Rabu, 01 Oktober 2014

Paranoid Liberal

Membaca tulisan para liberalis akhir-akhir ini tentang pergerakan Islam, penulis dapat berkesimpulan bahwa banyak di antara mereka yang mengidap penyakit paranoid. Mungkin karena studi di barat yang cukup lama sehingga penularan paranoid itu terjadi. Indikator yang paling mudah kita lihat adalah tulisan mereka yang mengandung emosional yang sangat tinggi, terutama tulisannya tentang pergerakan Islam, sehingga menurunkan fungsi akal sehatnya.

Ketika akal sehat sudah menurun, maka sudah tidak mampu lagi mengikuti kaidah-kaidah metodologi ilmiah. Bicara ngejeblak, asal bunyi, kemudian muncul halusinasi, plus info sepihak yang didapat, menghasilkan analisa murahan, layaknya sampah yang harus dibuang. Walaupun ada di antara mereka lulusan luar negeri, tetapi cara berpikirnya mirip metodologi Warung Kopi.

Di antara metode Warung Kopi adalah ketidakmampuan berpikir mana yang bisa digeneralisir, mana yang kasus, mana yang mainstream mana yang sempalan. Semua dipukul rata untuk menilai setiap kelompok pergerakan. Mungkin karena kebenciannya terhadap pergerakan sudah mendarah daging, dan bertulang sumsum, atau sudah sampai ke ubun-ubun sehingga merusak cairan otaknya, sehingga penulis melihat seperti agak “rada-rada” . Mudah-mudahan tidak sampai kategori Idiot.

Pentingnya menjaga stabilitas emosional agar kita masih tetap mampu mengendalikan pikiran dan akal sehat. Eksploitasi perasaan yang berlebihan, termasuk Marah, benci serta rasa dendam, akan mengganggu kerja organ tubuh terutama kerja akan pikiran kita. Ketidakmampuan kerja akal sehat itu sangat dipengaruhi oleh dominasi perasaan. Seorang yang lagi panik akan bisa berbuat nekat apa saja karena sudah tidak sempat minta pertimbangan akal. Seorang yang lagi proses KPK, minta pertolongan bukan saja kepada pengacara, tapi lari ke berbagai dukun.

Begitu juga seorang liberalis mengamati fenomena permukaan gejolak sosial, tidak mau lagi berpikir lebih jauh untuk menggali ada apa dibalik gejolak tersebut, terus sudah kebelet ngomong, keluarlah statement-statement sampah. Bisa dianalogi seperti mendiagnosa penyakit, jika kita “batuk” itu bukan nama penyakit tetapi itu baru gejala. Penyakitnya mungkin radang tenggorokan, asma, paru-paru, TBC dan lain lain.

Menjadi persoalan adalah ketika kualitas masyarakat kita dan insan media juga sebagian masih sangat memprihatinkan, maka statement murahan itu sangat laku dijual, dan cukup berpengaruh di masyarakat awam. Justru di situlah hokinya kaum liberalis, dari situ mereka mendapatkan julukan kaum Intelektual, pemikir, pengamat dan sebagainya.

Analisa Kekerasan dan Pembunuhan

Inilah yang paling meragukan penulis, apakah kaum liberalis ini orang akademisi? Atau aktivis warung kopi? Kok dangkal banget ketika melihat fenomena kekerasan atau pembunuhan. Pertama, ketidakmampuan melihat sekian banyak fenomena kekerasan dan pembunuhan, seperti kacamata kuda yang bisa melihat sebagian kecil saja yang ada di depannya. Kedua, ketidakmampuan menelusuri siapa dalang yang sesungguhnya, apa motif dibaliknya, terus siapa yang paling dirugikan ketika ada ekspose pemberitaan kekerasan dan pembunuhan dan seterusnya.

Ketika Afghanistan diintervensi oleh Uni Soviet selama 9 tahun lamanya kemudian lanjutkan Amerika, belasan tahun dengan jumlah korban sipil sudah jutaan orang, tidak ada yang berani mengutuk, atau memberi label teroris, atau pura-pura tidak tahu, atau karena majikannya yang berbuat? Tetapi ketika Thaliban membalas serangan dengan jumlah korban satu dua orang itupun korbannya militer, maka dunia kebakaran jenggot, ramai-ramai angkat bicara.

Ketika Intervensi Amerika di Irak tahun 1992 delapan bulan pertama saja korban sudah lebih 700.000 orang kebanyakan sipil. Tidak disebut itu aksi pembunuhan, tidak pula disebut aksi penjajahan ketika minyak Irak dikuras. Sama ketika Rezim di Suriah membantai ribuan rakyatnya sendiri tidak ada yang bilang teroris, tetapi ketika ada 3 orang warga barat yang dibunuh, maka dunia kebakaran jenggot lagi.

Ketika bombardir Israel yang terakhir terhadap GAZA dengan korban lebih dari 2000 orang sipil banyak yang cicing wae. Tetapi ketika di Tel Aviv kena serangan roket mengakibatkan satu anak kecil meninggal geger lagi dunia.

Sekadar pertanyaan untuk kaum Liberalis, semoga bisa membuka mata hati mereka. Berikut ini adalah kasus-kasus dan berbagai motif dalam pembunuhan di masyarakat sebagai berikut:

Dalam diskusi di kantor PKBI Jateng Jl Jembawan Semarang, Ketua Perkumpulan Keluarga Berencana Indonesia (PKBI) Jawa Tengah dokter Hartono Hadisaputro SpOG menyatakan di Indonesia diperkirakan terdapat ” 2,5 juta kasus aborsi setiap tahunnya”. Artinya diperkirakan ada “6.944 s/d 7.000 wanita melakukan praktek aborsi dalam setiap harinya.”

Pertanyaannya adalah: “Apakah pembunuhan 2,5 juta bayi-bayi tak berdosa itu atas nama agama”?

Di samping kasus Pembunuhan model Aborsi; model minum Pil KB, atau menggunakan suntikan, pembunuhan janin karena malu akibat hamil di luar nikah, masih banyak lagi kasus-kasus pembunuhan sebagai berikut:

Pembunuhan karena perampokan, pencurian,
Pembunuhan karena tawuran dan perkelahian,
Pembunuhan karena rebutan lahan parkir atau karena Narkoba dan Miras,
Pembunuhan karena dendam cinta,dan cemburu,
Pembunuhan karena persaingan bisnis,
Pembunuhan karena menghilangkan, jejak,penghilangan barang bukti serta pelenyapan saksi,
Pembunuhan karena mempertahankan kekuasaan (contoh Kasus Rumania dan Tiananmen)
Pembunuhan karena rekayasa politik/permainan elit pusat pemerintahan, (berbagai kerusuhan di tempat kita, salah satu contohnya tokoh HAM, Munir),
Pembunuhan massal oleh negara karena merebut kekayaan dan minyak di Negara lain (Lihat sepak terjang Amerika dan Barat),
Pembunuhan massal karena etnik (lihat kasus Bosnia tahun 1995 dll), dan lain lain.
Jika kita lihat berita sehari-hari tentang kasus pembunuhan, manakah yang paling banyak model dan motif pembunuhan tersebut?? Pernahkah si “Liberalis Intelektual” itu membandingkan jumlahnya motif apa pembunuhan itu yang lebih banyak?

Masyarakat Heterogen, Majemuk, dan Pluralisme

Seperti anak-anak masih usia TK yang masih menonjol egoismenya seolah-olah hanya dia yang punya, hanya dia yang tahu. Orang-orang Pergerakan Islam dianggap orang yang tidak mengerti bahwa masyarakat kita adalah masyarakat yang Heterogen dan Majemuk. Lebih jauh lagi kadang sampai menuduh syariat Islam yang selalu dibenturkan dan dianggap tidak sesuai dengan masyarakat Heterogen dan Majemuk.

Sedemikian benci dan dendamnya kepada aktivis Pergerakan sampai tidak tahan lagi isi perutnya keluar melalu ucapan “Kaum Islamis di negeri ini patut bersyukur, karena kita tidak akan membunuh mereka. Di Mesir, mereka dibunuh dan dinistakan,”

Sedikit fakta sejarah berikut ini mudah-mudahan kita akan mendapatkan fakta-fakta sebaliknya. Bahwa Umat Islamlah yang paling banyak toleransi, mengalah serta paling mengerti masyarakat heterogen dan majemuk. Fakta-fakta itu sebagai berikut:

Penghapusan tujuh kata dalam piagam Jakarta, karena ada isu ancaman dari Indonesia timur akan memisahkan diri dari Indonesia. Hingga saat ini isu itu masih misterius siapa oknum yang mengancam itu. Umat Islam pun menerima.
Kalender Nasional dan Kalender Pendidikan memakai kalender Masehi (Nasrani), bukan kalender Islam (Hijriah) sehingga sangat susah dan ribet ketika menentukan libur Ramadhan dan libur hari raya… terutama mengatur liburan sekolah. Umat Islampun dapat menerima…
Hari libur pekanan hari Minggu (Nasrani), bukan hari besar Islam (Jum’at). Umat Islam mengalah….
Tahun Baru Imlek dan Tahun baru Masehi perayaannya jauh lebih besar dan lebih gebyar. dari pada tahun baru Islam. Lagi lagi umat Islam tidak iri hati.
Pemaksaan asas tunggal terhadap organisasi apapun pada zaman orde baru, yang direkayasa oleh kelompok “Tanah Abang” otak utamanya non Muslim, lagi lagi Umat Islam yang sangat terpojok pada saat itu, sampai terjadi meletusnya peristiwa Priok…. para aktivis HAM bungkam…. (karena korbannya Umat Islam)
Pemecatan Siswi jilbab, dari SLTA Negeri selama 12 Tahun, (1980 – 1992) sampai ribuan korban gadis berjilbab yang diusir dari sekolah negeri.. Orang-orang tidak ada yang teriak HAM, termasuk aktivis HAM-nya juga cicing wae.
Nama-nama gedung gedung besar terutama di Jakarta, sangat kental dengan bahasa yang digunakan oleh non Muslim. (Contoh: Arthaloka, Graha Purna Yudha, Manggala Wana Bhakti dsb)
Lebih dari 30 Jenis-jenis Penghargaan oleh Presiden, semuanya memakai nama-nama yang juga sangat kental dengan bahasa yang digunakan oleh non Muslim. Berikut ini sebagian contoh kecil penghargaan di Bidang Militer
Bintang Kartika Eka Paksi, terdiri atas tiga kelas: Bintang Kartika Eka Paksi Utama, Bintang Kartika Eka Paksi Pratama dan Bintang Kartika Eka Paksi Nararya
Bintang Swa Bhuwana Paksa, terdiri atas tiga kelas: Bintang Swa Bhuwana Paksa Utama, Bintang Swa Bhuwana Paksa Pratama, Bintang Swa Bhuwana Paksa Nararya
Dan umat Islam pun tidak pernah mempermasalahkannya juga.

Peristiwa Ambon yang sangat Jelas, pembantaian terhadap orang orang yang baru selesai shalat Ied, saksinya jutaan manusia, tetapi sampai di luar negeri beritanya jadi sangat terbalik, bahwa Umat Islamlah yang mendahului.. (sudah jatuh, tertimpa tangga pula) sudah dibantai, difitnah pula.
Komposisi PNS dan Pejabat berdasarkan Agama di beberapa provinsi tidak proporsional jika dibanding dengan komposisi agama penduduknya. Umat Islam tidak mempermasalahkan, walaupun secara proporsional dipertanyakan.
Bicara Korban Pembantaian apalagi, siapa yang banyak korban? Peristiwa Priok, Lampung, Cisendo, Woyla, Aceh, Ambon, dan lain lain… Memang Umat Islam sudah terbiasa jadi Korban Pembantaian.
Rekayasa global dengan Isu Terorisme, yang sangat memojokkan Umat Islam, sangat berimbas di Indonesia, sampai sampai pesantren pun ada yang menjadi korban tuduhan. Kita harus menerima bahwa seolah-olah kalau bicara terorisme itu konotasinya Umat Islam…. jadi Teroris sama dengan Umat Islam, begitulah berita.
Kesimpulannya, betapa baik hati dan tolerannya Umat Islam di Indonesia. Ternyata kaum Liberalis jongos Imperialis masih tidak puas juga. Sudah dikasih hati masih minta rempelo.

Isu Terorisme dan Kebodohan Liberalis

Dampak dari isu terorisme yang sudah pasti pertama dirugikan adalah Umat Islam, dan yang sangat diuntungkan negara-negara imperialis. Dimulai dari munculnya kecurigaan terhadap aktivitas keislaman, tuduhan-tuduhan irasional kepada sebagian umat Islam, pemblokiran berbagai rekening Bank Umat Islam yang tuduh secara serampangan, dan ini memang bagian dari target utama.

Terhentinya berbagai penyaluran dana pembangunan sarana ibadah dan bantuan kemanusiaan dari dermawan timur tengah ke negara-negara miskin. Mereka ketakutan dituduh menyuplai logistik teroris. Termasuk terhentinya berbagai bantuan terhadap bencana alam. Kalau pun masih bisa sekarang dengan birokrasi yang sangat sulit, atau hanya tinggal orang-orang yang masih berani saja, itupun dengan perjalanan yang rumit uang itu bisa sampai kepada yang berhak menerima.

Sementara pemerintah Indonesia tidak melihat peluang ini, orang-orang yang dermawan betul-betul ingin membangun masjid di Indonesia, karena di negara mereka sendiri sudah banyak masjid dan penduduknya sedikit.

Tidak ada kebijakan yang bisa menolong mempermudah orang-orang yang ingin investasi akhirat, padahal membawa devisa negara yang tidak sedikit. Lebih suka memfasilitas investor asing yang akan mengeruk kekayaan Indonesia. Atau karena takut sama majikan yang lagi membuat Isu terorisme tersebut.

Sebegitu bodohkan para aktivis Islam mau dijadikan permainan Isu terorisme?

Siapakah dibalik Isu terorisme? Siapakah yang terlibat di dalamnya? Siapakah orang yang bisa dijadikan jongos-jongos Imperialisme, untuk turut membantu membangun opini sekaligus memfitnah para aktivis? Jadi pertanyaannya kita balik, sebegitu bodohkah mereka sampai bisa-bisanya menuduh Aktivis seperti itu?

Pertanyaan Seputar ISIS

Kita menolak cara-cara kekerasan dan pemaksaan Ideologi dengan dengan alasan dan tujuan apapun. Tetapi kita dihadapkan dengan sekian banyak pertanyaan tentang ISIS, yang seharusnya bisa dijawab oleh para profesor Sosiologi, Psikologi Sosial, Sejarawan dan sejenisnya.

Kalaupun kejadian terakhir berupa pembunuhan terhadap warga asing kita sepakat itu adalah tindakan kejam dan sadis, pertanyaannya adalah mengapa mereka bisa sampai sesadis itu? Apa betul disebabkan oleh pemahaman keislaman mereka? bukan karena dendam? atau tidak ada hubungan dengan tragedi sebelumnya, kekejaman rezim Suriah Bashar al-Assad? Mengapa para pakar Ilmu Sosial diam? Atau mereka sudah menjadi bagian dari strategi global Imperialisme?

Mengapa para pakar itu pada sakit gigi ketika peristiwa-peristiwa pendahuluannya yang menjadi tragedi kemanusiaan luar biasa dilakukan oleh Rezim Suriah? Mengapa ketika terjadi pembantaian terhadap anak-anak dan wanita sampai ribuan mereka diam? Mengapa mereka tidak berani mengatakan itu teroris? Mengapa perkembangan ISIS begitu cepat,? Mengapa masyarakat Suriah dan Irak banyak menyambut ISIS? jawaban dari pertanyaan itu sangat berkaitan erat dengan berbagai peristiwa sejarah yang mendahuluinya sebelum ISIS muncul ke permukaan. Sekali lagi mengapa sebelumnya mereka diam?

Kalau ISIS yang membunuh 3 warga asing laki-laki dewasa, disebut teroris, lagi bagaimana dengan peristiwa-peristiwa sebelumnya pembantaian terhadap anak-anak dan wanita yang jumlahnya sampai ribuan? Bukankah lebih pantas disebut “Mbahnya Teroris”? lalu kenapa waktu itu si para pengamat dan pakar cicing wae…. Semoga kita masih memiliki satu pertanyaan lagi, “ Apakah pikiran saya masih sehat gak ya?”

Tidak ada komentar:

Posting Komentar