Senin, 28 Desember 2015

Pelaksanaan Ekonomi di Zaman Rasulullah SAW


I. Pendahuluan

Secara umum, tugas kekhalifahan manusia adalah tugas mewujudkan kemakmuran dan kesejahteraan dalam hidup dan kehidupan (al-An’aam : 165) serta tugas pengabdian atau ibadah dalam arti luas (adz-Dzaariyaat : 56). Untuk menunaikan tugas tersebut, Allah SWT memberi manusia dua anugerah nikmat utama, yaitu manhaj al-hayat (sistem kehidupan) danwasilah al-hayat (sarana kehidupan).

Manhaj al-hayat adalah seluruh aturan kehidupan manusia yang bersumber kepada Al-Quran dan Sunnah Rasul. Aturan tersebut berbentuk keharusan melakukan atau sebaiknya melakukan sesuatu, juga dalam bentuk larangan melakukan atau sebaiknya meninggalkan sesuatu. Aturan tersebut dikenal sebagai hukum lima ( al-ahkaam al-takliifiyaah ), yakni wajib, sunnah (mandub), mubah, makruh, atau haram.

Aturan-aturan tersebut dimaksudkan untuk menjamin keselamatan manusia sepanjang hidupnya, baik yang menyangkut keselamatan agama, keselamatan diri (jiwa dan raga), keselamatan akal, keselamatan harta benda, maupun keselamatan nasab keturunan. Hal-hal tersebut merupakan kebutuhan pokok atau primer (alhaajat adh-dharuriyyah).

Pelaksanaan Islam sebagai way of life secara konsisten dalam semua kegiatan kehidupan, akan melahirkan sebuah tatanan kehidupan yang baik, sebuah tatanan yang disebut sebagai hayatan thayyibah (an-Nahl : 97). Sebaliknya, menolak aturan itu atau sama sekali tidak memiliki keinginan mengaplikasikannya dalam kehidupan, akan melahirkan kekacauan dalam kehidupan sekarang, ma’isyatan dhanka atau kehidupan yang sempit, serta kecelakaan di akhirat nanti (Thaahaa : 124-126).

Aturan-aturan itu juga diperlukan untuk mengelola wasilah al-hayah atau segala sarana dan prasarana kehidupan yang diciptakan Allah SWT untuk kepentingan hidup manusia secara keseluruhan. Wasilah al-hayah ini dalam bentuk udara, air, tumbuh-tumbuhan, hewan ternak, dan harta benda lainnya yang berguna dalam kehidupan.

II. Pelaksanaan Ekonomi di Zaman Rasulullah SAW

Islam mempunyai pandangan yang jelas mengenai harta dan kegiatan ekonominya sebagaimana telah dicontohkan oleh teladan kita Nabi Muhammad  SAW.

Beberapa pemikiran ekonomi Islam yang disadur ilmuwan Barat antara lain, teori invisible hands yang berasal dari Nabi Muhammad SAW dan sangat populer di kalangan ulama. Teori ini berasal dari hadits Nabi Muhammad SAW, sebagaimana disampaikan oleh Anas RA, sehubungan dengan adanya kenaikan harga-harga barang di kota Madinah. 

Dalam hadits tersebut diriwayatkan sebagai berikut :

Harga melambung pada zaman Rasulullah SAW. Orang-orang ketika itu mengajukan saran kepada Rasulullah SAW dengan berkata: “Ya Rasulullah hendaklah engkau menentukan harga”.

Rasulullah SAW bersabda: 

”Sesungguhnya Allahlah yang menentukan harga, yang menahan dan melapangkan dan memberi rezeki. Sangat aku harapkan bahwa kelak aku menemui Allah dalam keadaan tidak seorang pun dari kamu menuntutku tentang kezaliman dalam darah maupun harta.” 


Dengan hadits ini terlihat dengan jelas bahwa Islam jauh lebih dahulu (lebih 1160 tahun) mengajarkan konsep invisible hand atau mekanisme pasar dari pada Adam Smith. Inilah yang mendasari teori ekonomi Islam mengenai harga.

Rasulullah SAW dalam hadits tersebut tidak menentukan harga. Ini menunjukkan bahwa ketentuan harga itu diserahkan kepada mekanisme pasar yang alamiah impersonal. Rasulullah SAW menolak tawaran itu dan mengatakan bahwa harga di pasar tidak boleh ditetapkan, karena Allah SWT-lah yang menentukannya.

Sungguh menakjubkan, teori Rasulullah SAW tentang harga dan pasar. Kekaguman ini dikarenakan, ucapan Rasulullah SAW itu mengandung pengertian bahwa harga pasar itu sesuai dengan kehendak Allah SWT yang sunnatullah atau hukum supply and demand. Maka sekali lagi ditegaskan kembali bahwa teori inilah yang diadopsi oleh bapak ekonomi barat, Adam Smith dengan nama teori invisible hands. Menurut teori ini, pasar akan diatur oleh tangan-tangan tidak kelihatan (invisible hands). Bukankah teori invisible hands itu lebih tepat dikatakan God Hands (tangan-tangan Allah).

Di samping itu ada beberapa kebijakan ekonomi yang telah dijalankan oleh Rasulullah Saw, antara lain : 

Kebijakan Fiskal Rasulullah Saw

Ketika keadaan perekonomian masih lesu dan pemerintah baru saja mendapat hutang baru dari Consultative Group on Indonesia (CGI) dan Dana Moneter Internasional (IMF), perlunya kebijakan fiskal yang tepat mengemuka di antara beberapa usulan kebijakan dari para ekonom.

Sebenarnya kebijakan fiskal telah sejak lama dikenal dalam teori ekonomi Islam, yaitu sejak zaman Rasulullah dan Khulafaur Rasyidin, dan kemudian dikembangkan oleh para ulama.

Pada jaman Rasulullah SAW, sisi penerimaan APBN terdiri atas kharaj ( sejenis pajak tanah ), zakat, khums (pajak 1/5), jizya (sejenis pajak atas badan orang non muslim), dan penerimaan lain-lain (di antaranya kaffarah / denda). Di sisi pengeluaran, terdiri atas pengeluaran untuk kepentingan dakwah, pendidikan dan kebudayaan, iptek, hankam, kesejahteraan sosial, dan belanja pegawai.

Penerimaan zakat dan kums dihitung secara proporsional, yang dalam persentase dan bukan ditentukan nilai nominalnya. Secara ekonomi makro, hal ini akan menciptakan built-in stability. Ia akan menstabilkan harga dan menekan inflasi ketika permintaan agregat lebih besar daripada penawaran agregat. Dalam keadaan stagnasi, misalnya permintaan agregat turun menjadi lebih kecil daripada penawaran agregat, ia akan mendorong ke arah stabilitas pendapatan dan total produksi.

Sistem zakat perniagaan tidak akan mempengaruhi harga dan jumlah penawaran karena zakat dihitung dari hasil usaha. Dalam istilah finansialnya disebut tax on quasi rent. Ini berbeda dengan sistem pajak pertambahan nilai (PPN) yang populer sekarang; PPN dihitung atas harga barang, sehingga harga bertambah mahal dan jumlah yang ditawarkan lebih sedikit atau dalam istilah ekonominya up-ward shift on supply curve.

Khusus untuk zakat ternak, Islam menerapkan sistem yang progresif untuk memberikan insentif meningkatkan produksi. Makin banyak ternak yang dimiliki makin kecil rate zakat yang harus dibayar. Ia akan mendorong tercapainya skala produksi yang lebih besar dan terciptanya efisiensi biaya produksi. Sistem progresif ini hanya berlaku untuk zakat ternak karena bila terjadi kelebihan pasokan, ternak tidak akan busuk seperti sayur atau buah-buahan. Harga tidak akan jatuh karena kelebihan pasokan.

APBN jarang sekali mengalami defisit, yaitu pengeluaran hanya dapat dilakukan bila ada penerimaan. Pernah sekali mengalami defisit, yaitu sebelum perang Hunain, namun segera dilunasi setelah perang. Bahkan di jaman Umar dan Utsman r.a., malah APBN mengalami surplus. Dengan tidak ada defisit berarti tidak ada uang baru dicetak dan ini berarti tidak akan terjadi inflasi yang disebabkan ekspansi moneter. Inflasi terjadi di jaman Rasulullah dan Khulafaur Rasyidin akibat turunnya pasokan barang ketika musim paceklik atau ketika perang.

Kebijakan Moneter Rasulullah Saw

Sejak nilai tukar merosot terus, Bank Indonesia menerapkan kebijakan suku bunga tinggi. Dari sisi kemampuan SBI menyedot rupiah, hasilnya mulai tampak. Akan tetapi, besaran makro lainnya dan industri perbankan malah sebaliknya. The Asian Banker Journal, Mei 1998, dalam editorialnya menampilkan perkiraan para bankir bahwa tingkat kredit bermasalah di Indonesia tahun 1998 mencapai 20 %, bahkan para analis memperkirakan 50-55 %.Kebijakan moneter sebenarnya bukan hanya mengotak atik suku bunga.

Bahkan sejak jaman Rasulullah SAW dan Khulafaur Rasyidin, kebijakan moneter dilaksanakan tanpa menggunakan instrumen bunga sama sekali. Perekonomian Jazirah Arabia ketika itu adalah ekonomi dagang, bukan ekonomi yang berbasis sumber daya alam; minyak bumi belum ditemukan dan sumber daya alam lainnya terbatas.

Perekonomian Arab di zaman Rasulullah SAW bukanlah ekonomi terbelakang yang hanya mengenal barter, bahkan jauh dari gambaran seperti itu. Valuta asing dari Persia dan Romawi dikenal oleh seluruh lapisan masyarakat Arab, bahkan menjadi alat bayar resmi : Dinar dan Dirham. Sistem devisa bebas diterapkan, tidak ada halangan sedikitpun untuk mengimpor dinar atau dirham.

Bila para pedagang mengekspor barang, berarti dinar/dirham diimpor. Sebaliknya, bila mereka mengimpor barang, berarti dinar/dirham diekspor. Jadi, dapat dikatakan bahwa keseimbangan supply dan demand di pasar uang adalah derived market dari keseimbangan aggregate supply dan aggregate demand di pasar barang dan jasa.

Nilai emas dan perak yang terkandung dalam dinar dan dirham sama dengan nilai nominalnya, sehingga dapat dikatakan penawaran uang elastis sempurna terhadap tingkat pendapatan. Tidak adanya larangan impor dinar/dirham berarti penawaran uang elastis; kelebihan penawaran uang dapat diubah menjadi perhiasan emas atau perak. Tidak terjadi kelebihan penawaran atau permintaansehingga nilai uang stabil.

Untuk menjaga kestabilan ini, beberapa hal berikut dilarang :

Permintaan yang tidak riil. Permintaan uang adalah hanya untuk keperluan transaksi dan berjaga-jaga.Penimbunan mata uang (at-Taubah : 34-35) sebagaimana dilarangnya penimbunan barang.Transaksi talaqqi rukban, yaitu mencegat penjual dari kampung di luar kota untuk mendapat keuntungan dari ketidaktahuan harga. Distorsi harga ini merupakan cikal bakal spekulasi.Transaksi kali bi kali, yaitu bukan transaksi tidak tunai. Transaksi tunai diperbolehkan, namun transaksi future tanpa ada barangnya dilarang. Transaksi maya ini merupakan salah satu pintu riba.Segala bentuk riba (al-Baqarah : 278). Dalam mendorong pertumbuhan ekonomi sekaligus stabilitas, Islam tidak menggunakan instrumen bunga atau ekspansi moneter melalui pencetakan uang baru atau defisit anggaran. Yang dilakukan adalah mempercepat perputaran uang dan pembangunan infrastruktur sektor riil.

Faktor pendorong percepatan perputaran uang adalah kelebihan likuiditas tidak boleh ditimbun dan tidak boleh dipinjamkan dengan bunga, sedangkan faktor penariknya adalah dianjurkan qard (pinjaman kebajikan), sedekah, dan kerja sama bisnis berbentuk syirkah atau mudharabah. Jadi, kebijakan moneter Rasulullah SAW selalu terkait dengan sektor riil perekonomian. Hasilnya adalah pertumbuhan sekaligus stabilitas negara.

III. Kesimpulan

Dari uraian pembahasan tersebut di atas, maka dapat diambil beberapa kesimpulan sebagai berikut :

Islam mempunyai pandangan yang jelas mengenai harta dan kegiatan ekonominya sebagaimana telah dicontohkan oleh teladan kita Muhammad Rasulullah Saw. Beberapa pemikiran ekonomi Islam yang disadur ilmuwan Barat antara lain, teori invisible hands yang berasal dari Nabi Saw dan sangat populer di kalangan ulamaPerekonomian Arab di zaman Rasulullah Saw bukanlah ekonomi terbelakang yang hanya mengenal barter, bahkan jauh dari gambaran seperti itu. Valuta asing dari Persia dan Romawi dikenal oleh seluruh lapisan masyarakat Arab, bahkan menjadi alat bayar resmi : Dinar dan Dirham. Sistem devisa bebas diterapkan, tidak ada halangan sedikitpun untuk mengimpor dinar atau dirham.

Jumat, 28 Agustus 2015

Saifuddin Quthuz di Tengah Bangsa Kalah (Kebangkitan di tengah Keterpurukan)* Budi Ashari

Semua sebab kejatuhan Daulah-Daulah Islamiyyah ada pada kita.

Tetapi, semua sebab kebangkitan perlahan mulai terlihat.

 

Para ahli sejarah Islam, khususnya DR. Abdul Halim Uwais –rahimahullah- banyak mengkaji kejatuhan berbagai daulah Islam sepanjang sejarahnya. Ada dua poin penting yang bisa disimpulkan:

Pertama, selalu ada sebab-sebab yang sama walau berbeda zaman. Itulah mengapa sejarah berulang sebagai sunnatullah.

Kedua, semua sebab itu ada pada kita hari ini. Itulah mengapa kita jatuh.

Di awal, kita akan membicarakan sebagian dari penyebab itu, bukan untuk sekadar membuka luka tetapi untuk memahaminya agar mendapatkan obat yang tepat.

1.       Rusaknya aqidah dan bermunculannya aliran sesat

Aliran sesat tumbuh pesat bak jamur di musim penghujan. Faktornya adalah jauhnya masyarakat dari ilmu dan ketidakpedulian ulama serta negara. Apapun alirannya sesatnya, mereka agama yang satu. Mereka telah membuat negeri Islam kelelahan.

Kelompok Khawarij yang mengkafirkan dan siap membunuh siapa saja telah fmembuat lelah sepanjang sejarah kekhilafahan Islam.

Syiah telah mencatatkan nama mereka sebagai benalu peradaban. Tak memberi kehidupan justru mematikan pohonnya. Siapapun yang membaca sejarah tahu bagaimana Hulagu panglima Tatar, Mongol itu bisa leluasa masuk dan menghancurkan Baghdad. Berawal dari kepercayaan bodoh pemimpin lemah kepada Muayyadduddin Ibnul Al Qomi, perdana menteri syiah yang mengendalikan seluruh kepemimpinan.

Sekte shufi yang menyebabkan masyarakat Turki Utsmani tak minat lagi berjihad menjadi saksi jatuhnya kekhilafahan terakhir muslimin itu,

“Siapa pun yang mengamati sejarah Turki Utsmani, mengetahui sebab utama kejatuhan mereka adalah jauhnya mereka secara bertahap dari aqidah yang bersih yang sesuai dengan Al Kitab dan As Sunnah dan menggantinya dengan aqidah khurafat.” (Sulaiman bin Shalih Al Khurasyi, Kaifa Saqathat Ad Daulah Al Utsmaniyyah)

2.       Berlomba menumpuk harta

Hal inilah yang sudah diwanti-wanti oleh Rasul dalam banyak hadits beliau. “Demi Allah bukan kemiskinan yang aku takuti terjadi pada kalian. Tetapi jika dunia dibuka di hadapan kalian...” (HR. Bukhari dan Muslim). Ini pula yang membuat Umar menangis. Saat ia melihat harta dan perhiasan berdatangan ke Madinah hasil dari jihad, “Demi Allah, karena inilah kalian bertikai.”

DR. Abdul Halim Uwais, seorang ahli sejarah Islam yang sangat fokus mendalami sebab-sebab kejatuhan negeri-negeri Islam menulis buku At Takatsur Al Madiy Wa Atsaruhu fi Suquthil Andalus (Berbanyak-banyakan harta dan dampaknya bagi kejatuhan Andalus)

Al Wahn dalam bahasa Rasulullah itu, menjalari seluruh sendi para pemimpinnnya. Tidaklah Andalus pecah menjadi lebih dari 20 negara kecil kecuali karena hal tersebut. Efeknya panjang. Mereka rela bekerjasama dengan kekuatan kafir walaupun harus mengorbankan dan membunuh saudara. Semuanya berujung, dijualnya Granada sebagai kota terakhir yang dimiliki muslimin.

Lihatlah pengkhianatan di balik layar yang tak diketahui oleh masyarakat muslim. Tetapi aroma busuk itu tersimpan rapi dalam arsip sejarah. Tiga sekawan penjual Andalus kepada Fernando dan Isabella, salah satunya adalah menteri yang bernama Abul Qosim Al Malih. Dan inilah surat itu,

“Saya bersumpah demi Allah dan demi syariat, bahwa jika saya mampu memikul Granada di pundak saya pasti akan saya bawa ke tuan-tuan yang mulia. Ini keinginan saya. Allah akan membinasakan saya jika saya berdusta. Sebagaimana saya berharap dari Allah agar urusan ini berakhir dengan baik, terbebas dari kaum gila itu. Dan saya berharap anda yakin bahwa saya adalah pembantu mulia yang tulus untuk tuan-tuan terhormat. Tetapi sayangnya pemahaman penduduk kota ini belum matang dan terbuka.”

3.       Ulama yang tak berperan lagi jahat

Andai ada satu atau dua ulama mau bergerak membimbing umat menuju kebangkitan, sangatlah cukup. Tetapi justru mereka yang memberi dalil sebagai dalih atas pengkhianatan itu. Kembali membaca kejatuhan Andalus, Abul Qosim Al Malih, Yusuf bin Kamasyah sesungguhnya bergerak leluasa dengan panduan dalil-dalil yang diberikan oleh Al Faqih Al Baqini. Maka ketiga orang inilah yang bergerak di lapangan untuk menjual sisa Andalus tersebut.

Dikarenakan ahli ilmunya asyik memunguti sampah dunia, maka mereka yang baru belajar ilmu memunculkan berbagai fatwa dan mengawal pergerakan umat. Tentu tanpa ilmu. Dengarlah kalimat ulama hebat Andalus yang mengawal kebangkitan kedua Andalus, Ibnu Hazm –rahimahullah-,

“Cara kita lepas dari fitnah yang menimpa Andalus adalah menahan lisan kecuali dari satu hal: Amar Ma’ruf dan Nahi Mungkar. Tapi sangat disayangkan banyak penuntut ilmu yang tidak menahan diri dari apapun kecuali dari Amar Ma’ruf dan Nahi Mungkar......kalau setiap orang yang menolak dengan hatinya berkumpul, mereka tak mampu mengalahkan kita.” (Syekh Nashir bin Sulaiman Al Umar, Suquth Al Andalus Durusun Wa ‘Ibar)

4.       Dan jihad pun telahdigantikan oleh hiburan

“Salah seorang ulama muslimin di abad ini berkata: Tanyakan kepada sejarah, bukankah redupnya bintang peradaban kita tidak terjadi kecuali pada hari bersinarnya bintang para artis.” (DR. Thoriq As Suwaidan, Al Andalus At Tarikh Al Mushowwar)

1 Shafar 656 H. Tahun yang tak pernah terlupakan oleh Baghdad , bahkan seluruh muslimin. Saat Hulagu mulai mengepung Baghdad, ibukota kekhilafahan Dinasti Bani Abbasiyah dan menghujaninya dengan panah dan senjata paling mutakhir saat itu. Baghdad belum menghadapi tekanan sebesar itu sebelumnya. Tapi bacalah apa yang dilakukan oleh pemimpin tertinggi muslimin saat itu, apakah dia segera menyatukan muslimin dan mengumumkan jihad?

Ibnu Katsir –rahimahullah- yang menyampaikan ini langsung,

“Tatar mengepung istana Khalifah dan menghujaninya dengan panah api, hingga terkenalah seorang wanita yang sedang bermain dan menghibur di hadapan Khalifah. Dan ini salah satu kesalahannya. Wanita itu bernama Arafah. Panah melesat dari salah satu jendela membunuhnya saat ia sedang menari di hadapan khalifah. Khalifah terkejut dan sangat marah. Dia mengambil panah yang menancap, ternyata tertulis padanya: jika Allah ingin menjatuhkan ketentuannya, Dia menghilangkan akal orang-orang berakal. Maka khalifah pun memerintahkan untuk menambahi penghalang hingga banyak sekali penutup di istana khalifah.” (Al Bidayah wa An Nihayah)

DR. Roghib As Sirjani mengomentari kalimat di atas,

“Tarian wanita dalam darah telah menjelma menjadi makanan dan minuman. Harus ada walapun sedang dalam keadaan perang. Saya sungguh tidak paham, bagaimana ia rela menyibukkan diri dengan hal tersebut. Padahal negara, rakyat dan dia sendiri sedang dalam keadaan sulit.” (islamstory.com)

Hasilnya, 1.000.000 muslim mati hanya dalam 40 hari! Termasuk pemimpin mereka yang lalai dan lemah itu, mati dengan cara diinjak-injak di dalam istananya dengan tangan kaki terbelenggu. Sangat hina.

Sampailah kita pada zaman ini.

“Dan Yahudi melipat akhir lembaran kita yang bercahaya”(DR. Abdul Halim Uwais, Dirasah Lisuquth Tsalatsin Daulah Islamiyyah)

Dan kita telah mendapatkan banyak pelajaran. Kita bukan keledai yang mudah terjatuh dalam lubang yang sama. Menghindarlah dulu dari semua sebab kejatuhan itu. Untuk shaf muslimin segera menggerakkan bagian dari tubuhnya perlahan. Dan memang inilah zamannya. Kesadaran dan pergerakan untuk bangkit itu mulai kentara terlihat.

 

Di Tengah Bangsa Kalah

Ada teori terkenal yang disampaikan oleh Ibnu Khaldun –rahimahullah- dalam Muqaddimahnya di pasal ke-23 bahwa,

“Yang kalah terkagum selamanya dengan cara mengikuti yang menang; pada semboyannya, pakainnya, cara hidupnya dan seluruh keadaan serta kebiasaannya.”

Walau konsep ini tidak selamanya benar dan dikritik oleh para ulama hari ini, tetapi ada sisi benarnya. Dan itulah yang kita rasakan hari ini. Kita masih saja duduk terpaku di hadapan peradaban Yahudi hari ini dengan terkagum-kagum. Mata terbelalak, mulut terbuka, semua anggota tubuh mati dan mulut berdecak kagum. Yang lebih buruk, hati bertekad untuk mengikutinya.

Karenanya, bagi siapapun yang hendak bangkit di tengah bangsa yang kalah perlu segera bangun dari keterkaguman itu. Dan segera melihat ke sekeliling dampak kerusakan yang sudah menjalar ke seluruh wilayah muslimin.

Tiga poin berikut ini semoga bisa membantu kita untuk bangun,

Abul Walid Al Baji, Ibnu Hazm, Ibnu Abdil Barr dan Yusuf bin Tasyifin bagi AndalusAntara Musa bin Abi Ghassan dan Saifuddin QuthuzAntara kejatuhan Andalus dan kebangkitan Turki

Abul Walid Al Baji, Ibnu Hazm, Ibnu Abdil Barr adalah nama-nama besar para ulama Andalus. Mereka hadir di masa kehancuran Andalus yang pertama. Andalus besar selama 8 abad, tetapi pada 4 abad pertama Andalus nyaris lenyap. Semua penyebab kejatuhan di atas sudah ada pada muslimin Andalus; rakyat dan pemimpin.

Tapi Allah berkehendak Andalus masih bertahan 4 abad berikutnya. Dan inilah 3 nama besar yang bergerak untuk menyelamatkan Andalus. Tak henti mereka berkeliling menemui para raja-raja kecil rakus dunia untuk menyadarkan bahaya perpecahan di tengah kesigapan Kerajaan Kristen Castille untuk memangsa muslimin dari utara. Tapi para raja kecil itu sudah gelap mata. Dahsyatnya, para ulama itu tidak pernah putus asa dan selalu mencari jalan lain. Hingga mereka memutuskan untuk meminta bantuan pasukan dari daratan Afrika Utara. Maka Yusuf bin Tasyifin dibukakan jalannya untuk masuk daratan Iberia itu. DR. Thoriq As Suwaidan mengatakan,

“Kalau ada yang menggelari Umar bin Abdul Aziz sebagai Khalifah Rasyid kelima, maka kalau boleh saya menggelari Yusuf bin Tasyifin sebagai Khalifah Rasyid keenam.” (ceramah tentang sejarah Andalus di TV Arreesalah )

Untuk para ahli ilmu hari ini, segera sadarlah dan lakukan sesuatu! Jangan pernah berputus asa.

 

Adapun Musa bin Abi Ghassan adalah nama besar yang nyaris tidak kenal. Tapi tanyakan pada Granada yang menghadapi pengkhinatan pemimpinnya sendiri tentang nama besar ini. Saat bergabung menteri, ulama dan pemimpin tertinggi untuk menjual Andalus, tokoh besar ini sadar dan mendatangi mereka. Nahi mungkar!

Kembali, nasehat membentur kerasnya batu syahwat. Dan inilah kalimat kokoh Musa bin Abi Ghassan yang mengakhiri hidupnya dengan syahid,

“Jangan serahkan Granada! Biarkan kami berjihad fi sabilillah. Biarkan kami berperang fi sabilillah. Jangan menipu diri kalian sendiri. Jangan menyangka kalau Nashoro akan memenuhi janji mereka. Jangan bersandar pada besarnya kerajaan mereka. Kematian hanya sedikit dari ketakutan kita. Di hadapan kita ada penjarahan kota-kota kita dan penghancurannya, pengotoran masjid-masjid kita, perobohan rumah-rumah kita, pemerkosaan istri-istri dan putri-putri kita. Di hadapan kita dosa keji, fanatisme buas, cambuk dan belenggu rantai. Di hadapan kita penjara, siksaan dan pembakaran!” (Suquth Al Andalus Durusun Wa ‘Ibar)

Sedangkan Saifuddin Quthuz, dia pemimpin Mesir di tengah hancurnya mental muslimin pasca penghancuran Baghdad oleh Tatar. Setiap surat panglima Mongol dikirimkan ke sebuah wilayah muslimin agar menyerah, pemimpinnya langsung menyerah. Tak ada kata perlawanan, apalagi jihad. Mereka merasa berhadapan dengan raksasa yang datang dari negeri antah berantah. Tak mungkin, mustahil sekadar bisa melakukan perlawanan apalagi menang. Saifuddin Quthuz pun kebagian surat itu, saat Tatar bergerak ke Palestina. Ia segera membacakannya di hadapan para panglimanya. Dan kembali terulang, sebagian panglima itu menyarankan agar menyerah saja karena perlawanan tidak ada gunanya. Dan inilah kalimat Saifuddin Quthuz,

“Saya langsung yang akan hadapi Tatar wahai para pemimpin muslimin. Sekian lama kalian telah makan dari Baitul Mal, sementara sekarang kalian benci perang.

Saya pasti berangkat. Siapa yang memilih jihad, akan bersama saya. Siapa yang tidak memilih itu, pulanglah ke rumah!! (DR. Ali M. Ash Shalaby, As Sulthan Saifuddin Quthuz Wa Ma’rokah ‘Ain Jalut)

Untuk mereka yang telah sadar dan mengetahui jalan kebangkitan, pemimpin ataupun tokoh, segera sebarkan semangat itu kepada yang lainnya!

 

Kini perbandingan antara kejatuhan Andalus dan kebangkitan Turki. Perhatikan tahunnya dan ambil pelajarannya,

Andalus jatuh                :  897H / 1492 M.

Turki Utsmani berdiri      :  699 H/1299 M

Saat Andalus jatuh, Daulah Turki Utsmani telah berusia 200 tahun. 

Inilah bersambungnya peradaban Islam. Andalus memang sudah tak mungkin dipertahankan dengan keadaan masyarakat dan pemimpinnya yang sudah rusak seperti itu. Maka, hari-hari kebesaran digeser ke timur. Diserahkan kepada yang telah siap.

Untuk melihat sesiap apa, mari kita baca sebagian nasehat pendiri Turki Utsmani yang bernama Utsman bin Ertugrul kepada anaknya. Isinya menunjukkan kebaikan diri penasehatnya sekaligus sebagai haluan bagi pelanjutnya,

“Wahai anakku, jangan menyibukkan diri dengan sesuatu yang tidak diperintah Allah Robbul ‘Alamin. Jika kamu menghadapi masalah dalam hukum, maka bermusyawarahlah dengan ulama.

Anakku, kamu tahu tujuan kita adalah Ridho Allah Robbul ‘Alamin. Dan bahwasanya jihad untuk menebarkan cahaya agama kita ini ke seluruh penjuru hingga datanglah keridhoaan Allah jalla jalaluh.

Anakku, kita bukan bagian orang-orang yang melakukan perang dengan syahwat kekuasaan atau ambisi pribadi. Kita dengan Islam ini hidup dan untuk Islam kita mati.

Anakku, aku wasiatkan kepadamu tentang ulama umat. Teruslah menjaga mereka, perbanyak memuliakan mereka, bermusyawarahlah dengan mereka karena mereka tidak memerintahkan kecuali pada kebaikan. (DR. Ali M. Ash Shalaby, Ad Daulah Al Utsmaniyyah)

Selalu ada harapan sekecil apapun. Yang tak layak akan layu kemudian mati. Yang layak akan bertunas dan segera besar.

Harapan, harapan !!

Ini agama Allah

Tetapi mana para pekerja kerasnya?

(Syekh Nashir bin Sulaiman Al Umar, Suquth Al Andalus Durus wa Ibar)

 

Selanjutnya Apa?

Yang pernah mengantarkan mereka menuju kebangkitan adalah panduan utama orang beriman; Al Quran dan Sunnah Nabi. Dan aplikasi serta buktinya ada dalam sejarah Islam. Teori umum luar biasa, tetapi sayangnya telah memakan banyak korban, yaitu mereka yang merasa telah menjalankan bidangnya berlandaskan dua wahyu itu. Tetapi sesungghnya konsep dan teorinya berasal peradaban Yahudi hari ini. Maka mari lebih kita detailkan sedikit.

Setelah panjang lebar kita bertebaran di sepanjang sejarah Islam, kini apa yang harus kita lakukan?

Mari kita uji diri kita, apakah kita pelaku kebangkitan itu atau sekadar penonton atau komentatornya?

(Pendidikan dan Kesehatan dalam sejarah kebesaran Islam bukan lembaga profit!!!)

Apa yang ada di benak Anda, setelah membaca pernyataan di atas?

Jawabannya adalah merupakan posisi kita dari kebangkitan Islam hari ini.

 

Perhatikan lebih detail konsep Bymaristan (Rumah Perawatan Pasien) di sejarah kebesaran Islam. Kalau ada pasien datang ke Bymaristan untuk berobat, maka berikut ini prosedurnya,

Setiap pasien yang datang akan dicatat namanyaDiperiksa oleh kepala dokter detak jantungnya, urinenya dan ditanyakan berbagai gejalanyaJika oleh dokter pemeriksa dinyatakan hanya rawat jalan, maka dibuatkan resep sajaResep dibawa ke bagian apotek untuk mengambil obatnyaJika dokter menyatakan harus dirawat, maka akan langsung diserahkan kepada tim perawatnya (dokter pengawas, perawat dan pelayan kebutuhan pasien)Setiap pagi dilakukan kunjungan dokter ke semua pasieng.       Jika telah sembuh, pasien dipersilakan pulang dengan diberi baju baru dan beberapa keping uang emas(DR. Ahmad Isa, Tarikh Al Bymaristanat fil Islam dan Hassan Syamsi Basya, Hakadza Kanu Yaum Kunna)

Mungkinkah kita ulang kebesaran dunia kesehatan ini?

Allah mengurung kalian dengan kehinaan sampai kalian mau kembali ke agama kalian!

(HR. Abu Dawud, dishahihkan oleh Al Albani)

 

*Disampaikan dalam Seminar Akbar Dewan Syari’ah Kota Surakarta: Dengan Menghidupkan Sunnah Rasul Kita Songsong Kebangkitan Islam 2020? Ahad, 19 Januari 2014

Rabu, 01 Juli 2015

HTI Menurut NU? Saudara Kembar Yang Memperjuangkan Kejayaan Islam



HTI Menurut NU? Saudara Kembar Yang Memperjuangkan Kejayaan Islam

Pembahasan  HTI VS NU , NU memandang HTI, HTI Menurut NU atau dikenal dengan Nahdhotul Ulama , NU kecam HTI, NU tolak HTI itu seringkali di tiupkan oleh oknum-oknum tertentu dengan motif pribadi dan dalam rangka memecahbelah ummat Islam, padahal faktanya hubungan kelembagaan NU dengan HTI via formal maupun informal di akar rumput sangat solid.

Beriktu tulisan ustadz Choirul Anam yang menjadi orang NU sejak kecil di kota Kudus Jawa Tengah.

Oleh : Ust. Choirul Anam

Terus terang saya bukan orang yang memiliki kredibilitas dalam membicarakan tema ini. Saya bukan apa-apa dan juga bukan siapa-siapa. Saya hanyalah seorang anak manusia, yang berusaha ikut serta dalam memperjuangkan agama Allah (li takuna kalimatullahi hiyal ulya). Saya hanyalah orang yang ingin turut serta memberi sumbangan dalam membangun peradaban Islam yang agung dan yang membawa keadilan sejati kepada umat manusia, meskipun sumbangan saya itu mungkin lebih kecil dari sebutir debu yang tak ada nilainya. Sekali lagi, saya bukan apa-apa dan tidak ada apa-apanya, dibandingkan dengan tokoh Islam salafus sholih, juga tokoh-tokoh Islam masa kini yang memperjuangkan Islam dengan ikhlas dan semangat, yaitu orang-orang sholih yang tergabung dalam barisan HT atau NU. Saya hanya bisa berdoa, semoga Allah membalas mereka semua dengan kebaikan yang melimpah dan menempatkan mereka bersama para syuhada dan sholihin.

Saya yakin, organisasi Islam yang lain juga melakukan perjuangan yang sama untuk tegaknya kalimatullah di muka bumi, meski terkadang dengan cara yang berbeda-beda. Hanya saja, saya tidak memiliki pengetahuan tentang organisasi selain HT dan NU, sehingga pembahasan di sini saya cukupkan hanya membahas HT dan NU. Saya khawatir terjadi fitnah, jika membahas mereka, padahal saya tidak tahu apa-apa tentang mereka.

Alhamdulillah, kebetulan dari kecil sampai dewasa, saya dididik orang tua dalam lingkungan yang Islamy khas NU. Saya disekolahkan orang tua di sekolah madrasah salafiyah NU. Saat kecil, saya sekolah di MI Hidayatul Mustafidin di desa saya, kalau sore sekolah diniyyah di kampung saya, dan kalau malam belajar al qur’an kepada bapak saya di musholla kecil depan rumah saya. Berikutnya, saya disekolahkan di MTS Miftahul Falah, yaitu sekolah salafiyah di kecamatan saya (Dawe, Kudus). Saya sempat dipondokkan di rumah seorang alim yang mukhlis, di sana saya belajar al qur’an dan menghafal kitab Alfiyah Ibnu Malik. Sayangnya saya tidak bertahan mondok lama-lama, karena masih belum paham dan masih suka main dengan anak-anak lain. Saat MTS ini, kalau malam saya diajak ngaji kitab Hikam dan kitab Iqodzul Himam oleh bapak saya di hadapan guru thariqoh yang sangat alim dan mukhlis, yaitu KH. Siddiq As Sholahy (beliau adalah murid Syeikh KH. Hasyim Asy’ari). Alhamdulillah, saya pernah diberi ijin menerjemahkan salah satu kitab beliau yang berjudul Kasyfus Syubhat dan saya selesaikan pada tahun 2003-an.

Selanjutnya, saya disekolahkan di MA Tasywiqut Thullab Salafiyyah (TBS) di dekat Menara Kudus. Di sana saya belajar fiqih, hadits, tafsir, tasawuf, dan lain-lain dari para kyai, terutama Syeikh KH. Ma’mun Ahmad. Beliau-beliau adalah orang yang alim, mukhlis dan mutafaqqih fid diin. Di TBS, saya dimudahkan Allah untuk menghafal kitab yang sangat idam-idamkan, yaitu kitab Alfiyah Ibnu Malik. Alhamdulillah, dari penjelasan para kyai dan asatidz, saya mendapat ilmu ke-Islaman khas ahlus sunnah wal jama’ah, dan saya sedikit memahami gagasan-gagasan perjuangan para ulama dan kyai yang tergabung dalam organisasi NU.

Setelah itu, atas izin Allah, saya diterima kuliah di Universitas Diponegoro (UNDIP) Semarang, jurusan Fisika. Memang terkesan agak aneh, waktu itu. Lulusan TBS masuk UNDIP. Saat itu, saya memilih Fisika dan Kimia, tetapi diterima di Fisika. Saya memilih Fisika atau Kimia karena ingin menjadi seorang ilmuan muslim karena terisnpirasi buku kecil tentang biografi ilmuan muslim. Saya sangat terinspirasi dengan salah satu ilmuan Muslim masa lalu, seorang ahli fisika yang luar biasa, yaitu Ibnu Haitsam. Jadi, bacaan kisah-kisah tokoh masa lalu, memang akan inspirasi kepada generasi muda. Alhamdulillah, saat menulis ini, saya sekarang tercatat sebagai mahasiswa program doktor di Fisika ITB. Saat ini, saya sedang melakukan riset yang mendalam tentang radiasi CT Scan. Terus terang, saya tidak menduga dan tidak membayangkan sama sekali bahwa saya akan sekolah program doktor di Jurusan Fisika ITB. Jadi, jika kita memiliki cita-cita, insya Allah, Allah akan merealisasikannya, meski pada awalnya terasa mustahil.

Di UNDIP ini saya mulai mengenal HT. Pada awalnya, saya sama sekali tidak tertarik dengan HT, karena saya hanya ingin fokus mempelajari Fisika, apalagi saya merasa sudah mengetahui Islam lebih banyak dibanding teman-teman saya yang lain. Apalagi, saat itu, teman yang mengenalkan HT, menurut saya, tidak meyakinkan. Bacaan al qur’annya tidak lancar, bahasa Arabnya parah, apalagi tsaqofah Islamnya (semoga Allah merahmati beliau karena telah mengenalkan saya dunia yang amat luas ini dan perjuangan yang amat mengesankan ini). Saya merasa lebih layak memberi penjelasan tentang Islam kepada dia, bukan diberi penjelasan oleh dia. Memang ada semacam keangkuhan dan kesombongan pada diri saya. Sampai akhirnya saya sadar bahwa saya tidak boleh bersikap seperti itu. Sombong itu tipuan setan, meski tidak terasa. Apa gunanya saya belajar tasawuf, kalau saya meremehkan orang, pikir saya waktu itu. Saya juga teringat dengan nasihat guru-guru saya dahulu “undzur ma qaal, wa la tandzur man qaal (lihatlah apa yang dikatakan, jangan melihat siapa yang mengatakan)”. Dengan sikap yang agak sedikit terbuka itu, saya mulai mengenal HT. Itu terjadi pada tahun 1999. Alhamdulillah, hingga saat ini saya masih mengkaji Islam bersama teman-teman HT, juga mengkaji kitab-kitab ulama yang mukhlishin wal mukhlashin. Semoga Allah memberikan keistiqomahan kepada saya dan teman-teman semua dalam berjuang bersama barisan orang-orang sholih tersebut.

Jadi, insya Allah, saya sedikit memiliki pengetahuan tentang NU dan HT dari sumber aslinya, meski tentu saja, saya bukan apa-apa, baik di NU, HT atau di mana pun juga. Saya hanya akan sedikit menceritakan apa yang saya rasakan. Jika ada teman-teman atau pihak-pihak yang merasa tersinggung atau kurang berkenan, saya mohon maaf, bukan maksud saya menyinggung mereka.
*****
Setelah belajar di NU dan HT, saya merasakan bahwa kedua merupakan saudara kembar dalam memperjuangkan tegaknya Islam di muka bumi. Keduanya hampir-hampir tidak ada bedanya, terutama tentang tsaqofah, kecuali hanya sedikit sekali perbedaan.

Keduanya didirikan oleh seorang alim yang mukhlis untuk memperjuangkan tegaknya Islam yang akan memancarkan rahmat bagi seluruh alam semesta. NU didirikan oleh Syeikh KH. Hasyim Asy’ari dan HT didirikan oleh Syeikh Taqiyuddin Annabhani. Syeikh Taqiyuddin sendiri adalah cucu dari gurunya Syeikh Hasyim Asy’ari, yaitu Syeikh Yusuf Annabhani. Warga Nahdliyyin yang sering membaca kitab, pasti sangat familier dengan Syeikh Yusuf Annabhani. Beliau adalah penulis kitab Jami’u Karamatil Auliya, kitab Al-anwar Almuhammadiyyah, dan sekitar 80 kitab lainnya. Jadi, jika ada warga Nahdliyyin yang tidak mengenal dua kitab tersebut, dia termasuk orang yang majhul.

NU memahami bahwa dasar hukum syariah adalah al qur’an, hadits, ijma’ dan qiyas. Demikian pula HT. Hanya HT menambahkan sedikit agar lebih clear, bahwa untuk ijma’ bukan sekedar ijma’, tetapi ijma’ shahabat, dan untuk qiyas bukan sekedar qiyas, tetapi qiyas syar’i, yaitu qiyas atas suatu nash yang ada illat syar’i-nya.

NU memahami bahwa semua sahabat Nabi adalah orang-orang adil. Mereka adalah orang-orang yang mulia. Kita sama sekali tidak boleh mencela mereka. Demikian pula HT, HT memandang bahwa para sahabat Nabi adalah orang-orang yang mulia. Kita sama sekali tidak boleh menghina dan mencaci mereka. Apalah artinya kita dibanding para sahabat Nabi. Perjuangan kita dan pemahaman kita tentang Islam tidak ada sak kuku irenge (maksudnya kita tidak ada apa-apanya dibanding mereka). Kita semua dapat ilmu tentang Islam, semuanya dari mereka.

NU memahami bahwa umat Islam itu ada dua, yaitu orang yang mampu memahami langsung dari sumber-sumber Islam, yang dinamakan dengan mujtahid, dan juga ada orang-orang yang tak mampu memahami Islam langsung dari sumber aslinya, yang dinamakan dengan muqollid. Seorang muqollid karena tidak memiliki ilmu, ia harus mengikuti orang yang memiliki ilmu, yaitu para mujtahid. HT juga memiliki pandangan yang sama. Baik NU maupun HT sama-sama sangat menghormati dan menjunjung tinggi para ulama, terutama para ulama mujtahid muthlaq, seperti Imam Syafi’i, Imam Hanafi, Imam Malik, Imam Hambali dan lain-lain. Kita sama sekali tidak boleh menghina dan mencela mereka. Apalah artinya kita dibanding keilmuan mereka. Kita ini seperti anak TK, sementara beliau-beliau itu seperti professor. Layakkah seorang anak TK menghina keilmuan professor?

NU sangat hati-hati dalam menilai seseorang, apalagi membid’ahkan atau mengkafirkan seseorang. Sebab jika kita keliru dalam mengkafirkan orang, maka tuduhan itu akan kembali kepada penuduhnya. HT juga demikian, sangat hati-hati. Baik NU maupun HT lebih suka menggunakan istilah umum, misalnya bahwa “zina itu dosa besar”, tetapi tidak berani mengatakan bahwa “si A itu mendapat dosa besar”, kecuali telah ada bukti yang kuat di hadapan Allah. Contoh yang lain, misalnya mengatakan bahwa “orang yang tidak berhukum dengan hukum Allah itu ada kalanya kafir, dzalim atau dzalim”. Tetapi, baik NU atau HT, tidak berani mengatakan bahwa “si A adalah kafir, dzalim atau dzalim”, kecuali telah terbukti dengan bukti yang kuat.

NU memandang bahwa Islam itu paripurna, mengatur masalah aqidah (tauhid), akhlaq, ibadah, mu’amalah, buyu’, hudud, hukmul aradli, jihad, dan lain sebagainya. Hal ini terdapat hampir di semua kitab ulama, dari kitab yang dipelajari level MTS seperti kitab Taqrib, level aliyah seperti kitab Fathul Mu’in, dan kitab-kitab besar lainnya seperti Al-Umm, Hasyiyah Al-Bajuri, dll. Demikian pula HT. HT memandang bahwa Islam itu ajaran yang paripurna dan lengkap. Tema-tema yang dipelajari di HT, juga sama dengan tema-tema yang dipelajari di pesantren NU. Bedanya, HT hanya menggunakan bahasa kontemporer dan membandingkan dengan keadaan dunia saat ini. Jadi tidak ada bedanya sama sekali, kecuali hanya penggunaan beberapa istilah baru.

NU memandang bahwa Islam wajib diterapkan. Saat itu kerahmatan Islam akan terwujud di muka bumi ini. Tetapi penerapan Islam harus benar, adil dan sesuai dengan metode syar’i karena semata-mata mengharap ridlo Allah. Islam tidak boleh diterapkan dengan kasar dan menyimpang dari metode syar’i-nya. Demikian pula HT. HT memandang bahwa islam harus diterapkan. Itulah, insya Allah, yang akan membawa kebahagian dan keadilan yang sejati bagi umat manusia.

NU memandang bahwa Islam itu ajaran untuk seluruh umat manusia, makanya NU tidak menganggap remeh dan rendah orang-orang yang memiliki kebangsaan berbeda. Hanya, saja karena Syeikh Hasyim Asy’ari orang Indonesia, maka beliau memulai dakwah dari Indonesia dan disebarkan ke seluruh dunia. Makanya lambang NU adalah bola dunia, sebuah lambang yang menggambarkan wawasan para pendirinya yang sangat global dan komprehensif. Demikian pula HT. HT memandang bahwa Islam itu juga untuk seluruh umat manusia. Tidak ada nasionalisme di dalam Islam. Kita memang memiliki kebangsaan yang berbeda, tetapi kita tidak boleh menilai sesorang atas dasar bangsanya, membela atau memusuhi seseorang atas dasar bangsanya. Itulah yang dinamakan nasionalisme. HT mulai dari Palestina, karena Syeikh Taqiyuddin adalah orang Palestina. Lalu dakwah HT menyebar ke seluruh dunia.

NU sangat menghormati para Khalifah Islam, apalagi Khulafaur Rosyidin. Bahkan NU membuat tradisi untuk mendoakan para Khalifah yang empat itu saat sholat tarawih, dengan mengucapkan “al khalifatul ula sayyuda Abu Bakar Ash Shiddiq radliyallau anhu...” dan seterusnya. Kitab-kitab yang dikaji warga Nahdliyyin membahas dengan detil tentang Khilafah, misalnya kitab Al-Ahkam Assulthaniyyah, dan kitab-kitab lainnya. NU menganggap para Khalifah, para sahabat Nabi lainnya, dan para ulama pasca beliau adalah salafus sholih yang harus kita jadikan teladan. Demikian pula HT. HT sangat menghormati para Khalifah, terutama Khulafaur Rosyidin. HT memahami bahwa sistem yang harus diterapkan saat ini haruslah sistem yang dahulu diterapkan oleh para salafus sholih kita, yaitu sistem Khilafah. HT bahkan membahas Khilafah secara khusus. Bedanya, HT membahas Khilafah dengan bahasa yang lebih kontemporer dan membandingkan dengan sistem-sistem yang saat ini diterapkan. Sehingga lebih clear.

NU memandang bahwa mendakwahkan Islam tidak mungkin sendirian dan terpisah-pisah, karena itu para ulama membentuk organisasi dakwah yang solid bernama NU. HT juga sama. HT memandang bahwa mendakwahkan Islam tidak mungkin sendirian. Rasulullah dalam berdakwah juga bersama para sahabatnya dalam suatu barisan yang sangat rapi. Tentu saja, organisasi di sini sama sekali tidak boleh dimaksudkan untuk ashobiyah atau berbangga-bangga, tetapi organisasi ini dimaksudkan agar dakwah dapat berjalan dengan solid. NU dan HT sama-sama menjauhi sikap ashobiyyah dalam segala hal. Sebab ashobiyyah itu dilarang Islam. Sebagai organisasi, tentu NU dan HT memiliki struktur organisasi dan mekanisme tertentu dalam pengaturan para anggotanya.

NU sangat konsisten dengan ajaran Islam, dan terbuka dengan berbagai hal baru yang tidak bertentangan dengan Islam. Inilah yang membuat NU dinamis. Kaidah masyhur di kalangan NU “al muhafadzatu bil qodimi ashsholih, wal akhdzu bil jadidi al-ashlah (menjaga hal lama yang baik, dan mengambil hal baru yang lebih baik). Baik atau sholih di sini dasarnya adalah Islam. Maka para ulama mengatakan “alhasan ma hassanahu asy-syar’u, wal qabih ma qobbahahu asy-syar’u (Baik adalah apa yang dianggap baik oleh syara’. Sedangkan buruk adalah apa yang dianggap buruk oleh syara’)”. Demikian pula HT. Hanya HT membahas dengan istilah yang berbeda yang dianggapnya lebih jelas, yaitu istilah hadloroh dan madaniyyah. HT akan istiqomah dengan hadloroh Islam, tetapi mengambil madaniyyah yang tidak bertentangan dengan Islam, seperti tenologi dll.

NU sangat mencintai orang-orang yang mencintai Allah dan rasul-Nya, dan membenci orang-orang yang membenci Allah dan Rasulnya. NU tidak pernah rela dengan penjajahan, karena penjajahan adalah pelanggaran terhadap Islam. Karena itu, ulama-ulama NU bangkit melawan penjajahan sesuai dengan kemampuan beliau waktu itu. Perjuangan melawan penjajhan adalah jihad fi sabilillah. HT juga sama. HT sangat mencintai orang-orang yang mencintai Allah, dimana pun mereka berada. Juga membenci orang-orang yang membenci Allah dan Rasul-Nya. HT sangat benci dengan penjajahan. HT sejak didirikan sampai sekarang, menentang bentuk penjajahan, baik secara militer, ekonomi dan politik atau teknik-teknik lain.

NU sangat concern mendidik umat dengan Islam, lewat berbagai forum dan media yang dimungkinkan. Lewat pesantren, musholla, masjid, majlis ta’lim, pengajian-pengajian rutin di kampung-kampung. Inilah yang dinamakan pendekatan kultural. HT juga sama. HT sangat concern mendidik umat dengan Islam, lewat berbagai sarana yang dimungkinkan. HT mengadakan halaqoh-halaqoh kecil, dan juga berbagai acara besar. Berbagai sarana yang dimungkinkan, HT dapat dipastikan menggunakannya untuk kepentingan mendidik umat. Inilah yang dinamakan HT sebagai pendekatan kultural (tatsqif). Hanya saja, HT berpandangan bahwa meskipun pendekatan kultural ini sangat penting dan harus digarap dengan serius, ada pendekatan lain yang tidak boleh dilupakan, yaitu pendekatan politis. Pendekatan politis ini hanya akan terwujud lewat institusi politik umat Islam yang bernama Khilafah. Ini pula yang disampaikan oleh Hujjatul Islam Imam Ghozali “Addiinu ussun was shulthanu harisun. Fa ma laa ussa lahu fmahduumun. Ma wa la harisa lahu fa dlo’i’un (Agama adalah pondisi, kekuasan politik adalah penjaganya. Sesuatu yang tak ada pondasinya akan roboh. Dan sesuatu yang tak ada penjaganya, maka akan terlantar)”. Sekedar contoh, masyarakat diharapkan tidak melakukan pencurian. Lalu mereka dididik tentang haramnya mencuri dan wajibnya bekerja. Ini adalah pendekatan kultural. Namun, tentu saja, dalam pendidikan tersebut, ada sebagain masyarakat yang karena suatu hal tetap melakukan penjurian. Maka dalam hal ini, pencuri tersebut harus diberi sangsi. Sehingga mereka dan yang lain jera melakukan pencurian. Inilah yang dinamakan pendekatan politis. Jadi pendekatan kultural dan politis itu sama-sama pentingnya. Hanya saja, saat pendekatan politis belum bisa dilakukan, maka yang dilakukan adalah pendekatan kultural.

NU sangat kritis dan tegas kepada penguasa yang tidak menjalankan amanah dan melanggar syariah. Bahkan beberapa ulama NU sampai pada sikap yang agak ekstrim. Misalnya kyai saya, Syeikh. KH. Ma’mun Ahmad, beliau mengharamkan ujian nasional kepada santri-santrinya. Menurut beliau, dalam Islam ujian bukan seperti itu. Itu meniru orang-orang kafir. Beliau tidak mau menerima bantuan dari pemerintah, hingga pondok dan rumah beliau masih sangat sederhana, hingga akhir hayat beliau. HT juga demikian. HT sangat tegas dan kritis kepada para pemimpin yang tidak menjalankan amanah dan melanggar hukum syariah. Bedanya, HT merinci beberapa hal sehingga lebih clear, sebagaimana dalam pembahasan hadloroh dan madaniyyah.

Dan lain sebagainya. Mungkin akan butuh beratus-ratus halaman, jika saya sebutkan semua. Singkatnya, NU dan HT itu layaknya saudara kembar dalam memperjuangkan diinullah, litakuuna hiyal ulya.

******

Itulah NU dan HT, sepanjang yang saya ketahui dan saya rasakan. NU dan HT itu sama. Sama-sama diniatkan untuk memperjuangkan Islam. Sama-sama didirikan dan diikuti oleh orang-orang yang mengharap ridlo Allah.

Ketika saya pertama berdiskusi dengan teman HT, memang itu belum tergambar dengan jelas di benak saya. Waktu itu, menurut saya, aktivis HT hanyalah orang-orang yang exited karena baru mengenal Islam. Ternyata saya salah besar. Aktivis HT itu sangat beragam dengan latar belakang keilmuan yang sangat beragam. Para aktivis HT juga terkadang ada yang belum memahami perjuangan secara utuh. Itu hal yang sangat wajar. Namun, setelah saya lama diskusi dengan beberapa aktivis HT dan membaca kitab-kitabnya, hal itu tergambar dengan sangat clear. Kitab HT yang ditulis Syeikh Taqiyuddin, itu benar-benar kitab yang istimewa, menurut saya waktu itu. HT itu persis NU, hanya HT memperjelas dan mempertegas hal-hal yang selama ini agar kurang jelas. Maksud kurang jelas, tidak berarti bahwa kitab-kitab ulama NU tidak membahas hal itu. Tidak. Kitab-kitab ulama yang membahas itu sanagat banyak. Tetapi karena kitab ulama itu sangat banyak, dan terkadang terjadi ikhtilaf. Lalu, dari ikhtilaf itu tidak ada yang melakukan tarjih. Sehingga banyaknya pendapat itu terkadang membuat para santri kurang tegas dalam mengambil sikap. Tentu saja ini bukan hal yang salah.

Sementara HT mengapresiasi berbagai ikhtilaf di kalangan ulama, lalu HT mengambilnya yang menurutnya lebih rajih. Ini yang membuat gagasan HT terkesan lebih tegas. Lagi pula, HT selalu membandingkan pemahamannya dengan kondisi saat ini, di dunia kontemporer. HT membandingkan antara Islam, Kapitalisme, dan Komunisme hampir dalam segala hal. Dengan perbandingan ini, membuat HT memiliki determinasi yang lebih tegas dan jelas. Misalnya tentang mua’malah, baik NU atau HT sama-sama membahas tentang syirkah, dan kesimpulannya sama. Namun, HT tidak sekedar mengkaji dalil-dalinya, HT menambah pembahasan dengan mengkaji fakta berbagai syirkah yang sekarang ada di dunia kontemporer, menelitinya dengan hati-hati. Sehingga tampak lebih jelas, mana yang absah dan mana yang bathil.

Jadi, tidak ada beda yang berarti antara HT dan NU.

Sampai akhirnya, muncul generasi muda yang pulang mencari ilmu dari Amerika, Kanada, Eropa dan lain-lain. Mereka membawa gagasan yang aneh dan tidak dikenal dalam pemikiran NU. Namun, karena mereka adalah anak kyai-kyai yang karismatik dan mukhlis, meski gagasannya aneh, mereka tetap diterima sebagai bagian dari tradisi dan keilmuan NU yang holistik. Mereka mulai mencampurkan berbagai gagasan yang bersandar pada pemikiran barat, dan lambat laun mereka menduduki posisi kunci, baik secara kultural maupun politis. Akibatnya, gagasan NU yang semula bersih dan lurus, menjadi agak bergeser. Pada titik ini, NU memang sangat berbeda dengan HT.

Karena itu, untuk memahami gagasan NU, ada baiknya kita membaca kitab-kitab Syeikh KH. Hasyim Asy’ari. Itulah gagasan NU. Dari sana, kita tidak akan dibingungkan dengan istilah “NU Garis Lurus”, “Generasi Muda NU”, “Pembela Ulama”, dan lain sebagainya.

Jadi, dengan mengkaji secara jujur terhadap kitab dua ulama besar: Syeikh. KH Hasyim Asy’ari dan Syeikh Taqiyuddin Annabhani, kita akan dapat memposisikan NU dan HT pada tempat yang proporsional.

Kamis, 08 Januari 2015

SEJARAH PENERAPAN SYARIAT ISLAM DI INDONESIA

SEJARAH PENERAPAN SYARIAT ISLAM
DI INDONESIA

Penulis:
Ust. Ir. Umar Abdullah

Editor:
KH. Ir. M. Shiddiq al-Jawi
Dr. Ing. H. Fahmi Amhar
Usth. Ir. Lathifah Musa



Naskah ini telah diangkat dalam
VCD Sejarah Penerapan Syariat Islam di Indonesia Seri 1,
El-Moesa Production, 2007


El-Moesa Production

2007

PENGANTAR

Menelusuri sejarah penerapan syariat Islam di Indonesia, bagai mengurai benang kusut yang tercampuri debu dan potongan-potongan benang menyesatkan. Para peneliti dituntut kemampuan memilah mana yang fakta sejarah dan mana yang opini sejarah. Belum lagi banyaknya mitos yang tampaknya sengaja ditaburkan untuk mengaburkan makna penerapan syariat Islam yang sesungguhnya.
Opini-opini sejarah yang berasal dari para penulis sejarah non muslim kebanyakan beranjak dari persepsi mereka yang keliru tentang Islam. Apalagi bila opini tersebut berasal dari orang-orang yang sengaja disusupkan penjajah untuk memberikan rekomendasi yang dapat menghancurkan Islam dari dalam. Sebagai contoh, keharusan berhati-hati ketika mengambil pendapat Snouck Hugronje yang disusupkan kafir penjajah Belanda untuk mempelajari cara yang paling tepat menghentikan perjuangan dan perlawanan umat Islam.
Mitos juga banyak dikembangkan untuk memalingkan umat Islam dari perjuangan penerapan Islam yang sesungguhnya. Mitos-mitos yang menyelimuti Wali Songo banyak ditanamkan melalui kisah-kisah di kalangan masyarakat Jawa. Sisi bahwa Wali Songo yang sesungguhnya adalah para dai ulama utusan kesultanan-kesultanan di seluruh penjuru Khilafah Islamiyah untuk menata dakwah di tanah Jawa serta memperjuangkan penerapan syariat Islam dalam bentuk kesultanan-kesultanan Islam, menjadi lembaran sejarah yang hilang di kalangan masyarakat Jawa. Yang banyak diangkat untuk menghapus dan menyimpangkan perjuangan para wali adalah mitos-mitos yang bahkan tercampuri dengan bid’ah, syirik dan khurafat.
Menelusuri jejak penerapan syariat Islam di Indonesia, adalah menata fakta-fakta sejarah dan menarik benang merahnya dengan Khilafah Islamiyah yang saat itu menjadi payung besar pelindung kaum muslimin dan negara nomor satu di dunia tanpa pesaing. Para peneliti harus berhati-hati dan memiliki gambaran utuh terhadap pemikiran-pemikiran Islam, metode penegakannya, sejarah penerapannya dalam bentuk Daulah Khilafah Islamiyah, dan bagaimana bentuk sistem pemerintahannya. Mereka juga harus memahami bagaimana Rasulullah saw. memperjuangkan Islam pertama kali, membangun institusi negara Islam di Madinah, dan menyebarkannya ke seluruh Jazirah Arab; bagaimana para khalifah, dan para gubernurnya menyebarkan Islam dan meluaskan wilayah Negara Islam.  Mereka juga harus memiliki kerangka ideologis Islam yang mampu  memberikan gambaran bagaimana Islam dengan mudah diterima oleh masyarakat nusantara dengan jalan mengubah cara berfikir masyarakat dan ahlu quwwahnya, dan berkembang secara pesat ke seluruh penjuru nusantara. Islam sebagai ideologilah yang mampu membentuk budaya dan kultur mulia masyarakat nusantara yang bertahan selama berabad-abad.
Secara khusus, kami menyampaikan terima kasih dan kecintaan yang teramat dalam kepada Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani rahimahullah, pendiri Hizbut Tahrir, atas penjelasan beliau yang sangat mencerahkan dalam Kitab at-Tafkir (diterjemahkan dalam Hakekat Berfikir, Pustaka Thariqul Izzah, 2006). Dalam kitab inilah, kami mendapatkan kerangka berfikir yang memudahkan membaca sejarah, memahami mana fakta sejarah dan mana opini sejarah beserta asumsi-asumsinya. Dengan kerangka berfikir inilah kami juga mampu memahami adanya distorsi-distorsi yang terbaca dalam sejarah Indonesia yang memalingkan dari kebenaran sejarah. Hanya dengan kemudahan dan pertolongan Allah SWT, kebenaran sejarah dapat terungkap.
Kaum muslimin di Indonesia, adalah cucu-cucu keturunan para da’i ulama dari poros Khilafah Islamiyah, keturunan para sultan pemberani yang dengan kekuatan aqidahnya mampu mengganti sistem kerajaan Hindu-Budha menjadi kesultanan Islam yang mulia, anak cucu Pangeran Diponegoro, Sultan Hasanudin, Tuanku Imam Bonjol, dan  para pejuang pembela Islam mulai dari Sabang hingga merauke yang bahagia gugur sebagai syuhada. Semoga doa dan harapan para ulama dan pejuang terdahulu mulai tumbuh, bersemi dan terkabul pada generasi saat ini.
Dan kini, sebesar apapun kesungguhan negara-negara salib Eropa, kaum nasionalis sekuler dan golongan Kristen yang  telah berhasil menutup-nutupi, menyimpangkan, dan memutarbalikkan fakta sejarah Indonesia, Allah yang Maha Kuasa telah menetapkan rencana lain. Jejak-jejak Syariat Islam dan Khilafah di Indonesia kian terungkap seiring dengan kembalinya kecintaan masyarakat Indonesia terhadap Syariat Islam serta pembelaan mereka terhadap Khilafah.
Kami persembahkan karya ini kepada bangsa yang pernah dimuliakan Allah SWT. Semoga Allah SWT membimbing kembali bangsa ini kepada kemuliaan Islam. Amin.

Bogor, 11 Februari 2007

Editor,

Lathifah Musa





















DAFTAR ISI

PENGANTAR ..............................................................................             2
PERMULAAN DAKWAH ISLAM KE INDONESIA ...............         7
Khilafah Islam Menjadi Negara Nomor Satu di Dunia ...........     7
Dakwah kepada Raja Srindravarman ......................................      8
Dakwah Islam di Peureulak ....................................................           9
Kesultanan Peureulak; Kesultanan Islam Pertama
di Nusantara  ........................................................................            9
SYARIAT ISLAM MULAI DITERAPKAN DI INDONESIA ..     10
MENJADI BAGIAN DARI KHILAFAH ISLAM .....................       11
Syarif Makkah  .........................................................................         11
Syarif Makkah Mengangkat Meurah Silu Menjadi Sultan ...... 11
Kesultanan Samudra-Pasai Darussalam ...................................   12
Dakwah Islam Besar-besaran dari Pasai ke Seluruh Nusantara 12
Target Politis ............................................................................           13
Dakwah Poros Khilafah ...........................................................        13
Dakwah Wali Songo di Pulau Jawa ........................................       15
Kesultanan Demak Berdiri ......................................................        16
Kesultanan Cirebon dan Kesultanan Banten ..........................    16
Dakwah Islam Tanpa Kekerasan ............................................      17
Majelis Syura Para Sultan .......................................................        17
BERDIRI KESULTANAN-KESULTANAN ISLAM DI NUSANTARA ............................................................................       18
Poros Kekuasaan Islam Nusantara ..........................................     23
PENERAPAN SYARIAT ISLAM DI INDONESIA SELAMA
10 ABAD LEBIH HINGGA 1904 M   ......................................         24
Penerimaan Ahlul Quwwah terhadap Ideologi Islam ..............   24
BIDANG PEMERINTAHAN  ...............................................          24
Kesultanan-Kesultanan Nusantara Setingkat Karesidenan .. 25
Lembaga Pembantu Sultan ..................................................       25
Kekeliruan Penerapan Sistem Putra Mahkota .....................    26
Kesalahan Pengangkatan Sultan Wanita ............................     26
BIDANG PERADILAN .........................................................           26
Pejabat Peradilan .................................................................         27
Kitab Undang-undang Peradilan .........................................       27
Lembaga Syaikhul Islam .....................................................        28
BIDANG EKONOMI  ...........................................................            28
Perdagangan Komoditas Primadona ..................................       28
Nusantara Mengalami Kemakmuran ..................................     29
Penggunaan Sistem Syarikah .............................................         30
Perdagangan Tingkat Kabupaten .......................................       31
Mata Uang ..........................................................................            31
Kepemilikan Tanah ............................................................          31
BIDANG BAHASA ..............................................................             31
BIDANG BUSANA ..............................................................             32
BIDANG PERIBADAHAN ...................................................           32
BIDANG PENDIDIKAN .......................................................           33
Pendidikan Dasar .................................................................         33
Pendidikan Menengah & Tinggi .........................................        33
Pesantren .............................................................................            34
Pengiriman Pelajar ke Pusat-pusat Ilmu .............................      34
BIDANG KESENIAN ............................................................           34
Seni Suara ...........................................................................            35
Kreasi Permainan Anak  .....................................................         35
Seni Pertunjukan, Musik & Ukir ........................................         35
Seni Tata Kota ....................................................................           36
Seni Arsitektur ....................................................................            37
Seni Sastra ..........................................................................            37
PENERIMAAN MASYARAKAT NUSANTARA TERHADAP ISLAM .......................................................................................           38
Syariat Islam Menyatukan Nusantara ....................................     38
Menjaga Kesatuan Negeri-negeri Islam .................................       38
PENUTUP .................................................................................              39
RUJUKAN .................................................................................              40

PERMULAAN DAKWAH ISLAM KE INDONESIA

Khilafah Islam Menjadi Negara Nomor Satu di Dunia
644 M
Pada tahun 23 H/ 644 M Islam yang terwujud dalam negara Khilafah menjadi negara nomor satu di dunia tanpa pesaing, setelah di masa pemerintahan Khalifah ’Umar bin Khaththab ra., Khilafah Islam berhasil membebaskan Persia, Mesir dan Syam dari cengkraman dua negara adidaya saat itu, yakni Romawi Bizantium dan Kisra Dinasti Sasan. Di masa pemerintahan Khalifah ’Utsman bin ’Affan ra. (23–35 H/ 644–656 M), ke arah timur wilayah kekuasaan Islam meluas hingga ke India. Pada masa inilah risalah Islam berhasil mencapai pusat Kekaisaran Cina, kawasan Kanton, Pulau Sumatera dan Kerajaan Kalingga di Jawa dibawa oleh utusan-utusan Khilafah Islam, baik oleh misi dakwah yang dipimpin Saad bin Abi Waqash ra. maupun misi dakwah yang dipimpin Muawiyah bin Abi Sufyan ra.
715 M
Pada masa pemerintahan Khalifah al-Walid bin ’Abdul Malik dari Bani Umayyah (715 M), wilayah Khilafah Islamiyah membentang sangat luas dari Punjab di India hingga Andalusia di Eropa.
717 M
Dan pada tahun 98 H/ 717 M Khilafah Islam yang dipimpin oleh Khalifah ‘Umar bin ‘Abdul ‘Aziz ra. berhasil menerapkan Syariat Islam dengan baik. Penerapan peradaban Islam yang dilakukan oleh Khilafah Islam ini memudahkan Muslim Arab, Persia dan India yang berdagang hingga ke Nusantara (Archipelago) mendakwahkan Islam ke penduduk nusantara, mulai dari aspek aqidah, ibadah, sistem ekonomi, sosial, peradilan hingga sistem pemerintahannya. Karena dakwah Islam yang paling efektif adalah dengan melihat langsung bagaimana syariat Islam diterapkan. Dari interaksi dakwah Islam yang terjadi di kalangan para pedagang inilah penduduk di nusantara mengenal Islam dan kemuliaan peradabannya.

Dakwah kepada Raja Srindravarman
718 M
Dakwah Islam yang bermula di kalangan pedagang ini akhirnya sampai ke telinga para raja Hindu dan Budha yang tersebar di Nusantara. Pada tahun 100 H (718 M) Raja Sriwijaya Jambi (Kerajaan Melayu) yang bernama Srindravarman mengirim surat kepada Khalifah ‘Umar bin ‘Abdul ‘Aziz dari Khilafah Bani Umayah meminta dikirimkan da`i yang bisa menjelaskan Islam kepadanya. Surat itu berbunyi: “Dari Raja di Raja yang adalah keturunan seribu raja, yang isterinya juga cucu seribu raja, yang di dalam kandang binatangnya terdapat seribu gajah, yang di wilayahnya terdapat dua sungai yang mengairi pohon gaharu, bumbu-bumbu wewangian, pala dan kapur barus yang semerbak wanginya hingga menjangkau jarak 12 mil, kepada Raja Arab yang tidak  menyekutukan tuhan-tuhan lain dengan Tuhan. Saya telah mengirimkan kepada anda hadiah, yang sebenarnya merupakan hadiah yang tak begitu banyak, tetapi sekedar tanda persahabatan. Saya ingin Anda mengirimkan kepada saya seseorang yang dapat mengajarkan Islam kepada saya dan menjelaskan kepada saya tentang hukum-hukumnya.”
Dua tahun kemudian, yakni tahun 720 M, Raja Srindravarman, yang semula Hindu, masuk Islam. Sriwijaya Jambi pun dikenal dengan nama Sribuza Islam. Sayang, pada tahun 730 M Sriwijaya Jambi ditawan oleh Sriwijaya Palembang yang masih menganut Budha.

Dakwah Islam di Peureulak
Pada masa Khalifah al-Ma`mun dari Bani Abbasiyah, tepatnya tahun 820 M setitik harapan muncul dari pesisir utara pulau Sumatera, di pusat perdagangan yang bernama Peureulak. Peureulak saat itu adalah tempat persinggahan para pedagang muslim Arab dan Persia. Di sana mereka mendakwahkan Islam ke penduduk Peureulak, menikah dengan  putri-putri Peureulak, sehingga lahirlah anak-anak muslim campuran darah Arab, Persia dan Peureulak. Islamisasi melalui jalur perdagangan dan pernikahan ini akhirnya menembus jajaran elite penguasa Peureulak.

Kesultanan Peureulak; Kesultanan Islam Pertama di Nusantara
Islam akhirnya membuat perubahan yang luar biasa bagi Peureulak dengan berdirinya Kesultanan Peureulak. Kesultanan Peureulak didirikan pada hari Rabu 1 Muharram tahun 225 H (839 M) dengan sultan pertamanya Sultan Alaiddin Sayid Maulana ‘Abdul ‘Aziz Shah. Kesultanan Peureulak beribukota di Bandar Peureulak yang berganti nama menjadi Bandar Khalifah. Saat itu Khilafah dipimpin oleh Khalifah al-Mu`tashim billah.

SYARIAT ISLAM MULAI DITERAPKAN
DI INDONESIA

839 M
Sejak Kesultanan Peureulak berdiri, Syariat Islam diterapkan di salah satu bagian Indonesia yang oleh Marcopolo disebut dengan nama The Law of Muhammad (Undang-undang Muhammad).
Sebagaimana Sribuza Islam, Kesultanan Peureulak ini pun diserang oleh Kerajaan Sriwijaya Budha pada tahun 986 M. Pada tahun 1006 M Sriwijaya Budha menarik pasukannya untuk menghadapi Kerajaan Darma Wangsa di Pulau Jawa.

Khilafah Abbasiyah Mengalami Kemunduran
Sementara itu, di kawasan Timur Tengah, setelah mengalami masa keemasannya, sejak Abad ke-4 H Khilafah Islamiyah yang diperintah Bani Abbasiyah mengalami kemunduran akibat melemahnya kemampuan berijtihad. Kemunduran ini terus berlangsung hingga terjadinya Perang Salib di akhir abad ke-11 M. Perancis yang mengambil alih kepemimpinan dunia bersama Inggris menganeksasi wilayah Syam.
Kemunduran ini membuat Khilafah Islamiyah tak berdaya ketika Pasukan Tartar yang dipimpin Hulaghu Khan dari Imperium Mongol menyerbu dan menghancurkan Baghdad, ibukota Daulah Khilafah Islamiyah saat itu, dan membunuh Khalifah al-Musta’shim billah dari Bani Abbasiyah pada tahun 1258 M.  Sejak itu kaum muslimin hidup tanpa khalifah.
Meski demikian, di sebelah barat kota Baghdad, kaum muslimin masih berada dalam naungan Kesultanan-kesultanan Islam. Di Anatolia ada Bani Saljuk Rum, di Syam hingga Mesir ada Bani Mamluk, dan di Hijaz berkuasa Syarif Makkah.

MENJADI BAGIAN DARI KHILAFAH ISLAM

Syarif Makkah
Syarif Makkah adalah penguasa Hijaz yang saat itu merupakan wilayah setingkat propinsi dari Khilafah Abbasiyah. Ketika Sultan Baybars al-Bandaqadari dari Kesultanan Mamluk membai’at al-Mustansir billah dari Bani Abbasiyah sebagai khalifah pada tanggal 13 Rajab tahun 659 H atau 1261 M, Syarif Makkah pun menggabungkan kembali wilayah Hijaz ke dalam kekuasaan Khilafah Abbasiyah ini.

Syarif Makkah Mengangkat Meurah Silu Menjadi Sultan
1261 M
Syarif Makkah juga yang mengirim misi dakwah yang berhasil mengislamkan Samudra-Pasai dan menjadikannya sebagai bagian dari Khilafah Islamiyah. Meurah Silu menjadi sultan di Kesultanan Samudra-Pasai dengan gelar Sultan Malikus Saleh. Sehingga sejak tahun 1261 M Kesultanan Samudra-Pasai menjadi bagian dari Khilafah Abbasiyah Mesir, di bawah kontrol Makkah atau Serambi Mekah. Dan memang begitulah seharusnya, setiap wilayah yang berhasil di-Islamkan secara sukarela dan penguasanya pun bersedia menerapkan Syariat Islam, maka wilayah tersebut wajib menggabungkan diri menjadi bagian dari Khilafah Islamiyah.

Kesultanan Samudra-Pasai Darussalam
Samudra-Pasai mengalami perubahan besar pada masa pemerintahan Meurah Silu. Awalnya kesultanan ini adalah Kerajaan Samudra dan Kerajaan Pasai yang pada tahun 433 H (1042 M) digabungkan menjadi Kerajaan Samudra-Pasai. Pada tahun 659 H (1261 M) Kerajaan yang terletak di pesisir timur laut Aceh ini diubah menjadi kesultanan oleh Meurah Silu dengan nama resmi Kesultanan Samudra-Pasai Darussalam. Meurah Silu menjadi sultan pertamanya dengan gelar Sultan Malikus Saleh. 
Tahun 1292 M Kesultanan Peureulak menggabungkan diri dengan Kesultanan Samudra-Pasai yang sedang tumbuh dan berkembang pesat, yakni

Dakwah Islam Besar-besaran dari Pasai ke Seluruh Nusantara
Sejak menjadi bagian dari Khilafah, Kesultanan Samudra-Pasai melesat menjadi pusat koordinasi dan pengkaderan dai yang akan dikirim ke seluruh penjuru Nusantara.
Dakwah Islam secara besar-besaran ke nusantara pun dimulai. Dari Pasai, dakwah Islam menyebar melalui dua jalur:
·   Jalur Malaka dan Jalur Giri di Gresik. Dari Malaka dakwah Islam bergerak ke Johor, Kedah, Trengganu, Pattani, Kelantan,  Campa, Brunai, Sulu, Mindanao dan Manila. Dari Johor dakwah menyebar ke Riau dan Siak. Dari Mindanao dakwah menyebar ke Sulawesi Utara.
·   Dari Giri dakwah Islam menyebar ke Jawa Tengah, Jawa Barat, Banten, Palembang, Tanjung Pura, Banjar, Sulawesi Selatan, dan Ternate. Dari Ternate menyebar ke Buton dan Sulawesi Tengah. Dan dari Sulawesi Selatan dakwah Islam menyebar ke Kutai di Kalimantan Timur dan Bima di Nusa Tenggara.

Target Politis
Misi dakwah Islam ini memiliki target politik yang jelas, yakni menyiapkan berdirinya kesultanan-kesultanan yang akan menerapkan syariat Islam dan menggabungkannya dengan Khilafah Islam yang saat itu diperintah oleh para khalifah dari Bani Abbasiyah.
Penyiapannya dilakukan melalui dua jalur. Jalur pertama, menyiapkan rakyat kerajaan dengan memunculkan kesadaran Islam pada diri mereka. Jalur kedua, menyiapkan ahlul quwwah (pemilik kekuatan riil) di kerajaan tersebut dengan mendakwahkan Islam kepada mereka dan membantu mereka dalam metode dan strategi agar mereka mampu menerapkan Syariat Islam dengan baik. Dalam sistem kerajaan Hindu-Budha, pemilik kekuatan riil adalah raja dan para pangeran, karena kekuatan militer berada langsung di bawah mereka.

Dakwah Poros Khilafah
Dakwah tidak lagi hanya dilakukan oleh para pedagang, tetapi dilakukan Daulah Khilafah Islamiyah yang didukung oleh kesultanan-kesultanan di seluruh penjuru wilayah Daulah Khilafah. Dukungan ini dilakukan dengan mengirimkan para ulama terkemukanya untuk diutus berdakwah ke nusantara. Poros Khilafah ini nampak jelas seperti dalam misi dakwah Islam ke Pulau Jawa.
1404 M
Pada tahun 808 H (1404 M) berangkatlah Sembilan da`i ulama dari berbagai tempat di wilayah daulah Khilafah atas sponsor Sultan Muhammad Jalabi dari Kesultanan Turki Utsmani ke tanah Jawa melalui Kesultanan Samudra Pasai. Mereka adalah Maulana Malik Ibrahim ahli tata pemerintahan negara dari Turki, Maulana Ishaq dari Samarqand yang dikenal dengan nama Syekh Awwalul Islam, Maulana Ahmad Jumadil Kubra dari Mesir, Maulana Muhammad al-Maghribi dari Maroko, Maulana Malik Israil dari Turki, Maulana Hasanuddin dari Palestina, Maulana Aliyuddin dari Palestina, Muhammad Maulana Ali Akbar dan Syekh Subakir dari Persia.
Sebelum ke tanah Jawa, umumnya mereka singgah dulu di Pasai. Adalah Sultan Zainal Abidin Bahiyan Syah penguasa Samudra-Pasai antara tahun 1349-1406 M yang mengantar Maulana Malik Ibrahim dan Maulana Ishaq ke Tanah Jawa.
Pada periode berikutnya, antara tahun 1421-1436 M datang tiga da’i ulama ke Jawa menggantikan da’i yang wafat. Mereka adalah Sayyid Ali Rahmatullah putra Syaikh Ibrahim dari Samarkand (yang dikenal dengan Ibrahim Asmarakandi) dari ibu Putri Raja Campa-Kamboja(Sunan Ampel), Sayyid Ja’far Shadiq dari Palestina(Sunan Kudus), dan Syarif Hidayatullah dari Palestina cucu Raja Siliwangi Pajajaran (Sunan Gunung Jati). Gelar sunan berasal dari kata susuhunan yang berarti “yang dijunjung tinggi” atau “panutan masyarakat setempat”.

Dakwah Wali Songo di Pulau Jawa
1436 M
Misi dakwah Islam ke Tanah Jawa ini terorganisir dengan rapi dengan pembagian tugas dan wilayah yang jelas. Pada sidang tahun 1436 M yang diadakan di Ampel, Surabaya, kelompok dakwah ini membagi tugas dakwah menjadi sembilan pengurus atau wali: Sunan Ampel (Raden Rahmat), Maulana Ishaq dan Maulana Jumadil Kubro mengurus Jawa Timur; Sunan Kudus, Syekh Subakir dan Maulana al-Maghribi mengurus Jawa Tengah; sedang Syarif Hidayatullah, Maulana Hasanuddin, dan Maulana Aliyuddin mengurus Jawa Barat.
Misi dakwah ini dikenal dengan nama misi dakwah Wali Songo dengan pucuk pimpinan dipegang Sunan Ampel yang memiliki akses paling dekat dan kuat dengan pemegang kekuasaan Kerajaan Majapahit saat itu, yakni sebagai keponakan Prabu Brawijaya Kertabumi.
Untuk menambah kekuatan SDM, masing-masing wali mencetak kader-kader da`i melalui proses belajar mengajar dalam halqah-halqah dan memberi tugas untuk berdakwah di daerah tertentu hingga satu orang da`i membawahi wilayah setingkat kecamatan. Sunan Ampel misalnya, yang bertanggung jawab untuk kawasan Surabaya hingga pusat Kerajaan Majapahit di Mojokerto mengkader Abu Hurairah menjadi Sunan Kapasan yang membawahi kecamatan Kapasan di Surabaya. Dengan cara ini jumlah da`i semakin banyak khususnya dari kalangan penduduk dan penguasa setempat.
Mulai tahun 1463 M makin banyak da’i ulama keturunan Jawa yang menggantikan da’i yang wafat atau pindah tugas. Mereka adalah Raden Paku (Sunan Giri) putra Maulana Ishaq dengan Dewi Sekardadu Putri Prabu Menak Sembuyu Raja Blambangan, Raden Said (Sunan Kalijaga) putra Adipati Wilatikta Bupati Tuban, Raden Makdum Ibrahim (Sunan Bonang) dan Raden Qasim (Sunan Drajad) dua putra Sunan Ampel dengan Dewi Condrowati putri Prabu Kertabumi Raja Majapahit. Banyaknya gelar Raden yang berasal dari kata Rahadian yang berarti Tuanku di kalangan para wali, menunjukkan bahwa dakwah Islam sudah terbina dengan subur di kalangan elit penguasa Kerajaan Majapahit, sehingga terbentuknya sebuah kesultanan tinggal tunggu waktu.

Kesultanan Demak Berdiri
1478 M
Akhirnya setelah berjuang 75 tahun, target politik dakwah Wali Songo pun tercapai. Berdirilah kesultanan Islam pertama di Jawa, yakni Kesultanan Demak pada tahun 1478 M dengan Raden Hasan al-Fattah sebagai sultan pertama. Raden Hasan yang bernama asli Jin Bun adalah putra Prabu Brawijaya Kertabhumi Raja Majapahit terakhir dengan Dewi Kian seorang putri Cina. Saat itu Majapahit telah runtuh akibat serangan Prabu Girindrawardana dari Kediri, sehingga sebagai Pangeran Majapahit, Raden Hasan adalah pemegang kekuasaan sah atas bekas wilayah Majapahit.

Kesultanan Cirebon dan Kesultanan Banten
Sementara itu Syarif Hidayatullah atau Sunan Gunung Jati, seorang wali yang bertanggung jawab untuk kawasan Jawa Barat, dengan strategi yang sangat jitu berhasil mendirikan Kesultanan Cirebon dan Kesultanan Banten, serta menjalin hubungan dengan Kekaisaran Cina. Syarif Hidayatullah adalah cucu Raja Siliwangi Raja Hindu terakhir di Pajajaran Bogor dari Putri Rarasantang yang menikah dengan Penguasa Mesir, Sultan Syarif Abdullah. Bersama pamannya, Pangeran Walangsungsang putra Raja Siliwangi, Syarif Hidayatullah mendirikan Kesultanan Cirebon. Selanjutnya beliau mendirikan Kesultanan Banten bersama Pangeran Sebakingking dan Fatahilah atau Fadhilah Khan (Wong Agung Pasai). Kesultanan Banten dipimpin oleh Pangeran Sebakingking yang bergelar Sultan Maulana Hasanuddin putra Syarif Hidayatullah dari Nyi Kawungen putri Adipati Banten. Sehingga dua kesultanan ini dipimpin oleh para ahlul quwwah yakni para pangeran dari bekas Kerajaan Pajajaran. Kerajaan Pajajaran sendiri kemudian berangsur redup dan akhirnya tergantikan oleh kekuasaan Islam.

Dakwah Islam Tanpa Kekerasan
Demikianlah, karena pertolongan Allah semata, dakwah Islam di tanah Jawa berlangsung dengan damai. Raja terakhir Majapahit, Raja Brawijaya Kertabhumi misalnya, setelah mendapat penjelasan dari Sunan Ampel dan Sunan Giri tentang Islam, dia berkata, “Maksud agama Islam dan Budha adalah sama, yang berbeda adalah cara ibadahnya. Karena itu saya tidak melarang rakyat saya memeluk agama baru ini, asal dilakukan dengan penuh kesadaran dan keyakinan, tanpa paksa. Adapun mengenai diri saya sendiri, mungkin kelak saya akan memeluknya...”.
Begitu pula Prabu Siliwangi, Raja Hindu terakhir Pajajaran. Walaupun keduanya menolak masuk Islam, namun mereka membiarkan rakyat, pangeran dan panglima perang mereka memeluk Islam. Kondisi inilah yang menyebabkan Islam masuk ke tanah Jawa dan pulau-pulau lain di nusantara dengan damai dan tidak memerlukan pengiriman pasukan Jihad. Subhanallah!

Majelis Syura Para Sultan
Fungsi para wali yang dipimpin Sunan Ampel yang setelah wafat dipegang oleh Sunan Giri ini, selain mengangkat para sultan di tanah Jawa, adalah layaknya Majelis Syura bagi sang Sultan. Para wali memberi arahan-arahan strategis kepada para sultan dalam melaksanakan syariat Islam, baik dalam  politik ketatanegaraan Islam, pengajaran Islam kepada warga negaranya, hubungan dengan Kesultanan Samudra-Pasai, maupun hubungan dengan negara tetangga mereka: Majapahit, Pajajaran, Blambangan, dan Kekaisaran Cina.

BERDIRI KESULTANAN-KESULTANAN ISLAM
DI NUSANTARA

Dakwah besar-besaran dan bersifat politis dari Samudra-Pasai Darussalam sang Serambi Mekkah ini berhasil memunculkan kesultanan-kesultanan Islam berikutnya di seluruh nusantara mulai abad ke-15 M hingga awal abad ke-19 M.

Kesultanan Brunai Darussalam
Pada tahun 1402 M berdiri Kesultanan Brunai Darussalam di Kalimantan Utara dengan Awang Alang Betatar, seorang Raja Brunai yang masuk Islam sebagai sultan pertamanya dengan gelar Sultan Muhammad Syah.

Kesultanan Malaka
Di Semenanjung Malaya pada tahun 1414 M berdiri Kesultanan Malaka. Kesultanan Islam ini dikonversi dari Kerajaan Hindu oleh Parameswara sang raja yang kemudian menjadi sultan pertamanya bergelar Sultan Megat Iskandar Syah.

Kesultanan Sulu
Di Kepulauan Sulu Pada tahun 1457 M berdiri Kesultanan Sulu dipimpin Paduka Maulana Mahasari Sharif Sultan Hashem Abu Bakr sebagai sultan pertamanya.

Kesultanan Demak
Di Jawa pada tahun 1478 M berdiri Kesultanan Demak dengan Pangeran Jin Bun sebagai sultan pertamanya dengan gelar Sultan Alam Akbar al-Fattah. Sementara di Gresik berdiri Kesultanan Giri dengan Raden Paku sebagai sultan pertama bergelar Prabu Satmata.

Kesultanan Pattani
Di Semenanjung Malaya pada tahun 1486 M berdiri Kesultanan Pattani dengan Phaya Tu Nakpa, seorang raja Budha yang masuk Islam, sebagai sultan pertama dengan gelar Sultan Islamil Syah.

Kesultanan Ternate
Di Kepulauan Maluku pada tahun 1486 M berdiri Kesultanan Ternate dengan Zainal Abidin sebagai sultan pertamanya. Selain Kesultanan Ternate di Kepulauan Maluku berdiri Kesultanan Tidore, Jailolo, dan Bacan.

Kesultanan Cirebon
Di akhir abad ke-15 M berdiri Kesultanan Cirebon di Jawa Barat dengan Syarif Hidayatullah sebagai sultan pertamanya.

Kesultanan Aceh Raya Darussalam
Di Aceh, pada tahun 1511, kesultanan-kesultanan menggabungkan diri menjadi Kesultanan Aceh Raya Darussalam yang ibukota di Banda Aceh Darussalam dipimpin oleh Sultan Ali Mughayat Syah sebagai sultan pertamanya.

Kesultanan Mindanao
Di Mindanao pada tahun 1515 M berdiri Kesultanan Mindanao dipimpin oleh Syarif Muhammad Kabongsua.

Bani Utsmaniyah Menyelamatkan Khilafah Islamiyah
1517 M
Sementara itu, di Mesir pada tahun 1517 M terjadi perpindahan tampuk kekhilafahan dari Khalifah al-Mutawakkil ’Alallaah III dari Bani Abbasiyah kepada Sultan Salim dari Turki Utsmani.  Khilafah Utsmaniyah yang menerapkan syari’at Islam dengan penuh keimanan membuat tubuh khilafah yang lemah sejak masa Perang Salib hingga masa Abbasiyah Mesir kini mulai menguat kembali.
Khilafah Utsmaniyah berhasil menyatukan hampir seluruh wilayah Islam di bawah kekuasaannya, membentang dari Afrika Utara hingga ke Nusantara. Khilafah kembali menjadi negara nomor satu di dunia tanpa pesaing.
Seiring dengan meningkatnya kekuatan Khilafah Islamiyah, kesultanan-kesultanan Islam di Nusantara pun mencapai masa keemasannya.  Terjadi pemantapan pada kesultanan-kesultanan yang telah ada, disamping berdiri kesultanan-kesultanan baru di wilayah-wilayah lain di nusantara setelah para ahlul quwwah-nya menerima Islam sebagai ideologi bagi kerajaannya.

Kesultanan Banten
Di ujung barat pulau Jawa pada tahun 1524 M berdiri Kesultanan Banten dengan Pangeran Sebakingking sebagai sultan pertamanya dengan gelar Sultan Maulana Hasanuddin.

Kesultanan Gorontalo
Di Sulawesi Utara pada tahun 1525 M berdiri Kesultanan Gorontalo dengan Sultan Amai sebagai sultan pertamanya.

Kesultanan Perak
Setelah Kesultanan Malaka dikuasai Portugis, pada tahun 1528 M di Semenanjung Malaya berdiri Kesultanan Perak dengan Sultan Muzaffar Syah sebagai sultan pertamanya.
Kesultanan Johor
Di ujung Semenanjung Malaya pada tahun 1530 M berdiri Kesultanan Johor dipimpin Sultan Alauddin Riayat Syah.

Kesultanan Arosbaya
Di Madura Barat pada tahun 1531 M berdiri Kesultanan Arosbaya dengan Pratanu sebagai sultan pertamanya dengan gelar Panembahan Lemah Dhuwur.

Kesultanan Buton
Di Sulawesi Tenggara pada tahun 1538 M berdiri Kesultanan Buton setelah Raja Buton ke-6  yakni Timbang Timbangan atau Halu Oleo memeluk agama Islam.

Kesultanan Palembang
Di Sumatera Selatan pada tahun 1539 M berdiri Kesultanan Palembang dipimpin Ki Gedeng Suro.

Kesultanan Kutai Kartanegara
Di Kalimantan Timur pada tahun 1545 M berdiri Kesultanan Kutai Kartanegara dengan Aji Raja Diistana atau Aji Dimakam sebagai sultan pertamanya dengan gelar Aji Raja Mahkota Mulia Islam.

Kesultanan Pajang
Di Kartosuro dekat Solo pada tahun 1546 M berdiri Kesultanan Pajang melanjutkan Kesultanan Demak dengan Joko Tingkir sebagai sultan pertamanya bergelar Sultan Hadiwijaya.

Kesultanan Pagaruyung
Di Sumatera Barat pada tahun 1560 M berdiri Kesultanan Pagaruyung dengan Sultan Alif sebagai sultan pertamanya.
Kesultanan Mataram
Dan setelah Kesultanan Pajang runtuh, berdiri Kesultanan Mataram pada tahun  1582 M dengan Sutawijaya Pangeran Ngabehi Lor Ing Pasar sebagai sultan dengan gelar Panembahan Senopati Ing Alogo Sayidin Panotogomo.

Kesultanan Gowa-Tallo
Di Sulawesi Selatan pada tahun 1593 M berdiri Kesultanan Gowa-Tallo dengan Raja Gowa ke-14 I-Mangerangi Daeng Manrabbia sebagai sultan dengan gelar Sultan Alauddin. Kesultanan ini beribukota di Makassar. Di samping Kesultanan Gowa-Tallo berdiri juga Kesultanan Bone, Luwu, Wajo dan Soppeng.

Kesultanan Banjar
Di Kalimantan Selatan pada tahun 1595 M berdiri Kesultanan Banjar. Kesultanan ini awalnya Kerajaan Daha. Setelah Pangeran Samudera naik tahta Kerajaan Daha diubah menjadi Kesultanan Banjar dengan Pangeran Samudera menjadi sultan pertamanya bergelar Maharaja Suryanullah atau Sultan Suriansyah.

Kesultanan Bima
Di Nusa Tenggara pada tahun 1620 M berdiri Kesultanan Bima dengan Ruma Ma Bata Wadu sebagai sultan pertamanya bergelar Sultan Abdul Kahir.

Kesultanan Deli
Di Sumatera Utara pada tahun 1669 M berdiri Kesultanan Deli yang dipimpin Tuanku Panglima Perunggit. Sultan Deli bergelar Sri Paduka Tuanku Sultan.

Kesultanan Johor-Riau
Di kawasan Riau pada tahun 1722 M berdiri Kesultanan Johor-Riau dengan Sultan Sulaiman Badrul Alam Syah sebagai sultan pertamanya,

Kesultanan Siak Sri Indrapura
Setahun kemudian, di pedalaman Riau berdiri Kesultanan Siak Sri Indrapura dengan Raja Kecil sebagai sultan pertama bergelar Sultan Abdul Jalil Rahmat Syah,

Kesultanan Pontianak
Dan di Kalimantan Barat pada tahun 1772 M berdiri Kesultanan Pontianak dengan Syarif Abdurrahman sebagai sultan pertamanya. Selain itu ada Kesultanan Sambas dan Kesultanan Mempawah.

Poros Kekuasaan Islam Nusantara
Setelah kesultanan-kesultanan Islam bermunculan di Nusantara, kesultanan-kesultanan tersebut dipimpin oleh tiga poros kekuasaan Islam di Nusantara.
Poros I. Poros Pasai yang mengontrol Aceh, Sumatera Utara, Sumatera Barat, Riau, Semenanjung Malaya, Pattani, Brunai.
Poros II.  Poros Giri yang mengontrol Jawa Timur, Jawa Tengah, Jawa Barat, Banten, Palembang, Nusa Tenggara, Tanjung Pura, Kalimantan Selatan, Kalimantan Timur dan Sulawesi Selatan.
Poros III.  Poros Ternate yang mengontrol Ternate, Tidore, Kepulauan Maluku, Papua, Buton, Sulawesi Tenggara, Sulawesi Utara, Sulu, Mindanao, dan Manila.
Dalam perjalanannya poros ini berpindah kepada tiga kesultanan terkemuka di nusantara, yakni:
1.       Kesultanan Aceh Darussalam di Sumatra
2.       Kesultanan Mataram di Jawa, dan
3.       Kesultanan Goa-Tallo di Sulawesi.

PENERAPAN SYARIAT ISLAM DI INDONESIA
SELAMA 10 ABAD LEBIH

PENERIMAAN AHLUL QUWWAH TERHADAP IDEOLOGI ISLAM
Pengaruh struktur politik kerajaan yang menjadikan raja sebagai ahlul quwwah (pemegang kekuasaan riil) sangat menentukan perkembangan kehidupan bernegara dan bermasyarakat. Konversi seorang raja yakni masuk Islamnya seorang raja, akan segera diikuti oleh pengikut-pengikutnya dan rakyat yang berada di bawah kekuasaan raja. Di Sulawesi Selatan misalnya, hanya dalam waktu sekitar 6 bulan sejak Raja Gowa-Tallo masuk Islam, hampir semua masyarakat Sulawesi Selatan beralih menjadi muslim.
Begitu pula penerimaan raja-raja di nusantara terhadap Islam sebagai sebuah ideologi akan mengubah kehidupan negara dan masyarakatnya menjadi negara dan masyarakat yang Islami. Semua segi kehidupan: pemerintahan, peradilan, ekonomi, peribadahan, pergaulan pria-wanita, pendidikan, pakaian, makanan, minuman, pengaturan warga negara, hubungan sesama kesultanan Islam serta hubungan dengan negara-negara tetangga pun dibangun berdasar aqidah dan syariat Islam.

BIDANG PEMERINTAHAN

Oleh raja-raja di Nusantara yang umumnya dulu beragama Hindu atau Budha, sistem pemerintahan kerajaan dikonversi menjadi sistem kesultanan. Sistem Kesultanan adalah sistem pemerintahan yang Islami. Kata “sultan” diambil dari bahasa Arab yakni “sulthaan” yang berarti penguasa.

Kesultanan-Kesultanan Nusantara Setingkat Karesidenan
Sultan-sultan di nusantara adalah para penguasa di bawah Syarif Makkah, gubernur Khilafah untuk kawasan Hijaz. Sehingga sultan-sultan di Nusantara posisinya setingkat residen atau ‘aamil yang membawahi kota-kota atau kabupaten-kabupaten. Penggunaan gelar Sultan dapat dibenarkan karena ‘aamil termasuk penguasa karena dia memiliki wewenang pemerintahan.
Para sultan di Indonesia mendapatkan pengesahan dari Syarif Makkah baik saat Khilafah Abbasiyah maupun Khilafah Turki Utsmani. Abdul Qadir dari Kesultanan Banten misalnya, tahun 1048 H (1638 M)  dianugerahi gelar Sultan Abulmafakir Mahmud Abdul Kadir oleh Syarif Zaid, Syarif Mekkah saat itu. Demikian pula Pangeran Rangsang dari Kesultanan Mataram memperoleh gelar Sultan dari Syarif Mekah tahun 1051 H (1641 M ) dengan gelar Sultan Abdullah Muhammad Maulana Matarami yang lebih dikenal dengan nama Sultan Agung. Pengangkatan para ‘aamil oleh wali (gubernur) bisa dibenarkan syara’  jika Khalifah memberikan wewenang kepada Syarif Makkah untuk mengangkat para ‘aamil dari Nusantara. 

Lembaga Pembantu Sultan
Perubahan sistem pemerintahan ini menjadi basis bagi diterapkannya politik dan budaya Islam dalam tata kehidupan bernegara dan bermasyarakat.
Lembaga-lembaga pembantu sultan di masing-masing kesultanan berbeda-berbeda tergantung kebijakan Sultan. Di Kesultanan Samudra Pasai sultan dibantu para wazir (untuk urusan pemerintahan), al-Kuttab (beberapa sekretaris), Syaikhul Islam (untuk urusan peradilan), Senapati (untuk urusan keamanan), dan Tuha Peut (untuk dewan penasehat). Di Kesultanan Mataram, Sultan dibantu Patih (untuk urusan pemerintahan), Penghulu (urusan peradilan), dan Adipati (yang bertanggung jawab menjaga keamanan).

Kekeliruan Penerapan Sistem Putra Mahkota
Namun demikian ada kekeliruan dalam penerapan syariat Islam di Indonesia, yakni diterapkannya sistem putra mahkota sebagai sultan pengganti. Jadilah seolah-olah jabatan sultan itu sebagai jabatan milik keluarga sultan. Padahal jabatan penguasa setingkat residen ini seharusnya didapatkan dari khalifah atau gubernur yang diberi wewenang untuk mengangkat sang residen.

Kesalahan Pengangkatan Sultan Wanita
Demikian pula halnya kesalahan penerapan lainnya, yaitu pengangkatan wanita sebagai sultanah. Dalam sistem pemerintahan Islam, jabatan ‘aamil adalah jabatan penguasa yang memiliki wewenang pemerintahan. Sehingga wanita tidak diperkenankan menjabatnya karena Rasulullah saw bersabda:
“Lan yufliha qaumun walau amrahum imra`ah”
[Tidak akan pernah beruntung suatu kaum yang menyerahkan urusan pemerintahan mereka kepada seorang perempuan] (H.R. al-Bukhari).
Dan benarlah sabda Rasulullah saw. Sejak muncul sultanah yakni Malikah Nihrasiyah Rawangsa Khadiyu pada tahun 801 H (1400 M) Kesultanan Samudra-Pasai mengalami kemunduran.
Begitu juga yang terjadi di Kesultanan Aceh. Sejak dipimpin oleh para sulthanah selama 49 tahun mulai tahun 1641 M yakni Sulthanah Sri Ratu Tajul Alam Safiatuddin, Sri Ratu Nurul Alam Naqiatuddin, Sri Ratu Zakiatuddin Inayat Syah, dan Sri Ratu Kemalat Syah, Kesultanan Aceh mengalami kemunduran drastis.

BIDANG PERADILAN

Dalam sistem peradilan diterapkan syari’at Islam untuk memecahkan masalah-masalah kehidupan masyarakat di nusantara. Perangkat hukum berupa pejabat peradilan dan kitab undang-undang disusun.

Pejabat Peradilan
Ada Qadhi sebagai pejabat peradilan. Di Kesultanan Aceh Darussalam ada lembaga Kadi yang dijabat oleh para ulama. Lembaga ini menyelenggarakan pengadilan hukum terhadap pelanggar hukum serta pembangkang kesultanan, terlibat dalam pemilihan sultan, dan sebagai penengah dalam konflik antara rakyat dengan sultan. Lembaga pengadilan ini dipimpin Maalikul Aadil yang bergelar Raja Indera Purba.
Di Kesultanan Banten lembaga Kadi bergelar Pakih Najmuddin. Di Kesultanan Gowa-Tallo disebut Daeng ta Kaliya, di Kesultanan Palembang disebut Pangeran Penghulu Nata Agama. Di Kesultanan Demak dan Kesultanan Mataram disebut Penghulu.

Kitab Undang-undang Peradilan
Di Kesultanan Malaka misalnya, ada Undang-undang Malaka yang disusun sekitar tahun 854 H/ 1450 M. Undang-undang ini berisi pengaturan kesultanan pada hampir semua aspek kehidupan dengan syariat Islam mulai hak dan kewajiban sultan dan lembaga-lembaga negara, pernikahan, hukum pidana, hingga seperangkat hukum ekonomi Islam.
Sultan Adam dari Kesultanan Banjar membuat kodifikasi hukum Islam yang dikenal dengan sebutan Undang-undang Sultan Adam.
Di Kesultanan Mataram, keputusan hukum Penghulu Keraton didasarkan pada sejumlah kitab fikih. Kitab-kitab itu seperti Kitab Mukaror (al-Muharrar), Kitab Makali (al-Mahalli), Kitab Tufah (Tuhfatul Muhtaaj), Kitab Patakulmungin (Fathul Mu’in), Kitab Patakulwahab (Fathul Wahhaab). Kitab-kitab ini sampai sekarang dapat ditemui di pesantren-pesantren di Jawa.  Pengadilan yang diselenggarakan Penghulu keraton ini dikenal dengan nama Pengadilan Serambi Masjid Agung.

Lembaga Syaikhul Islam
Ada juga lembaga Syaikhul Islam. Syaikhul Islam ini yang berperan sebagai Mufti atau pemberi fatwa hukum sekaligus penasehat sultan-sultan.  Untuk seluruh Melayu Nusantara dipegang oleh para ulama terkemuka dari Kesultanan Aceh Darussalam, seperti Hamzah Fansuri dan Nuruddin ar-Raniri. Sedang Mufti untuk Tanah Jawa dipegang Sedang Mufti untuk Tanah Jawa dipegang para Sunan Kesultanan Giri.

BIDANG EKONOMI

Perdagangan yang dihalalkan oleh Islam makin berkembang di bawah naungan kesultanan-kesultanan Islam. Nusantara beranjak menjadi wilayah yang makmur.
Pada akhir abad ke-13 M saja, Kesultanan Samudra-Pasai sudah menjadi kota pelabuhan internasional penting yang menghubungkan Laut Tengah, Asia Barat, Asia Tenggara dan Cina.

Perdagangan Komoditas Primadona
Kesultanan Malaka melanjutkannya pada abad ke-15 Malaka menjadi tempat bertemunya komoditas: emas, kapur barus, belerang, besi, batu akik, mutiara, merica atau lada, kayu cendana, buah asam, sutra, damar, madu, lilin, kapas, rotan, beras dan bahan pangan lainnya, budak, bahan tekstil india dan barang-barang dari Cina.
Dalam jaringan perdagangan internasional, rempah-rempah dari nusantara menjadi komoditas primadona, khususnya lada atau merica. Mahalnya harga rempah-rempah pada masa itu tercermin dari ungkapan orang Eropa: “Mahalnya seperti harga merica.”Perdagangan ini menguntungkan semua pihak, baik pemilik modal, pedagang, dan pekebun.
Di Maluku, Sultan mendorong perluasan penanaman tanaman cengkih, pala dan merica untuk memenuhi permintaan pasar dunia. Sultan Aceh memodali usaha perkebunan tanaman merica di pantai barat Sumatera, dan memetik keuntungannnya.
Khilafah Islamiyah membentuk jalur perdagangan yang dihubungkan dengan lautan yang terhubung dari Laut Merah, Samudera Hindia, Selat Malaka, hingga perairan Nusantara. Letak ibukota kesultanan-kesultanan yang sebagian besar berada di pesisir sangat tepat untuk peningkatan arus kegiatan ekonomi melalui maritim. Hasil-hasil agraris yang menjadi bahan komoditas perdagangan yang laku di pasaran perdagangan internasional diangkut ke kota-kota pelabuhan milik kesultanan, seperti Malaka, Aceh, Banten, Tuban, Gresik, Surabaya, Demak, Jepara, Palembang, Banjarmasin, Makassar, Ternate, Tidore, Ambon, dan Lombok.

Nusantara Mengalami Kemakmuran
Pada abad ke-16 dan 17 Kesultanan-kesultanan Islam menjadi kekuatan penting dalam perdagangan internasional. Anthony Reid, sejarawan Australia bahkan menyebutnya sebagai The Age of Commerce (abad perdagangan). Pada masa inilah nusantara mencapai kemakmuran. Kemakmuran ini memperkuat perkembangan Islam di Nusantara. Banyak muslim nusantara yang mengunjungi Mekah dan Madinah untuk menunaikan haji dan menuntut ilmu. Kemakmuran itu pula yang menarik para ulama dari seluruh wilayah Daulah Khilafah Islam, khususnya dari Jazirah Arab, Persia, dan India, untuk datang ke nusantara.

Penggunaan Sistem Syarikah
Untuk menjalankan perdagangan banyak dipakai sistem syarikah atau kemitraan dagang dan sistem mudharabah (kepemilikan modal).
Sistem syarikah banyak dilakukan oleh para saudagar muslim yang melakukan perdagangan dan pelayaran keliling bandar Malaka, Aceh, Banten, Demak, Jepara, Tuban, Gresik, Surabaya dan bandar lainnya. Bila lancar dan ramai keuntungan dagang bisa mencapai 200 %.
Adapun sistem mudharabah merupakan sistem kerjasama antara penanam modal atau pemilik barang dengan para saudagar yang pergi berlayar dan berkeliling menjajakan barang dagangannya ke tempat yang jauh. Para saudagar kemudian kembali untuk membagi keuntungan hasil penjualan dagangannya dengan pihak pemilik modal atau pemilik barangnya. Penanam modal atau pemilik barang umumnya para sultan dan keluarganya juga para bupati dan keluarganya. Sistem mudharabah ini sangat berperan dalam mendasari kemajuan usaha perdagangan masa itu.

Perdagangan Tingkat Kabupaten
Pada perdagangan tingkat kabupaten, kesultanan Islam melakukan pengaturan. Di Jawa, dilakukan rotasi kegiatan pasar menurut sistem kalender Jawa-Islam yang telah diperbarui oleh  Sultan Agung dari Kesultanan Mataram. Hitungan tahun Saka diubah ke tahun Hijriah, nama bulan dan hari bahasa Jawa Kuno diubah ke nama bulan dan hari dalam bahasa Arab, yakni Senen, Selasa, Rebo, Kemis, Jum’at, Sabtu dan Ahad / Minggu). Sehingga di kota-kota Pesisir kegiatan pasar berotasi dari Pasar Senen, Pasar Selasa, Pasar Rebo, Pasar Kemis, Pasar Jumat, Pasar Sabtu dan Pasar Minggu. Sementara di kabupaten-kabupaten pedalaman kegiatan pasar berotasi dari Pasar Legi, Pasar Paing, Pasar Pon, Pasar Wage, dan Pasar Kliwon yang dikenal sebagai hari pasaran atau pekenan.

Mata Uang
Mata uang yang sesuai dengan syariat Islam, yakni mata uang emas (dinar) dipakai di Nusantara. Sultan Malik az-Zahir yang berkuasa antara 1297-1326 mengeluarkan mata uang emas yang ditilik dari bentuk dan isinya menunjukkan hasil teknologi dan kebudayaan yang tinggi.

Kepemilikan Tanah
Dalam hal kepemilikan tanah, secara umum, dijumpai tiga jenis pemilikan tanah, yaitu: tanah milik kesultanan, tanah milik ulayat atau tanah desa (tanah komunal/ milik umum), dan tanah milik penduduk (milik individu).

BIDANG BAHASA

Bahasa dan aksara Arab yang menjadi bahasa resmi Khilafah Islam. ikut tersebar ke nusantara melalui jaringan komunikasi dan transportasi perdagangan maritim. Tulisan Arab berbahasa Melayu dan berbahasa Jawa yang dikenal dengan huruf Jawi juga dipergunakan dalam kitab-kitab kuning yang sampai sekarang bisa kita lihat di pesantren-pesantren. Angka Arab yang lebih praktis dan efisien daripada angka Romawi bahkan kita gunakan dalam kehidupan sehari-hari sampai sekarang.

BIDANG BUSANA

Sejak syariat Islam diterapkan oleh kesultanan-kesultanan di Nusantara, terjadi perubahan cara berpakaian. Laki-laki dan wanita yang semula hanya memakai cawat atau kain untuk menutupi alat kelaminnya, sehingga wanita terlihat dadanya, berubah menutupi aurat tubuhnya. Laki-laki memakai pakaian yang menutupi tubuhnya minimal mulai pusar hingga lutut baik dengan celana, sarung maupun kain tak berjahit. Para ulama, mubaligh, dan saudagar muslim bahkan memakai baju kutang, jubah dan surban.
Perempuan memakai pakaian yang menutupi tubuhnya dari pundak hingga kaki. Ketika perempuan keluar rumah, mereka menutupi kepala hingga dadanya dengan kerudung, baik yang dijahit ataupun tidak. Adapun mereka yang tidak berpakaian sempurna mereka umumnya para budak.

BIDANG PERIBADAHAN

Dalam hal peribadahan umat Islam, kesultanan-kesultanan Islam membangun masjid. Masjid ini biasanya disebut masjid agung, baik di ibukota kesultanan maupun ibukota kabupaten. Masjid-masjid ini masih bisa kita lihat sampai sekarang.
Adapun tempat peribadahan umat-umat selain Islam dibiarkan dan tidak dihancurkan, sehingga sampai sekarang, di bekas-bekas kerajaan Hindu dan Budha masih bisa kita lihat candi-candi Hindu dan candi-candi Budha.
Begitu pula Gereja dan bangunan milik zending. Jadi, sangat salah penggambaran bahwa ketika syariat Islam diterapkan, umat agama lain akan terpinggirkan apalagi dizalimi. Karena dalam sistem Islam, umat agama lain adalah warga negara, hak dan kewajibannya terhadap negara sama dengan umat Islam

BIDANG PENDIDIKAN

Ketika syariat Islam diterapkan di Nusantara, pendidikan menjadi perhatian utama para sultan. Di Kesultanan Samudra-Pasai, Sultan Malik Zahir mengadakan pengajaran hukum Islam di istana. Samudra-Pasai banyak dikunjungi para ulama dari seluruh penjuru wilayah Khilafah Islam menjadi pusat  pendidikan Islam terkemuka abad ke-14.

Pendidikan Dasar
Terjadi pemberantasan buta huruf. Di Kesultanan Aceh Darussalam, Sultan Iskandar Muda, menyelenggarakan Meunasah  sebuah lembaga pendidikan bagi anak-anak untuk belajar membaca al-Qur`an yang berbahasa Arab. Saat itu bahasa Arab menjadi bahasa Internasional terpenting. Tulisan Arab baik dengan bahasa Arab maupun bahasa Melayu dan Jawa sampai pertengahan abad ke-20 masih banyak dipakai kakek nenek kita.

Pendidikan Menengah & Tinggi
Pendidikan menengah dan tinggi diselenggarakan oleh kesultanan. Kesultanan Aceh Darussalam menyelenggarakan lembaga Rangkang untuk tingkat pendidikan menengah dan  Dayah untuk pendidikan keahlian, seperti dayah tafsir dan dayah fikih. Pada tahap awal tenaga pengajar didatangkan langsung dari Timur Tengah. Tahap berikutnya pengajaran dilakukan oleh para ulama Aceh sendiri yang bergelar Tengku. Model pendidikan ini selanjutnya menjadi dasar tumbuhnya lembaga pendidikan serupa di wilayah Melayu Nusantara lainnya, seperti lembaga pendidikan Surau di Minangkabau.

Pesantren
Di Jawa berkembang lembaga pendidikan pesantren yang dipimpin oleh seorang ulama. Sunan Ampel dengan Pesantren Ampel banyak menghasilkan para da’i yang mengawal tegaknya syariat Islam di tanah Jawa. Pengajaran Islam dimodifikasi agar mudah diingat, seperti ajaran Moh limo: moh madon (tidak mau berzina), moh maling (tidak mau mencuri), moh madat (tidak mau menghisap candu), moh main (tidak mau berjudi), moh ngombe (tidak mau minum arak).

Pengiriman Pelajar ke Pusat-pusat Ilmu
Kemakmuran yang tinggi menyebabkan banyak pelajar dikirim ke Timur Tengah untuk belajar ilmu-ilmu Islam. Di Timur tengah, para pelajar dari nusantara umumnya disebut ashab al-Jawiy. Saat itu nama Indonesia belum dikenal. Yang dikenal adalah Jawa. Kaum terpelajar nusantara tersebut menjadi para guru-guru besar yang mengajarkan ilmunya sepulangnya ke nusantara. Mereka itu antara lain: Syekh Abdur Rauf al-Jawi as-Singkili, Syekh Muhammad Nafis al-Banjari dan Syekh Muhammad Yusuf al-Makassari.

KESENIAN

Dalam hal seni, Syariah Islam membenarkan kreativitas selama tidak melanggar rambu-rambu syariat. Penerapan Syariah bahkan akan semakin indah dengan ide-ide kreatif para seniman. Maka tidaklah mengherankan para ulama masa itu sebagiannya adalah juga para seniman.

Seni Suara
Dalam bentuk seni suara, para wali di tanah Jawa menyelipkan ajaran Islam dalam berbagai tembang: Asmaradana dan Pocung kreasi Sunan Giri. Tembang Durma kreasi Sunan Bonang, Mijil dan Maskumambang kreasi Sunan Kudus. Sinom dan Kinanthi kreasi Sunan Muria, Gending Pangkur kreasi Sunan Drajat,  Dhandhang Gula Semarangan yag merupakan perpaduan melodi Arab dan Jawa adalah kreasi Sunan Kalijogo. Sunan Kalijogo juga mengkreasi tembang Lir Ilir.

Kreasi Permainan Anak
Sunan Giri mengkreasi permainan anak-anak: Jamuran, Cublak-cublak Suweng, Jithungan dan Delikan.

Seni Pertunjukan, Musik & Ukir
Dalam seni pertunjukan, Sunan Kalijogo mengkreasi pertunjukkan wayang kulit berikut alat musik pengiringnya yaitu gamelan. Gamelan terdiri dari kenong, saron, kempul, kendang dan genjur. Gong Sekaten yang nama aslinya Gong Syahadatain juga kreasi Sunan Kalijogo.
Begitu juga seni ukir bermotif dedaunan pada tempat menggantungkan gamelan adalah hasil kreasi beliau yang sebelumnya seni ukir Hindu dan Budha bermotifkan manusia atau binatang, bentuk seni ukir yang dilarang oleh Islam. Wayang yang sebelumnya berbentuk kertas bergambar manusia, diubah oleh Sunan Kalijogo dengan bentuk yang tidak mirip manusia, matanya satu dengan tubuhnya gepeng.
Dalang, yang berasal dari kata Dalla dalam bahasa Arab berarti menunjukkan, berfungsi sebagai orang yang menunjukkan syariat yang benar.

Seni Tata Kota
Seni tata ruang pusat kota dirancang oleh Sunan Kalijogo untuk selalu mengingatkan penguasa agar menerapkan syariat Islam.
Di pusat kota selalu ada: Alun-alun, Masjid Agung, satu atau dua pohon beringin, dan pendopo bupati. Terkadang ada pengadilan dan rumah tahanan. Alun-alun yang berasal dari bahasa Arab Allaun-allaun berarti berbagai macam warna dimaksudkan tempat berkumpulnya segenap rakyat dan penguasa. Beringin berasal dari bahasa Arab “Waraa’in” berarti orang-orang yang sangat berhati-hati. Dua Beringin perlambang dua pengayom rakyat yaitu al-Qur’an dan as-Sunnah. Masjid tempat para hamba Allah bersujud.
Pesan yang ingin disampaikan oleh Sunan Kalijaga adalah: “Hai penguasa, ayomilah rakyatmu semua dengan Kitabullah dan Sunnah Rasul secara hati-hati, karena kau akan dimintai pertanggungjawaban oleh Allah, jika kau lalai Pengadilan siap mengadilimu dan rumah tahanan menantimu. Jika kau lurus maka engkau memang hamba Allah.”
Tata pusat kota ini masih bisa dilihat hingga sekarang di sekitar alun-alun setiap ibukota kabupaten atau keraton kesultanan di Jawa dan Madura.
Di sekitar Masjid Agung biasanya ada kampung Kauman, tempat tinggal Penghulu Agung dan seluruh pegawai pengadilan hukum Islam.

Seni Arsitektur
Arsitektur Masjid banyak terpengaruh arsitektur Turki yang menggunakan kubah. Di atas kubah masjid ada lambang bulan bintang, sebuah lambang mencerminkan keterkaitan pembangun masjid tersebut dengan Khilafah Turki Utsmani yang benderanya berlambang bulan bintang.

Seni Sastra
Sementara muslim Melayu banyak menulis prosa berisi sejarah dalam bentuk hikayat. Seperti Hikayat Raja-raja Pasai, Sejarah Melayu atau Sulaalah as-Salaatiin (Keturunan Para Sultan) oleh Tun Sri Lanang bendahara Kesultanan Johor, Hikayat Aceh atau Hikayat Iskandar Muda, Bustaanus Salaatiin (Taman Para Sultan) karya ulama besar Nuruddin ar-Raniri abad ke-17, Silsilah Melayu dan Bugis dan Segala Raja-rajanya dan Tuhfah an-Naafis keduanya karya Raja Ali Haji, dan Hikayat Banjar.

PENERIMAAN MASYARAKAT NUSANTARA
TERHADAP ISLAM

Demikianlah, penerapan syariat Islam sebagai sebuah sistem ideologi ini memberikan pengaruh yang sangat besar pada masyarakat di Nusantara untuk menerima Islam sebagai agama mayoritas penduduknya. Bagi masyarakat nusantara, Islam sebagai agama dan politik adalah dua hal yang tidak bisa dipisahkan.

Syariat Islam Menyatukan Nusantara
Kesultanan-kesultanan Islam di Nusantara menganggap diri mereka menyatu dan menjadi bagian dari Daarul Islaam (wilayah Islam). Kerajaan-kerajaan di Nusantara yang bercorak Hindu dan Budha yang awalnya terpisah-pisah dan saling serang satu sama lain menjadi satu kesatuan di bawah kepemimpinan Khilafah Islam baik ketika masa Khilafah Abbasiyah maupun masa Khilafah Turki Utsmani yang berpusat di Istambul. Antar kesultanan terdapat hubungan dakwah, politik, ekonomi, militer, bahkan kekerabatan.

Menjaga Kesatuan Negeri-negeri Islam
Terhadap wilayah Islam yang diduduki negara kafir, kesultanan-kesultanan di Nusantara bekerja sama untuk mengusir penganeksasi agar negeri Islam tetap dalam satu kesatuan.
Ketika Malaka diduduki Kafir Portugis, Kesultanan Demak membantu Kesultanan Aceh berjihad membebaskan Malaka. Bahkan pada tahun 1615 dan 1629 Kekhilafahan Utsmani membantu Kesultanan Aceh membebaskan Malaka dari Portugis. Penyerangan tahun 1629 mengerahkan angkatan perang yang terdiri dari 20.000 orang.

PENUTUP

Demikianlah abad ke-16 dan 17 M adalah masa keemasan bagi Indonesia di bawah naungan syariat Islam yang diterapkan oleh kesultanan-kesultanan di nusantara. Ketika Syariat Islam diterapkan di Indonesia, Allah Swt Sang Pembuat Syariat melimpahkan barakah-Nya berupa kemuliaan, keadilan, kemakmuran, keamanan,dan ketentraman hidup bagi bangsa ini.
Sungguh, benarlah firman Allah:
“Sekiranya penduduk suatu negeri beriman dan bertaqwa niscaya kami bukakan atas mereka barakah dari langit dan bumi, akan tetapi mereka mendustakan (ayat-ayat Kami) itu maka Kami siksa mereka akibat perbuatan mereka sendiri.” (TQS. al-A’raaf: 96)
RUJUKAN

BOOKS:

Antara Fakta dan Khayal “Tuanku Rao”. Prof. Dr. HAMKA. 1974. Bulan Bintang. Jakarta.
Bangkit dan Runtuhnya Khilafah Utsmaniyah (Terj. Ad-Daulah al-Utsmaaniyyah ‘Awaamilu an-Nuhuudh wa Asbaabu as-Suquuth). Dr. Ali Muhammad Ash-Shalabi. 2003. Pustaka al-Kautsar. Jakarta.
Ensiklopedi Tematis Dunia Islam: Asia Tenggara. Prof. Dr. Taufik Abdullah (Ketua Dewan Editor). 2002. Ichtiar Baru Van Hoeve. Jakarta.
Hakekat Berpikir (Terj. At-Tafkir). Taqiyuddin an-Nabhani.  2006. Pustaka Thariqul Izzah. Bogor
Kerajaan Islam di Asia Tenggara. Abu Hafsin, Ph.D. dkk. 2002. Ichtiar Baru Van Hoeve. Jakarta.
Kisah dan Sejarah Walisongo. MB. Rahimsyah. Karya Agung. Surabaya.
Konsepsi Politik Hizbut Tahrir (Terj. Mafahim Siyasiyah li Hizbit Tahrir). 2006. Hizbut Tahrir Indonesia. Jakarta.
Malikussaleh; Mutiara Dari Pasai. A. Hadi Arifin. 2005. Penerbit Madani Press. Jakarta.
Membumikan Islam. (Kumpulan Makalah Seminar Nasional Pengembangan Kebudayaan Islam Kawasan Timur Indonesia). Prof. Dr. H. Nani Tuloli (Koord. Editor). 2004. Pusat Penelitian dan Pengkajian Badan Pengembangan Kebudayaan Islam Kawasan Timur Indoneisa Di Gorontalo. Gorontalo.
Menemukan Sejarah; Wacana Pergerakan Islam di Indonesia. 1998. Ahmad Mansur Suryanegara. Penerbit Mizan. Bandung.
Negara Islam (Terj. Ad-Daulah al-Islaamiyyah).  Taqiyuddin an-Nabhani. 2000. Pustaka Thariqul Izzah. Bogor.
Qoer`an Tardjamah Djawi. Moehammad Djauzie. 1935. Bandung.
Sejarah Emas Muslim Indonesia. 2003. Majalah Sabili No. 9 Th. X. Jakarta.
Sejarah Masuk dan Berkembangnya Islam di Indoensia (Kumpulan Prasaran pada Seminar di Aceh). Prof. A. Hasymy. 1993. PT. Al-Ma’arif. Bandung.
Sistem Pemerintahan Islam (Terj. Nizhaamul Hukmi fil Islam). Taqiyuddin an-Nabhani dan Abdul Qadim Zallum. 1997. Al-Izzah. Bangil.
Struktur Negara Khilafah; Pemerintahan dan Administrasi (Terj. Ajhizah ad-Daulah al-Khilafah). Hizbut Tahrir. 2006. Hizbut Tahrir Indonesia. Jakarta.
Sunan Kalijaga (Asal Usul Mesjid Agung Demak). Ade Soekirno, SSP. 1999. Grasindo. Jakarta.
Tarikh Khulafa`; Sejarah Penguasa Islam (Terj. Taarikh al-Khulafaa`u). Imam Suyuthi. 2001. Pustaka al-Kautsar.
Terjemah Hadits Shahih Al-Bukhari I-IV (Terj. Shahiih al-Bukhaariy). Imam Bukhari. 1992. Widjaya. Jakarta.
The Times Atlas of World History. Geoffrey Barraclough (Editor). 1988. Hammond Inc. Maplewood, New Jersey.
Wajah Dunia Islam Dari Dinasti Bani Umayyah Hingga Imperialisme Modern (Terj. Lahmatun min Tarikhid Da’wah; Asbabudh Dha’fi fil Ummatil Islamiyyah). Dr. Muhammad Sayyid al-Wakil. 1998. Pustaka al-Kautsar. Jakarta.

FILES:

Aceh// Borneo// Brawijaya// Cheng Ho// Dharmawangsa//
Fatahillah// Ferdinand Magellan//Gamelan// Goa// Gorontalo//
Hejaz// History of Jambi// History of Indonesia// Jawi Script//
Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat// Kerajaan Deli//
Keraton// Kesultanan Banten// Kesultanan Cirebon//
Kesultanan Deli// Kesultanan Kutai// Kesultanan Pajang//
Kesultanan Ternate// Kotagede Ibukota Kesultanan Mataram//
Kronika Islam di Indonesia//
Kutai Aji Raja Mahkota Muda Alam// Majapahit Empire// Malaysia// Malikul Salih// Marcopolo//
Maulana Malik Ibrahim// Medan// Melayu Kingdom//
‘Mengembalikan’ Islam di Keraton// Minangkabau//
Ming Dynasty// North Borneo// Parameswara (Sultan)//
Pattani Kingdom// Penanggalan Jawa// Pengislaman Bugis// Pontianak Kota// Islamisasi Dinasti Prabu Siliwangi//
Samudra-Pasai// Sejarah Madura// Sejarah Pagarruyung//
Sultan Ageng Tirtayasa// Sultan of Brunei// Sultanate of Demak// Sultanate of Johor// Sultanate of Maguindanao//
Sultanate of Malacca// Sultanate of Mataram// Sultanate of Sulu//
Sumatra// Southeast Asian History// Spice Islands// Srivijaya//
Sultanate// Sultan Agung of Mataram// Sunan Ampel//
Sunan Bonang// Sunan Drajat// Sunan Giri// Sunan Kalijaga// Surabaya// Sutawijaya// Syekh Yusuf// Tidore// Walisongo

Post @mukhlizhein