I. Pendahuluan
Secara umum, tugas kekhalifahan manusia adalah tugas mewujudkan kemakmuran dan kesejahteraan dalam hidup dan kehidupan (al-An’aam : 165) serta tugas pengabdian atau ibadah dalam arti luas (adz-Dzaariyaat : 56). Untuk menunaikan tugas tersebut, Allah SWT memberi manusia dua anugerah nikmat utama, yaitu manhaj al-hayat (sistem kehidupan) danwasilah al-hayat (sarana kehidupan).
Manhaj al-hayat adalah seluruh aturan kehidupan manusia yang bersumber kepada Al-Quran dan Sunnah Rasul. Aturan tersebut berbentuk keharusan melakukan atau sebaiknya melakukan sesuatu, juga dalam bentuk larangan melakukan atau sebaiknya meninggalkan sesuatu. Aturan tersebut dikenal sebagai hukum lima ( al-ahkaam al-takliifiyaah ), yakni wajib, sunnah (mandub), mubah, makruh, atau haram.
Aturan-aturan tersebut dimaksudkan untuk menjamin keselamatan manusia sepanjang hidupnya, baik yang menyangkut keselamatan agama, keselamatan diri (jiwa dan raga), keselamatan akal, keselamatan harta benda, maupun keselamatan nasab keturunan. Hal-hal tersebut merupakan kebutuhan pokok atau primer (alhaajat adh-dharuriyyah).
Pelaksanaan Islam sebagai way of life secara konsisten dalam semua kegiatan kehidupan, akan melahirkan sebuah tatanan kehidupan yang baik, sebuah tatanan yang disebut sebagai hayatan thayyibah (an-Nahl : 97). Sebaliknya, menolak aturan itu atau sama sekali tidak memiliki keinginan mengaplikasikannya dalam kehidupan, akan melahirkan kekacauan dalam kehidupan sekarang, ma’isyatan dhanka atau kehidupan yang sempit, serta kecelakaan di akhirat nanti (Thaahaa : 124-126).
Aturan-aturan itu juga diperlukan untuk mengelola wasilah al-hayah atau segala sarana dan prasarana kehidupan yang diciptakan Allah SWT untuk kepentingan hidup manusia secara keseluruhan. Wasilah al-hayah ini dalam bentuk udara, air, tumbuh-tumbuhan, hewan ternak, dan harta benda lainnya yang berguna dalam kehidupan.
II. Pelaksanaan Ekonomi di Zaman Rasulullah SAW
Islam mempunyai pandangan yang jelas mengenai harta dan kegiatan ekonominya sebagaimana telah dicontohkan oleh teladan kita Nabi Muhammad SAW.
Beberapa pemikiran ekonomi Islam yang disadur ilmuwan Barat antara lain, teori invisible hands yang berasal dari Nabi Muhammad SAW dan sangat populer di kalangan ulama. Teori ini berasal dari hadits Nabi Muhammad SAW, sebagaimana disampaikan oleh Anas RA, sehubungan dengan adanya kenaikan harga-harga barang di kota Madinah.
Dalam hadits tersebut diriwayatkan sebagai berikut :
Harga melambung pada zaman Rasulullah SAW. Orang-orang ketika itu mengajukan saran kepada Rasulullah SAW dengan berkata: “Ya Rasulullah hendaklah engkau menentukan harga”.
Rasulullah SAW bersabda:
”Sesungguhnya Allahlah yang menentukan harga, yang menahan dan melapangkan dan memberi rezeki. Sangat aku harapkan bahwa kelak aku menemui Allah dalam keadaan tidak seorang pun dari kamu menuntutku tentang kezaliman dalam darah maupun harta.”
Dengan hadits ini terlihat dengan jelas bahwa Islam jauh lebih dahulu (lebih 1160 tahun) mengajarkan konsep invisible hand atau mekanisme pasar dari pada Adam Smith. Inilah yang mendasari teori ekonomi Islam mengenai harga.
Rasulullah SAW dalam hadits tersebut tidak menentukan harga. Ini menunjukkan bahwa ketentuan harga itu diserahkan kepada mekanisme pasar yang alamiah impersonal. Rasulullah SAW menolak tawaran itu dan mengatakan bahwa harga di pasar tidak boleh ditetapkan, karena Allah SWT-lah yang menentukannya.
Sungguh menakjubkan, teori Rasulullah SAW tentang harga dan pasar. Kekaguman ini dikarenakan, ucapan Rasulullah SAW itu mengandung pengertian bahwa harga pasar itu sesuai dengan kehendak Allah SWT yang sunnatullah atau hukum supply and demand. Maka sekali lagi ditegaskan kembali bahwa teori inilah yang diadopsi oleh bapak ekonomi barat, Adam Smith dengan nama teori invisible hands. Menurut teori ini, pasar akan diatur oleh tangan-tangan tidak kelihatan (invisible hands). Bukankah teori invisible hands itu lebih tepat dikatakan God Hands (tangan-tangan Allah).
Di samping itu ada beberapa kebijakan ekonomi yang telah dijalankan oleh Rasulullah Saw, antara lain :
Kebijakan Fiskal Rasulullah Saw
Ketika keadaan perekonomian masih lesu dan pemerintah baru saja mendapat hutang baru dari Consultative Group on Indonesia (CGI) dan Dana Moneter Internasional (IMF), perlunya kebijakan fiskal yang tepat mengemuka di antara beberapa usulan kebijakan dari para ekonom.
Sebenarnya kebijakan fiskal telah sejak lama dikenal dalam teori ekonomi Islam, yaitu sejak zaman Rasulullah dan Khulafaur Rasyidin, dan kemudian dikembangkan oleh para ulama.
Pada jaman Rasulullah SAW, sisi penerimaan APBN terdiri atas kharaj ( sejenis pajak tanah ), zakat, khums (pajak 1/5), jizya (sejenis pajak atas badan orang non muslim), dan penerimaan lain-lain (di antaranya kaffarah / denda). Di sisi pengeluaran, terdiri atas pengeluaran untuk kepentingan dakwah, pendidikan dan kebudayaan, iptek, hankam, kesejahteraan sosial, dan belanja pegawai.
Penerimaan zakat dan kums dihitung secara proporsional, yang dalam persentase dan bukan ditentukan nilai nominalnya. Secara ekonomi makro, hal ini akan menciptakan built-in stability. Ia akan menstabilkan harga dan menekan inflasi ketika permintaan agregat lebih besar daripada penawaran agregat. Dalam keadaan stagnasi, misalnya permintaan agregat turun menjadi lebih kecil daripada penawaran agregat, ia akan mendorong ke arah stabilitas pendapatan dan total produksi.
Sistem zakat perniagaan tidak akan mempengaruhi harga dan jumlah penawaran karena zakat dihitung dari hasil usaha. Dalam istilah finansialnya disebut tax on quasi rent. Ini berbeda dengan sistem pajak pertambahan nilai (PPN) yang populer sekarang; PPN dihitung atas harga barang, sehingga harga bertambah mahal dan jumlah yang ditawarkan lebih sedikit atau dalam istilah ekonominya up-ward shift on supply curve.
Khusus untuk zakat ternak, Islam menerapkan sistem yang progresif untuk memberikan insentif meningkatkan produksi. Makin banyak ternak yang dimiliki makin kecil rate zakat yang harus dibayar. Ia akan mendorong tercapainya skala produksi yang lebih besar dan terciptanya efisiensi biaya produksi. Sistem progresif ini hanya berlaku untuk zakat ternak karena bila terjadi kelebihan pasokan, ternak tidak akan busuk seperti sayur atau buah-buahan. Harga tidak akan jatuh karena kelebihan pasokan.
APBN jarang sekali mengalami defisit, yaitu pengeluaran hanya dapat dilakukan bila ada penerimaan. Pernah sekali mengalami defisit, yaitu sebelum perang Hunain, namun segera dilunasi setelah perang. Bahkan di jaman Umar dan Utsman r.a., malah APBN mengalami surplus. Dengan tidak ada defisit berarti tidak ada uang baru dicetak dan ini berarti tidak akan terjadi inflasi yang disebabkan ekspansi moneter. Inflasi terjadi di jaman Rasulullah dan Khulafaur Rasyidin akibat turunnya pasokan barang ketika musim paceklik atau ketika perang.
Kebijakan Moneter Rasulullah Saw
Sejak nilai tukar merosot terus, Bank Indonesia menerapkan kebijakan suku bunga tinggi. Dari sisi kemampuan SBI menyedot rupiah, hasilnya mulai tampak. Akan tetapi, besaran makro lainnya dan industri perbankan malah sebaliknya. The Asian Banker Journal, Mei 1998, dalam editorialnya menampilkan perkiraan para bankir bahwa tingkat kredit bermasalah di Indonesia tahun 1998 mencapai 20 %, bahkan para analis memperkirakan 50-55 %.Kebijakan moneter sebenarnya bukan hanya mengotak atik suku bunga.
Bahkan sejak jaman Rasulullah SAW dan Khulafaur Rasyidin, kebijakan moneter dilaksanakan tanpa menggunakan instrumen bunga sama sekali. Perekonomian Jazirah Arabia ketika itu adalah ekonomi dagang, bukan ekonomi yang berbasis sumber daya alam; minyak bumi belum ditemukan dan sumber daya alam lainnya terbatas.
Perekonomian Arab di zaman Rasulullah SAW bukanlah ekonomi terbelakang yang hanya mengenal barter, bahkan jauh dari gambaran seperti itu. Valuta asing dari Persia dan Romawi dikenal oleh seluruh lapisan masyarakat Arab, bahkan menjadi alat bayar resmi : Dinar dan Dirham. Sistem devisa bebas diterapkan, tidak ada halangan sedikitpun untuk mengimpor dinar atau dirham.
Bila para pedagang mengekspor barang, berarti dinar/dirham diimpor. Sebaliknya, bila mereka mengimpor barang, berarti dinar/dirham diekspor. Jadi, dapat dikatakan bahwa keseimbangan supply dan demand di pasar uang adalah derived market dari keseimbangan aggregate supply dan aggregate demand di pasar barang dan jasa.
Nilai emas dan perak yang terkandung dalam dinar dan dirham sama dengan nilai nominalnya, sehingga dapat dikatakan penawaran uang elastis sempurna terhadap tingkat pendapatan. Tidak adanya larangan impor dinar/dirham berarti penawaran uang elastis; kelebihan penawaran uang dapat diubah menjadi perhiasan emas atau perak. Tidak terjadi kelebihan penawaran atau permintaansehingga nilai uang stabil.
Untuk menjaga kestabilan ini, beberapa hal berikut dilarang :
Permintaan yang tidak riil. Permintaan uang adalah hanya untuk keperluan transaksi dan berjaga-jaga.Penimbunan mata uang (at-Taubah : 34-35) sebagaimana dilarangnya penimbunan barang.Transaksi talaqqi rukban, yaitu mencegat penjual dari kampung di luar kota untuk mendapat keuntungan dari ketidaktahuan harga. Distorsi harga ini merupakan cikal bakal spekulasi.Transaksi kali bi kali, yaitu bukan transaksi tidak tunai. Transaksi tunai diperbolehkan, namun transaksi future tanpa ada barangnya dilarang. Transaksi maya ini merupakan salah satu pintu riba.Segala bentuk riba (al-Baqarah : 278). Dalam mendorong pertumbuhan ekonomi sekaligus stabilitas, Islam tidak menggunakan instrumen bunga atau ekspansi moneter melalui pencetakan uang baru atau defisit anggaran. Yang dilakukan adalah mempercepat perputaran uang dan pembangunan infrastruktur sektor riil.
Faktor pendorong percepatan perputaran uang adalah kelebihan likuiditas tidak boleh ditimbun dan tidak boleh dipinjamkan dengan bunga, sedangkan faktor penariknya adalah dianjurkan qard (pinjaman kebajikan), sedekah, dan kerja sama bisnis berbentuk syirkah atau mudharabah. Jadi, kebijakan moneter Rasulullah SAW selalu terkait dengan sektor riil perekonomian. Hasilnya adalah pertumbuhan sekaligus stabilitas negara.
III. Kesimpulan
Dari uraian pembahasan tersebut di atas, maka dapat diambil beberapa kesimpulan sebagai berikut :
Islam mempunyai pandangan yang jelas mengenai harta dan kegiatan ekonominya sebagaimana telah dicontohkan oleh teladan kita Muhammad Rasulullah Saw. Beberapa pemikiran ekonomi Islam yang disadur ilmuwan Barat antara lain, teori invisible hands yang berasal dari Nabi Saw dan sangat populer di kalangan ulamaPerekonomian Arab di zaman Rasulullah Saw bukanlah ekonomi terbelakang yang hanya mengenal barter, bahkan jauh dari gambaran seperti itu. Valuta asing dari Persia dan Romawi dikenal oleh seluruh lapisan masyarakat Arab, bahkan menjadi alat bayar resmi : Dinar dan Dirham. Sistem devisa bebas diterapkan, tidak ada halangan sedikitpun untuk mengimpor dinar atau dirham.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar