July 26th, 2014
by solihan
Saat majalah ini tiba di tangan Pembaca, negara ini mestinya telah punya calon presiden baru hasil Pilpres awal Juli lalu. Tinggal menunggu pelantikannya pada bulan Oktober nanti, diteruskan dengan penyusunan kabinet. Selanjutnya, business as usual, semua akan berjalan seperti biasa, tak akan ada perubahan yang berarti. Pasalnya, kedua capres memang sejak dari awal tak pernah berniat membuat langkah besar yang berbeda dengan apa yang sudah berjalan sebelumnya.
Puasa dan kenyataan bahwa Pilpres itu diselenggarakan pada bulan Ramadhan, juga tak akan memberikan implikasi apapun kepada presiden terpilih. Enggak ngaruh.
++++
Rakyat negeri ini, yang mayoritas Muslim, memang sudah sangat lama tak pernah menghubungkan Islam yang mereka peluk, juga ibadah yang dilakukan seperti shalat dan puasa, dengan segala hiruk-pikuk perubahan kepemimpinan di negeri ini baik di pusat maupun daerah. Seolah Islam dan semua ibadah itu hanya sekadar asesoris.
Semua tentu paham, puasa Ramadhan wajib dilakukan untuk meningkatkan takwa. Namun, apa pengaruh takwa dalam realitas kehidupan kita, khususnya menyangkut kepemimpinan, rasanya tak pernah dipikirkan secara sungguh-sungguh. Puasa ya puasa, shalat ya shalat, politik ya politik. Kampanye, pemilihan presiden, penyusunan kabinet, lalu kerja-kerja pemerintahan dan seterusnya berjalan begitu saja. Seolah bukan perkara yang penting untuk diperhatikan, apakah semua itu berjalan dalam kendali takwa atau tidak,
Padahal, kita adalah Muslim dalam seluruh urusan, kapan pun dan di manapun. Mestinya tidak boleh ada satu urusan pun yang lepas dari Islam kita. Apalagi semua yang dilakukan di dunia, termasuk jabatan yang diemban, akan dimintai pertanggungjawaban di Akhirat kelak. Karena itu mestinya harus diperhatikan apakah jabatan itu akan menjadi faktor pendukung atau justru penghambat perjalanan kita menuju keridhaan Allah dan surga-Nya.
Dalam nasihatnya kepada Abu Dzar ra. yang menginginkan jabatan tertentu, Rasulullah saw. bersabda, “Wahai Abu Dzar. Engkau ini lemah, sementara sesungguhnya jabatan itu amanah. Pada Hari Kiamat nanti ia akan berubah menjadi kehinaan dan penyesalan, kecuali bagi siapa yang mengambilnya dengan haq dan menunaikan apa yang dituntut oleh amanah itu.” (HR Muslim).
Dari nasihat itu kita mendapat satu poin utama, yakni adanya keterkaitan antara shalahiyah dan mas’uliyah. Bersama kepempim-pinan melekat shalahiyah (kewenangan). Karena banyak kewenangan pada seorang pemimpin itulah orang berebut untuk jadi pemimpin. Namun, ingatlah bahwa setelah shalahiyah itu ada mas’uliyah (pertanggung-jawaban) di Akhirat nanti. Karena itu amanah kepemimpi-nan itu harus ditunaikan dengan sebaik-baiknya, yakni dijalankan sesuai dengan dan demi tegaknya ketentuan Allah agar di Akhirat nanti jabatan itu tidak menjadi kehinaan (hizyun) dan penyesalan (nadamatun).
Perintah fahkum baynahum bi ma anzalLah, wa anihkum baynahum bi ma anzalLah, dan ayat sejenis di dalam al-Quran tak lain adalah perintah untuk menerapkan syariah Islam (ma anzalLah). Perintah tersebut utamanya tentu ditujukan kepada para pemimpin, khususnya kepala negara, karena dialah yang memiliki otoritas atau kewenangan paling tinggi. Kesungguhan kepala negara dalam menerapkan syariah Allah SWT akan menentukan keberhasilan kepemimpinannya itu.
Hanya dengan menjalankan syariah Islam, seorang pemimpin akan memberikan kebaikan bagi bangsa, rakyat dan negaranya. Di Akhirat pun nanti insya Allah ia akan selamat. Namun, bila ia berlaku sebaliknya, kerusakan (fasad)-lah yang ada, sebagaimana yang selama ini terjadi. Kemiskinan, kerusakan moral, korupsi, penindasan, ketidakadilan dan sebagainya adalah sebagian kerusakan yang timbul akibat syariah Allah SWT diabaikan. Di Akhirat nanti, jabatan dari seorang kepala negara yang khianat dan abai terhadap syariat, seperti nasihat Rasulullah saw., hanya akan menjadi kehinaan (hizyun) dan penyesalan (nadamatun).
Kesadaran akan adanya keterkaitan antara shalahiyah dan mas’uliyah itu kini tampaknya telah terabaikan dari kepemimpinan di negeri ini. Hasilnya, para pemimpin negeri ini menja-lankan kepemimpinan tanpa mengacu pada syariah-Nya. Jabatan itu pun justru digunakan untuk memperkaya diri dan kelompoknya dengan jalan korupsi, manipulasi dan berbagai mufakat jahat. Lihatlah, kini lebih dari 150 kepala daerah, termasuk 17 gubernur dari 33 gubernur yang ada di negeri ini, telah ditetap-kan sebagai tersangka korupsi, bahkan seba-giannya tengah menjalani hukuman penjara. Bagaimana kita bisa berharap negeri ini bakal bebas dari korupsi jika pemimpinnya korup?
Puasa Ramadhan yang dijalankan setiap tahun seperti tak punya efek apa-apa terhadap kepemimpinan negeri ini. Takwa, hikmah utama dari puasa, yang semestinya semakin memper-kuat rasa taat kita kepada Allah, dalam kenya-taannya hanya menjadi penghias bibir semata. Walhasil, perubahaan kepemimpinan yang ada juga tidak memberikan pengaruh positif terhadap perjalanan bangsa dan negara ini.
++++
Selama ini kita memang dibuat percaya begitu saja, seolah semua persoalan di negeri ini berpangkal pada individu yang disebut presiden. Dialah yang seolah bakal menentukan haru-birunya negeri ini. Karena itu penentuan siapa yang bakal menjadi presiden seperti ajang hidup dan mati negara ini. Yang menang merasa bakal menggenggam segalanya. Yang kalah merasa seolah kehilangan segalanya.
Rakyat negara ini jelas telah melupakan satu hal yang sangat penting, yakni di atas sistem seperti apa presiden nanti akan bekerja.
Oleh karena itu, semestinya kita tak boleh fokus hanya pada individu. Perubahan person kepala negara semestinya harus diikuti perubahan sistem, dari sistem sekular menuju sistem Islami. Kerusakan yang ditimbulkan oleh sistem politik demokrasi dan sistem ekonomi liberal semestinya menyadarkan kita bahwa sistem sekular memang harus segera dihentikan bila tidak ingin korban lebih banyak lagi berjatuhan. Gantinya tak lain adalah sistem Islam. Kesediaan untuk menerapkan sistem Islam (syariah dan khilafah) sesungguhnya adalah buah nyata dari takwa yang dihasilkan dari puasa kita. Bila tidak seperti itu, pantaslah kita curiga, jangan-jangan benar, persis seperti yang disinyalir oleh Rasulullah saw., kita tak mendapat apa-apa dari puasa kita. “Betapa banyak orang tidak mendapatkan apa-apa dari puasanya kecuali rasa lapar dan dahaga.” (HR Ahmad).
WalLahu’alam bi ash-shawab. []
-sumber.Hizbut Tahrir Indonesia
Tidak ada komentar:
Posting Komentar