Minggu, 27 Juli 2014

Mental Pecundang Sebagian Umat Muslim di Zaman Sekarang

Salah satu penyakit menonjol sebagian kaum Muslimin dewasa ini ialah terjangkiti Defeated Mentality (Mental Pecundang). Tidak sedikit saudara muslim kita yang malu menampilkan identitas ke-Islam-annya di tengah masyarakat. Ia sangat khawatir bila dirinya memperlihatkan segala sesuatu yang terkait dengan nilai-nilai Islam maka ia akan diejek, dipandang rendah, diasingkan, dikucilkan, ditolak bahkan dimusuhi. Inilah yang menyebabkan tidak sedikit pegawai kantoran yang membiarkan dirinya menunda bahkan meninggalkan sholat bila mendapati dirinya sedang “terjebak” di dalam suatu meeting panjang. Tidak sedikit muslimah yang ragu untuk berjilbab karena tidak siap menghadapi “komentar negatif” orang-orang di sekelilingnya. Dan banyak daftar contoh lainnya. Padahal menampilkan identitas Islam merupakan perintah Allah سبحانه و تعالى :

فَإِنْ تَوَلَّوْا فَقُولُوا اشْهَدُوا بِأَنَّا مُسْلِمُونَ

Jika mereka berpaling maka katakanlah kepada mereka: “Saksikanlah, bahwa kami adalah orang-orang yang berserah diri (kepada Allah).” (QS. Ali Imran [3] : 64)

Keberpalingan orang lain dari agama Allah سبحانه و تعالى tidak berarti kitapun harus ikut-ikutan berpaling darinya. Berjalanlah di tengah masyarakat dengan identitas Islam yang jelas terlihat. Sebab menampilkan identitas Islam merupakan bukti seorang muslim siap beribadah kepada Rabbnya dalam situasi dan kondisi apapun. Di manapun dan di hadapan siapapun. Memperlihatkan perilaku dan akhlak Islam merupakan bukti seorang muslim meyakini bahwa sosok Nabi Muhammad صلى الله عليه و سلم merupakan teladan utama bagi dirinya yang perlu ia contoh begaimanapun situasi dan kondisi yang melingkupi dirinya. Seorang muslim tidak dibenarkan membiarkan dirinya berperilaku laksana bunglon. Berubah warna menyesuaikan diri dengan warna di sekitar dirinya. Warna Islam harus menjadi warna seorang muslim betapapun ramainya aneka warna lainnya di sekitar dirinya. Muslim yang tidak konsisten menampilkan identitas Islamnya merupakan orang yang memiliki mentalitas pecundang. Ia telah kalah sebelum bertarung.

Apa sebenarnya yang menyebabkan banyak muslim dewasa ini ber-mental pecundang? Banyak sebabnya. Di antaranya ialah:
1. Tidak memiliki keyakinan yang mantap bahwa sesungguhnya Allah سبحانه و تعالى pasti menolong orang yang menolong (agama) Allah سبحانه و تعالى. Dia ragu apakah benar jika dirinya tampil dengan identitas Islam ia bakal ditolong Allah سبحانه و تعالى? Sehingga akhirnya dia menawar dalam hal ini. Dia mulai mencari identitas lain yang dia sangka jika ia tampilkan –baik bersama dengan identitas Islam maupun tidak- maka manusia di sekitar akan memberikan apresiasi kepada dirinya. Ia akan dianggap sebagai orang yang lebih “mudah diterima”. Padahal jelas Allah سبحانه و تعالى berfirman:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِنْ تَنْصُرُوا اللَّهَ يَنْصُرْكُمْ وَيُثَبِّتْ أَقْدَامَكُمْ

Hai orang-orang yang beriman, jika kamu menolong (agama) Allah, niscaya Dia akan menolongmu dan meneguhkan kedudukanmu. (QS. Muhammad [47] : 7)

2. Dia silau melihat kaum kafir yang Allah sedang berikan kesempatan memimpin dunia dewasa ini di zaman yang penuh fitnah (baca: ujian) bagi kaum yang beriman. Lalu dalam rangka supaya bisa segera menyaingi keberhasilan kaum kafir, maka diapun mengikuti jejak langkah, tabiat dan kebiasaan kaum kafir. Jika kaum kafir bisa meraih kemenangan tanpa menghiraukan keterlibatan agama dalam urusan kehidupan sosial, politik dan ekonomi, maka iapun menganggap bahwa hal itu juga bisa diraih oleh ummat Islam jika paham sekularisme turut dikembangkan di tengah kaum muslimin. Akhirnya ia beranggapan bahwa identitas berdasarkan kesamaan bangsa lebih dapat diandalkan daripada identitas berdasarkan kesamaan aqidah dan ketundukan kepada Allah, Rabb Pencipta, Pemilik, Pemelihara dan Penguasa alam raya. Paham nasionalisme yang merupakan ideologi produk manusia dipercaya dapat “lebih menjual” daripada ideologi dienullah (agama Allah) Al-Islam yang bersumber dari Allah سبحانه و تعالى . Alhasil keyakinan bahwa Allah سبحانه و تعالى merupakan sebab bersatunya hati manusia digantikan dengan man-made ideologies sebagai sebab persatuan dan kesatuan umat manusia. Padahal jelas Allah سبحانه و تعالى berfirman:

وَأَلَّفَ بَيْنَ قُلُوبِهِمْ لَوْ أَنْفَقْتَ مَا فِي الأرْضِ جَمِيعًامَا أَلَّفْتَ بَيْنَ قُلُوبِهِمْ وَلَكِنَّ اللَّهَ أَلَّفَ بَيْنَهُمْ

“Dan (Allah) Dialah Yang mempersatukan hati mereka (orang-orang yang beriman). Walaupun kamu membelanjakan semua (kekayaan) yang berada di bumi, niscaya kamu tidak dapat mempersatukan hati mereka, akan tetapi Allah telah mempersatukan hati mereka.” (QS. Al-Anfal [8] : 63)

3. Dia mudah terjebak oleh paham-paham sesat modern yang bertentangan dengan ajaran Islam. Sementara ada sebagian ummat Islam bahkan tokoh Islam yang justeru mendukung paham-paham tersebut. Dukungan yang diberikan kadang-kala dijabarkan dalam tulisan-tulisan yang berdalilkan ayat dan hadits pula. Di antaranya adalah seperti paham Pluralisme, Sekularisme, Humanisme serta Demokrasi. Memang harus diakui bahwa jika seorang muslim tidak memiliki ilmu yang cukup dan rajin membaca berbagai tulisan para ulama dan pemikir Islam yang kritis membedah kesesatan paham-paham tersebut, niscaya dia akan dengan mudah menelan berbagai pandangan yang mendukung dan menjustifikasi keabsahan paham-paham tadi. Sebab media yang pada umumnya sekuler lebih condong memuat pendapat yang sejalan dengannya. Hanya sedikit sekali media Islam yang cukup cerdas membongkar bahayanya paham-paham tadi. Karena disamping kecerdasan juga diperlukan keberanian untuk menentang arus yang mengkampanyekannya. Itulah rahasianya Allah سبحانه و تعالى memerintahkan ummat Islam agar tidak mudah ikut arus yang ramai.

وَإِنْ تُطِعْ أَكْثَرَ مَنْ فِي الأرْضِ يُضِلُّوكَ عَنْ سَبِيلِ اللَّهِ إِنْ يَتَّبِعُونَ إِلا الظَّنَّ وَإِنْ هُمْ إِلا يَخْرُصُونَ

“Dan jika kamu menuruti kebanyakan orang-orang yang di muka bumi ini, niscaya mereka akan menyesatkanmu dari jalan Allah. Mereka tidak lain hanyalah mengikuti persangkaan belaka, dan mereka tidak lain hanyalah berdusta (terhadap Allah).” (QS. Al-An’aam [6] : 116)

4. Dia tidak cukup sabar meniti jalan sulit dan mendaki sesuai sunnah (tradisi) cara berjuang Nabi Muhammad صلى الله عليه و سلم untuk meraih janji kemenangan agama Allah سبحانه و تعالى di dunia. Dia mengira bahwa jadwal kemenangan ummat Islam mesti ditentukan oleh perhitungan akal dirinya sendiri. Padahal segala sesuatu memiliki dan mengikuti sunnatullah. Akhirnya demi segera tercapainya kemenangan ia rela berjalan dan berjuang tidak lagi mencontoh sunnah Nabi Muhammad صلى الله عليه و سلم Mulailah dia memandang para mujahidin yang sejatinya berada di atas jalan Allah سبحانه و تعالى justeru sebagai kalangan yang bodoh, tidak progressif dan tidak realistis. Sedangkan para kolaborator (baca: para pengkhianat) justeru dipandangnya sebagai kalangan yang berpandangan luas, progressif dan realistis dalam berjuang. Mereka lupa bahwa kalah dan menang merupakan tabiat hidup di dunia. Tidak mungkin ummat Islam terus-menerus meraih kemenangan di dunia sebagaimana tidak mungkin kaum kafir pasti selalu mengalami kekalahan di dunia. Allah سبحانه و تعالى menggilir masa kejayaan dan kemenangan di antara ummat manusia. Ada masanya ummat Islam berjaya, ada masanya ummat Islam terpuruk. Ada masanya kaum kafir terpuruk, ada masanya mereka diizinkan Allah meraih kemenangan di dunia.

إِنْ يَمْسَسْكُمْ قَرْحٌ فَقَدْ مَسَّ الْقَوْمَ قَرْحٌ مِثْلُهُوَتِلْكَ الأيَّامُ نُدَاوِلُهَا بَيْنَ النَّاسِ وَلِيَعْلَمَ اللَّهُ الَّذِينَ آمَنُواوَيَتَّخِذَ مِنْكُمْ شُهَدَاءَ وَاللَّهُ لا يُحِبُّ الظَّالِمِينَ

“Jika kamu (pada perang Uhud) mendapat luka, maka sesungguhnya kaum (kafir) itu pun (pada perang Badar) mendapat luka yang serupa. Dan masa (kejayaan dan kehancuran) itu, Kami pergilirkan di antara manusia (agar mereka mendapat pelajaran); dan supaya Allah membedakan orang-orang yang beriman (dengan orang-orang kafir) dan supaya sebagian kamu dijadikan-Nya (gugur sebagai) syuhada. Dan Allah tidak menyukai orang-orang yang zalim.” (QS. Ali Imran [3] : 140)

Yang pasti, hanya kaum beriman sejati sajalah yang selamanya akan berjaya dan bahagia di akhirat. Dan hanya kaum kafirlah —beserta kaum munafiq yang berkolaborasi dengan mereka— yang selamanya bakal merugi dan menderita kekalahan sejati di akhirat kelak nanti.


Begitu kita menyadari bahwa secara konteks zaman kita ditaqdirkan Allah سبحانه و تعالى lahir ke dunia di era dimana giliran kekalahan sedang menimpa ummat Islam dan giliran kejayaan sedang Allah taqdirkan berada di tangan kaum kuffar, maka kita segera sadar bahwa ini merupakan era badai fitnah (baca: badai ujian). Dengan legowo kita harus mengakui bahwa ummat Islam dewasa ini sedang babak belur dan kaum kafir sedang berjaya secara duniawi. Tapi itu bukan alasan untuk kemudian kita meniti kehidupan di dunia ini dengan defeated mentality (mental pecundang). Ini sama sekali bukan alasan ummat Islam untuk meninggalkan jalan hidup Islam dan malah mengadopsi jalan hidup kaum kuffar.


وَلا تَهِنُوا وَلا تَحْزَنُوا وَأَنْتُمُ الأعْلَوْنَ إِنْ كُنْتُمْ مُؤْمِنِينَ

“Janganlah kamu bersikap lemah, dan janganlah (pula) kamu bersedih hati, padahal kamulah orang-orang yang paling tinggi (derajatnya), jika kamu orang-orang yang beriman.” (QS. Ali Imran [3] : 139)

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بَدَأَ الْإِسْلَامُ غَرِيبًا وَسَيَعُودُ كَمَا بَدَأَ غَرِيبًا فَطُوبَى لِلْغُرَبَاءِ

Dari Abu Hurairah dia berkata, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: ‘Islam muncul dalam keadaan asing, dan ia akan kembali dalam keadaan asing,maka beruntunglah orang-orang yang terasing’.” (HR. Muslim No. 208)

Sumber: eramuslim

Waspada Akan Bahaya Zaman Dajjal

  Zaman yang sedang kita jalani dewasa ini merupakan zaman sarat fitnah. Banyak pesan Nabi Muhammad shollallahu ’alaih wa sallam mengenai fitnah di akhir zaman yang sangat cocok menggambarkan zaman yang sedang kita lalui saat ini. Inilah zaman ketika giliran kemenangan di dunia bukan berada di pihak ummat Islam. Ini merupakan zaman di mana Allah subhaanahu wa ta’aala menguji orang-orang beriman. Siapa di antara mereka yang mengekor kepada orang-orang kafir, siapa di antara mereka yang emas imannya dan bahkan rela berjihad di jalan Allah subhaanahu wa ta’aala hingga meraih kemuliaan mati syahid. 
إِنْ يَمْسَسْكُمْ قَرْحٌ فَقَدْ مَسَّ الْقَوْمَ قَرْحٌ مِثْلُهُ وَتِلْكَ الْأَيَّامُ نُدَاوِلُهَا بَيْنَ النَّاسِ وَلِيَعْلَمَ اللَّهُ الَّذِينَ آَمَنُوا وَيَتَّخِذَ مِنْكُمْ شُهَدَاءَ وَاللَّهُ لَا يُحِبُّ الظَّالِمِينَ

”Jika kamu (pada perang Uhud) mendapat luka, maka sesungguhnya kaum (kafir) itupun (pada perang Badar) mendapat luka yang serupa. Dan masa (kejayaan dan kehancuran) itu, Kami pergilirkan di antara manusia (agar mereka mendapat pelajaran); dan supaya Allah membedakan orang-orang yang beriman (dengan orang-orang kafir) dan supaya sebagian kamu dijadikan-Nya (gugur sebagai) syuhada. Dan Allah tidak menyukai orang-orang yang zalim.” (QS Ali Imran 140)

Dalam ayat di atas Allah subhaanahu wa ta’aala menegaskan bahwa adakalanya ummat Islam memperoleh kemenangan dalam medan peperangan namun adakalanya kaum musyrikin-kuffar yang menang. Ini merupakan perkara biasa dalam kehidupan di dunia yang fana. Dunia merupakan tempat di mana segala keadaan berubah silih berganti, tidak ada yang tetap dan langgeng. Kadang manusia menang, kadang kalah. Kadang lapang, kadang sempit. Susah-senang, sehat-sakit, kaya-miskin, terang-gelap, siang-malam, berjaya-terpuruk semuanya silih berganti dan selalu bergiliran. Itulah dunia. Berbeda dengan di akhirat nanti. Manusia hanya punya satu dari dua pilihan keadaan. Pertama, ia mungkin hidup abadi dalam kesenangan hakiki di dalam surga Allah subhaanahu wa ta’aala. Atau sebaliknya, hidup kekal dalam penderitaan sejati di neraka Allah subhaanahu wa ta’aala.

Sedemikian kelamnya zaman yang sedang kita jalani dewasa ini sehingga seorang Ulama Pakistan yang sempat tinggal lama di Amerika menyebutnya sebagai A Godless Civilization (Peradaban Yang Tidak Bertuhan). Ahmad Thompson, seorang penulis Muslim berkebangsaan Inggris menyebutnya sebagai Sistem Dajjal. Ia mengatakan bahwa sejak runtuhnya Khilafah Islam terakhir -sekitar 80-an tahun yang lalu- dunia didominasi oleh pihak kuffar. Perjalanan ummat manusia semakin menjauh dari nilai-nilai kenabian, ajaran Islam. Berbagai sisi kehidupan diarahkan oleh nilai-nilai kekufuran sehingga kondisinya saat ini sudah sangat kondusif untuk kedatangan fitnah paling dahsyat, yakni fitnah Dajjal.

Semenjak runtuhnya kekhalifahan terakhir, ummat Islam menjadi laksana anak-anak ayam kehilangan induk. Masing-masing negeri kaum Muslimin mendirikan karakter kebangsaannya sendiri-sendiri seraya meninggalkan dan menanggalkan ikatan aqidah serta akhlak Islam sebagai identitas utama bangsa. Akhirnya tidak terelakkan bahwa ummat Islam yang jumlahnya di seantero dunia mencapai bilangan satu setengah miliar lebih, tidak memiliki kewibawaan karena mereka terpecah-belah tidak bersatu sebagai suatu blok kekuataan yang tunggal dan mandiri. Nabi Muhammad shallallahu ’alaih wa sallam sudah mensinyalir bahwa akan muncul babak keempat perjalanan ummat Islam, yakni kepemimpinan para Mulkan Jabriyyan (Raja-raja yang memaksakan kehendak). Inilah babak yang sedang dilalui ummat dewasa ini.

Jangankan kaum muslimin memimpin dunia, bahkan mereka menjadi ummat yang diarahkan (baca: dieksploitasi) oleh ummat lainnya. Inilah babak paling kelam dalam sejarah Islam. Allah subhaanahu wa ta’aala gilir kepemimpinan dunia dari kaum mukminin kepada kaum kafirin. Inilah zaman kita sekarang. We are living in the darkest ages of the Islamic history. Dunia menjadi morat-marit sarat fitnah. Nilai-nilai jahiliyah modern mendominasi kehidupan. Para penguasa mengatur masyarakat bukan dengan bimbingan wahyu Ilahi, melainkan dengan hawa nafsu pribadi dan kelompok. Pada babak inilah tegaknya sistem Dajjal. Berbagai lini kehidupan ummat manusia diatur dengan Dajjalic values (nilai-nilai Dajjal). Segenap urusan dunia dikelola dengan nilai-nilai materialisme-liberalisme-sekularisme, baik politik, sosial, ekonomi, budaya, medis, pertahanan-keamanan, militer bahkan keagamaan. Masyarakat kian dijauhkan dari pola hidup berdasarkan manhaj Kenabian.

Dalam bidang politik, ummat dipaksa mengikuti budaya -tanpa rasa malu dan rasa takut kepada Allah subhaanahu wa ta’aala- di mana seorang manusia menawarkan dirinya menjadi pemimpin, bahkan dengan over-confident mengkampanyekan dirinya agar dipilih masyarakat. Sambil menebar setumpuk janji kepada rakyat. Padahal Rasulullah shollallahu ’alaih wa sallam bersabda:

يَا عَبْدَ الرَّحْمَنِ لَا تَسْأَلْ الْإِمَارَةَ فَإِنَّكَ إِنْ أُعْطِيتَهَا عَنْ مَسْأَلَةٍ أُكِلْتَ إِلَيْهَا وَإِنْ أُعْطِيتَهَا عَنْ غَيْرِ مَسْأَلَةٍ أُعِنْتَ عَلَيْهَا

”Hai Abdurrahman, janganlah kamu meminta pangkat kedudukan! Apabila kamu diberi karena memintanya, maka hal itu akan menjadi suatu beban berat bagimu. Lain halnya apabila kamu diberi tanpa adanya permintaan darimu, maka kamu akan ditolong.” (HR Muslim 9/343)

Sementara itu, di bidang ekonomi dan keuangan ummat dipaksa tunduk pada tiga pilar setan, yaitu Bunga Bank (baca: Riba), Uang Fiat (baca: uang kertas) dan Money Creation yaitu sistem yang memberi kekuasaan pada bank untuk melakukan proses penciptaan uang. Padahal Islam memiliki konsep yang sangat baku tentang uang dan segala bentuk transaksi yang melibatkan uang. Bukan hanya sebatas teori tetapi blue print keuangan Islam memang pernah diwujudkan dalam bentuk nyata sejak masa awal ke-Khalifahan Islam dan terbukti hasilnya berupa kemakmuran bagi seluruh rakyat. Itulah yang diisyaratkan dalam Al-Qur’an sebagai dhzahab (emas) dan fidhdhoh (perak) dan secara empiris berupa dinar dan dirham. Suatu jenis mata uang yang memiliki nilai intrinsik serta aman dari inflasi.

Di bidang hukum, ummat dipaksa tunduk pada nilai-nilai legal dan illegal (baca: halal dan haram) berdasarkan hawa nafsu para pembuat hukum. Kita bisa menyaksikan suatu saat perilaku homoseksual dan lesbianisme dicap illegal-haram namun pada lain waktu dianggap legal-halal. Padahal Allah berfirman: ”Barangsiapa yang tidak berhukum menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang kafir.” (QS Al-Maidah 44). Bahkan sistem Dajjal mencap kebanyakan orang-orang beriman pejuang tegaknya agama Allah subhaanahu wa ta’aala sebagai teroris, namun menempatkan para kriminal pelanggar berat HAM sebagai pimpinan negara-negara maju.

Di bidang pertahanan keamanan, ummat dipaksa tunduk pada konsep ashobiyyah (fanatisme kelompok). Angkatan militer berbagai negara dewasa ini dibentuk untuk mempertahankan spirit right or wrong is my country. Hampir tidak ada angkatan militer di zaman sekarang yang dibentuk dengan cita-cita menegakkan kalimat Allah atau mati syahid, kecuali misalnya hanya segelintir saja, seperti Hamas di Palestina, atau ISIS di Irak dan Suriah. Kebanyakan prajurit militer modern menjadi budak jalur komandonya. Mereka tidak pernah dibina untuk menjadi hamba Allah sejati. Allah subhaanahu wa ta’aala berfirman: ”Sesungguhnya Allah telah membeli dari orang-orang mukmin diri dan harta mereka dengan memberikan surga untuk mereka. mereka berperang pada jalan Allah; lalu mereka membunuh atau terbunuh. (Itu telah menjadi) janji yang benar dari Allah di dalam Taurat, Injil dan Al-Quran” (QS At-Taubah 111)

Sedangkan seni dan budaya telah menjadi industri syahwat. Sangat langka dijumpai produk di bidang ini yang bila dinikmati membawa manusia menjadi lebih dekat dan mengingat Allah Yang Maha Indah. Hampir semua film, tontonan, nyanyian, tarian maupun novel menyeret manusia kepada pemuasan syahwat semata tanpa memandang halal-haramnya.

Sungguh, nilai-nilai Dajjal (Dajjalic Values) telah mendominasi segenap lini kehidupan ummat manusia dewasa ini. Sangat boleh jadi kedatangan Dajjal sudah sangat dekat. Sistem Dajjal telah memperoleh kekuasaan yang cukup di seluruh dunia, sehingga begitu si Dajjal dikenali dan diakui, Dajjal (makhluk bermata satu) bisa langsung dinobatkan sebagai pimpinan yang dinanti-nanti sebagaimana diisyaratkan dalam the great seal yang tergambar di lembar uang satu dollar Amerika Serikat. Sekaranglah saatnya kita bersikap dan memilih.

Apakah kita mau mengikuti genderang tarian mengawetkan babak keempat Sistem Dajjal ini? Ataukah kita secara aktif mempersiapkan diri menyongsong babak kelima, yakni babak Khilafatun ‘ala Minhaj An-Nubuwwah (kekhalifahan mengikuti pola Kenabian) sebagaimana disinyalir Nabi Muhammad shollallahu ’alaih wa sallam bakal menjadi babak lanjutan setelah babak penuh fitnah ini berlalu?

Sumber: eramuslim

Presiden Baru, Harapan Baru ?

July 26th, 2014
by solihan

Saat majalah ini tiba di tangan Pembaca, negara ini mestinya telah punya calon presiden baru hasil Pilpres awal Juli lalu. Tinggal menunggu pelantikannya pada bulan Oktober nanti, diteruskan dengan penyusunan kabinet. Selanjutnya, business as usual, semua akan berjalan seperti biasa, tak akan ada perubahan yang berarti. Pasalnya, kedua capres memang sejak dari awal tak pernah berniat membuat langkah besar yang berbeda dengan apa yang sudah berjalan sebelumnya.

Puasa dan kenyataan bahwa Pilpres itu diselenggarakan pada bulan Ramadhan, juga tak akan memberikan implikasi apapun kepada presiden terpilih. Enggak ngaruh.

++++

Rakyat negeri ini, yang mayoritas Muslim, memang sudah sangat lama tak pernah menghubungkan Islam yang mereka peluk, juga ibadah yang dilakukan seperti shalat dan puasa, dengan segala hiruk-pikuk perubahan kepemimpinan di negeri ini baik di pusat maupun daerah. Seolah Islam dan semua ibadah itu hanya sekadar asesoris.

Semua tentu paham, puasa Ramadhan wajib dilakukan untuk meningkatkan takwa. Namun, apa pengaruh takwa dalam realitas kehidupan kita, khususnya menyangkut kepemimpinan, rasanya tak pernah dipikirkan secara sungguh-sungguh. Puasa ya puasa, shalat ya shalat, politik ya politik. Kampanye, pemilihan presiden, penyusunan kabinet, lalu kerja-kerja pemerintahan dan seterusnya berjalan begitu saja. Seolah bukan perkara yang penting untuk diperhatikan, apakah semua itu berjalan dalam kendali takwa atau tidak,

Padahal, kita adalah Muslim dalam seluruh urusan, kapan pun dan di manapun. Mestinya tidak boleh ada satu urusan pun yang lepas dari Islam kita. Apalagi semua yang dilakukan di dunia, termasuk jabatan yang diemban, akan dimintai pertanggungjawaban di Akhirat kelak. Karena itu mestinya harus diperhatikan apakah jabatan itu akan menjadi faktor pendukung atau justru penghambat perjalanan kita menuju keridhaan Allah dan surga-Nya.

Dalam nasihatnya kepada Abu Dzar ra. yang menginginkan jabatan tertentu, Rasulullah saw. bersabda, “Wahai Abu Dzar. Engkau ini lemah, sementara sesungguhnya jabatan itu amanah. Pada Hari Kiamat nanti ia akan berubah menjadi kehinaan dan penyesalan, kecuali bagi siapa yang mengambilnya dengan haq dan menunaikan apa yang dituntut oleh amanah itu.” (HR Muslim).

Dari nasihat itu kita mendapat satu poin utama, yakni adanya keterkaitan antara shalahiyah dan mas’uliyah. Bersama kepempim-pinan melekat shalahiyah (kewenangan). Karena banyak kewenangan pada seorang pemimpin itulah orang berebut untuk jadi pemimpin. Namun, ingatlah bahwa setelah shalahiyah itu ada mas’uliyah (pertanggung-jawaban) di Akhirat nanti. Karena itu amanah kepemimpi-nan itu harus ditunaikan dengan sebaik-baiknya, yakni dijalankan sesuai dengan dan demi tegaknya ketentuan Allah agar di Akhirat nanti jabatan itu tidak menjadi kehinaan (hizyun) dan penyesalan (nadamatun).

Perintah fahkum baynahum bi ma anzalLah, wa anihkum baynahum bi ma anzalLah, dan ayat sejenis di dalam al-Quran tak lain adalah perintah untuk menerapkan syariah Islam (ma anzalLah). Perintah tersebut utamanya tentu ditujukan kepada para pemimpin, khususnya kepala negara, karena dialah yang memiliki otoritas atau kewenangan paling tinggi. Kesungguhan kepala negara dalam menerapkan syariah Allah SWT akan menentukan keberhasilan kepemimpinannya itu.

Hanya dengan menjalankan syariah Islam, seorang pemimpin akan memberikan kebaikan bagi bangsa, rakyat dan negaranya. Di Akhirat pun nanti insya Allah ia akan selamat. Namun, bila ia berlaku sebaliknya, kerusakan (fasad)-lah yang ada, sebagaimana yang selama ini terjadi. Kemiskinan, kerusakan moral, korupsi, penindasan, ketidakadilan dan sebagainya adalah sebagian kerusakan yang timbul akibat syariah Allah SWT diabaikan. Di Akhirat nanti, jabatan dari seorang kepala negara yang khianat dan abai terhadap syariat, seperti nasihat Rasulullah saw., hanya akan menjadi kehinaan (hizyun) dan penyesalan (nadamatun).

Kesadaran akan adanya keterkaitan antara shalahiyah dan mas’uliyah itu kini tampaknya telah terabaikan dari kepemimpinan di negeri ini. Hasilnya, para pemimpin negeri ini menja-lankan kepemimpinan tanpa mengacu pada syariah-Nya. Jabatan itu pun justru digunakan untuk memperkaya diri dan kelompoknya dengan jalan korupsi, manipulasi dan berbagai mufakat jahat. Lihatlah, kini lebih dari 150 kepala daerah, termasuk 17 gubernur dari 33 gubernur yang ada di negeri ini, telah ditetap-kan sebagai tersangka korupsi, bahkan seba-giannya tengah menjalani hukuman penjara. Bagaimana kita bisa berharap negeri ini bakal bebas dari korupsi jika pemimpinnya korup?

Puasa Ramadhan yang dijalankan setiap tahun seperti tak punya efek apa-apa terhadap kepemimpinan negeri ini. Takwa, hikmah utama dari puasa, yang semestinya semakin memper-kuat rasa taat kita kepada Allah, dalam kenya-taannya hanya menjadi penghias bibir semata. Walhasil, perubahaan kepemimpinan yang ada juga tidak memberikan pengaruh positif terhadap perjalanan bangsa dan negara ini.

++++

Selama ini kita memang dibuat percaya begitu saja, seolah semua persoalan di negeri ini berpangkal pada individu yang disebut presiden. Dialah yang seolah bakal menentukan haru-birunya negeri ini. Karena itu penentuan siapa yang bakal menjadi presiden seperti ajang hidup dan mati negara ini. Yang menang merasa bakal menggenggam segalanya. Yang kalah merasa seolah kehilangan segalanya.

Rakyat negara ini jelas telah melupakan satu hal yang sangat penting, yakni di atas sistem seperti apa presiden nanti akan bekerja.

Oleh karena itu, semestinya kita tak boleh fokus hanya pada individu. Perubahan person kepala negara semestinya harus diikuti perubahan sistem, dari sistem sekular menuju sistem Islami. Kerusakan yang ditimbulkan oleh sistem politik demokrasi dan sistem ekonomi liberal semestinya menyadarkan kita bahwa sistem sekular memang harus segera dihentikan bila tidak ingin korban lebih banyak lagi berjatuhan. Gantinya tak lain adalah sistem Islam. Kesediaan untuk menerapkan sistem Islam (syariah dan khilafah) sesungguhnya adalah buah nyata dari takwa yang dihasilkan dari puasa kita. Bila tidak seperti itu, pantaslah kita curiga, jangan-jangan benar, persis seperti yang disinyalir oleh Rasulullah saw., kita tak mendapat apa-apa dari puasa kita. “Betapa banyak orang tidak mendapatkan apa-apa dari puasanya kecuali rasa lapar dan dahaga.” (HR Ahmad).

WalLahu’alam bi ash-shawab. []

-sumber.Hizbut Tahrir Indonesia

Pasca pilpres ,Indonesia akan Tetap Terpuruk

PARA Capres tebarkan berbagai janji untuk menyejahterakan rakyat. Namun hal tersebut menjadi paradoks ketika mereka malah berkomitmen akan tetap mempertahankan Sistem Politik Demokrasi dan Sistem Ekonomi Kapitalis-Liberal yang memberi celah bagi penguasaan kekayaan alam oleh segelintir Kapitalis.

Hal tersebut dinyatakan oleh Luthfi Afandi, Humas HTI Jawa Barat, yang menjadi narasumber dalam Halqah Islam dan Peradaban DPD II HTI Kabupaten Bandung di RM Kampung Sawah, Katapang, Kabupaten Bandung, pada Ahad lalu.

Dalam acara yang dihadiri sekitar seratus orang dari kalangan Tokoh, Ulama, Politisi dan perwakilan Ormas Islam se-Kabupaten Bandung tersebut, Luthfi menegaskan realitas yang terjadi dalam Pilpres yang baru digelar.

“Pilpres ini bukan menghadirkan pertarungan Islam vs bukan Islam, bukan pertarungan umat islam vs umat bukan islam. Hal yang ada adalah pertarungan politik dari dua pihak yang sama-sama tidak mendasarkan visinya islam, alias sekuler vs sekuler,” kata dia seperti rilis HTI Bandung kepada Islampos.

Menurutnya, selama ini umat dibodohi oleh Para Calon pemimpin yang berlaga. Umat didorong untuk mendukung Capres tertentu atas nama Islam, padahal Capres yang berlaga berjuang bukan untuk kepentingan Islam, namun kepentingan Para Kapitalis.

“Sebetulnya di belakang mereka adalah para Kapitalis Sejati. Di kubu Jokowi-JK ada Rusdi Kirana, Sofyan Wanandi, Jacob Soetoyo dan di kubu Prabowa-Hatta ada adiknya Hashim Djoyohadikusuma, Hari Tanoesodibjo dan Theo L. Sambuaga. Mereka adalah para kapitalis yang menjadi “investor” para capresnya,”ujarnya.

Karenanya, untuk melepaskan diri dari keterjajahan dan membangun kehidupan yang lebih sejahtera, umat tak boleh hanya memfokuskan diri pada perubahan individu pemimpinnya saja. Lebih dari, itu harus diperjuangkan pula perubahan sistem. Sistem Islam, yakni Khilafah, menurutnya memiliki kemampuan untuk mewujudkan perubahan dan kerahmatan tak hanya untuk Indonesia, tapi juga dunia.

Selain itu, dia juga menegaskan, bahwa HIP diselenggarakan dengan tujuan sebagai medium pengokohan visi dan misi perjuangan para Tokoh, Ulama, Asatidz, Birokrat dan Ormas-Ormas Islam untuk kembali kepada Syariah Islam dan menegakkan Khilafah, sebagai permasalahan utamanya. Di akhir acara para peserta melakukan seremonial di lanjut dengan buka bersama dengan pembicara dalam nuansa ukhuwah Islamiyyah.

[Pz/Islampos]

Redaktur: Pizaro