengan hadits yang Rasulullah sampaikan, "Barangsiapa menyerupai suatu kaum, maka dia termasuk golongan mereka." (HR. Abu Dawud)

Yah, begitulah. Sudah cukup sepertinya. Untuk pembahasan yang selengkapnya, bisa Anda dapatkan melalui refrensi buku-buku berikut ini:
An-Nabhani, Taqiyuddin. Peraturan Hidup Dalam Islam (an-Nidzam al-Islam). 2003. Pustaka Thariqul Izzah, Bogor.
Abdullah, Muhammad Husain. Studi Dasar-Dasar Pemikiran Islam. 2002. Pustaka Thariqul Izzah, Bogor.
Abdurrahman, Hafidz. Diskursus Islam Politik & Spiritual. 2007. Al-Azhar Press, Bogor.
Arif, Dr.Syamsuddin. Orientalis & Diabolisme Pemikiran. 2008. Gema Insani Press, Jakarta.
Ali, H.Mahrus. Mantan Kiai NU Menggugat Tahlilan, Istighosahan, Dan Ziarah Para Wali.2007.

Laa Tasyuk! Press, Surabaya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar