Rabu, 01 Juli 2015

HTI Menurut NU? Saudara Kembar Yang Memperjuangkan Kejayaan Islam



HTI Menurut NU? Saudara Kembar Yang Memperjuangkan Kejayaan Islam

Pembahasan  HTI VS NU , NU memandang HTI, HTI Menurut NU atau dikenal dengan Nahdhotul Ulama , NU kecam HTI, NU tolak HTI itu seringkali di tiupkan oleh oknum-oknum tertentu dengan motif pribadi dan dalam rangka memecahbelah ummat Islam, padahal faktanya hubungan kelembagaan NU dengan HTI via formal maupun informal di akar rumput sangat solid.

Beriktu tulisan ustadz Choirul Anam yang menjadi orang NU sejak kecil di kota Kudus Jawa Tengah.

Oleh : Ust. Choirul Anam

Terus terang saya bukan orang yang memiliki kredibilitas dalam membicarakan tema ini. Saya bukan apa-apa dan juga bukan siapa-siapa. Saya hanyalah seorang anak manusia, yang berusaha ikut serta dalam memperjuangkan agama Allah (li takuna kalimatullahi hiyal ulya). Saya hanyalah orang yang ingin turut serta memberi sumbangan dalam membangun peradaban Islam yang agung dan yang membawa keadilan sejati kepada umat manusia, meskipun sumbangan saya itu mungkin lebih kecil dari sebutir debu yang tak ada nilainya. Sekali lagi, saya bukan apa-apa dan tidak ada apa-apanya, dibandingkan dengan tokoh Islam salafus sholih, juga tokoh-tokoh Islam masa kini yang memperjuangkan Islam dengan ikhlas dan semangat, yaitu orang-orang sholih yang tergabung dalam barisan HT atau NU. Saya hanya bisa berdoa, semoga Allah membalas mereka semua dengan kebaikan yang melimpah dan menempatkan mereka bersama para syuhada dan sholihin.

Saya yakin, organisasi Islam yang lain juga melakukan perjuangan yang sama untuk tegaknya kalimatullah di muka bumi, meski terkadang dengan cara yang berbeda-beda. Hanya saja, saya tidak memiliki pengetahuan tentang organisasi selain HT dan NU, sehingga pembahasan di sini saya cukupkan hanya membahas HT dan NU. Saya khawatir terjadi fitnah, jika membahas mereka, padahal saya tidak tahu apa-apa tentang mereka.

Alhamdulillah, kebetulan dari kecil sampai dewasa, saya dididik orang tua dalam lingkungan yang Islamy khas NU. Saya disekolahkan orang tua di sekolah madrasah salafiyah NU. Saat kecil, saya sekolah di MI Hidayatul Mustafidin di desa saya, kalau sore sekolah diniyyah di kampung saya, dan kalau malam belajar al qur’an kepada bapak saya di musholla kecil depan rumah saya. Berikutnya, saya disekolahkan di MTS Miftahul Falah, yaitu sekolah salafiyah di kecamatan saya (Dawe, Kudus). Saya sempat dipondokkan di rumah seorang alim yang mukhlis, di sana saya belajar al qur’an dan menghafal kitab Alfiyah Ibnu Malik. Sayangnya saya tidak bertahan mondok lama-lama, karena masih belum paham dan masih suka main dengan anak-anak lain. Saat MTS ini, kalau malam saya diajak ngaji kitab Hikam dan kitab Iqodzul Himam oleh bapak saya di hadapan guru thariqoh yang sangat alim dan mukhlis, yaitu KH. Siddiq As Sholahy (beliau adalah murid Syeikh KH. Hasyim Asy’ari). Alhamdulillah, saya pernah diberi ijin menerjemahkan salah satu kitab beliau yang berjudul Kasyfus Syubhat dan saya selesaikan pada tahun 2003-an.

Selanjutnya, saya disekolahkan di MA Tasywiqut Thullab Salafiyyah (TBS) di dekat Menara Kudus. Di sana saya belajar fiqih, hadits, tafsir, tasawuf, dan lain-lain dari para kyai, terutama Syeikh KH. Ma’mun Ahmad. Beliau-beliau adalah orang yang alim, mukhlis dan mutafaqqih fid diin. Di TBS, saya dimudahkan Allah untuk menghafal kitab yang sangat idam-idamkan, yaitu kitab Alfiyah Ibnu Malik. Alhamdulillah, dari penjelasan para kyai dan asatidz, saya mendapat ilmu ke-Islaman khas ahlus sunnah wal jama’ah, dan saya sedikit memahami gagasan-gagasan perjuangan para ulama dan kyai yang tergabung dalam organisasi NU.

Setelah itu, atas izin Allah, saya diterima kuliah di Universitas Diponegoro (UNDIP) Semarang, jurusan Fisika. Memang terkesan agak aneh, waktu itu. Lulusan TBS masuk UNDIP. Saat itu, saya memilih Fisika dan Kimia, tetapi diterima di Fisika. Saya memilih Fisika atau Kimia karena ingin menjadi seorang ilmuan muslim karena terisnpirasi buku kecil tentang biografi ilmuan muslim. Saya sangat terinspirasi dengan salah satu ilmuan Muslim masa lalu, seorang ahli fisika yang luar biasa, yaitu Ibnu Haitsam. Jadi, bacaan kisah-kisah tokoh masa lalu, memang akan inspirasi kepada generasi muda. Alhamdulillah, saat menulis ini, saya sekarang tercatat sebagai mahasiswa program doktor di Fisika ITB. Saat ini, saya sedang melakukan riset yang mendalam tentang radiasi CT Scan. Terus terang, saya tidak menduga dan tidak membayangkan sama sekali bahwa saya akan sekolah program doktor di Jurusan Fisika ITB. Jadi, jika kita memiliki cita-cita, insya Allah, Allah akan merealisasikannya, meski pada awalnya terasa mustahil.

Di UNDIP ini saya mulai mengenal HT. Pada awalnya, saya sama sekali tidak tertarik dengan HT, karena saya hanya ingin fokus mempelajari Fisika, apalagi saya merasa sudah mengetahui Islam lebih banyak dibanding teman-teman saya yang lain. Apalagi, saat itu, teman yang mengenalkan HT, menurut saya, tidak meyakinkan. Bacaan al qur’annya tidak lancar, bahasa Arabnya parah, apalagi tsaqofah Islamnya (semoga Allah merahmati beliau karena telah mengenalkan saya dunia yang amat luas ini dan perjuangan yang amat mengesankan ini). Saya merasa lebih layak memberi penjelasan tentang Islam kepada dia, bukan diberi penjelasan oleh dia. Memang ada semacam keangkuhan dan kesombongan pada diri saya. Sampai akhirnya saya sadar bahwa saya tidak boleh bersikap seperti itu. Sombong itu tipuan setan, meski tidak terasa. Apa gunanya saya belajar tasawuf, kalau saya meremehkan orang, pikir saya waktu itu. Saya juga teringat dengan nasihat guru-guru saya dahulu “undzur ma qaal, wa la tandzur man qaal (lihatlah apa yang dikatakan, jangan melihat siapa yang mengatakan)”. Dengan sikap yang agak sedikit terbuka itu, saya mulai mengenal HT. Itu terjadi pada tahun 1999. Alhamdulillah, hingga saat ini saya masih mengkaji Islam bersama teman-teman HT, juga mengkaji kitab-kitab ulama yang mukhlishin wal mukhlashin. Semoga Allah memberikan keistiqomahan kepada saya dan teman-teman semua dalam berjuang bersama barisan orang-orang sholih tersebut.

Jadi, insya Allah, saya sedikit memiliki pengetahuan tentang NU dan HT dari sumber aslinya, meski tentu saja, saya bukan apa-apa, baik di NU, HT atau di mana pun juga. Saya hanya akan sedikit menceritakan apa yang saya rasakan. Jika ada teman-teman atau pihak-pihak yang merasa tersinggung atau kurang berkenan, saya mohon maaf, bukan maksud saya menyinggung mereka.
*****
Setelah belajar di NU dan HT, saya merasakan bahwa kedua merupakan saudara kembar dalam memperjuangkan tegaknya Islam di muka bumi. Keduanya hampir-hampir tidak ada bedanya, terutama tentang tsaqofah, kecuali hanya sedikit sekali perbedaan.

Keduanya didirikan oleh seorang alim yang mukhlis untuk memperjuangkan tegaknya Islam yang akan memancarkan rahmat bagi seluruh alam semesta. NU didirikan oleh Syeikh KH. Hasyim Asy’ari dan HT didirikan oleh Syeikh Taqiyuddin Annabhani. Syeikh Taqiyuddin sendiri adalah cucu dari gurunya Syeikh Hasyim Asy’ari, yaitu Syeikh Yusuf Annabhani. Warga Nahdliyyin yang sering membaca kitab, pasti sangat familier dengan Syeikh Yusuf Annabhani. Beliau adalah penulis kitab Jami’u Karamatil Auliya, kitab Al-anwar Almuhammadiyyah, dan sekitar 80 kitab lainnya. Jadi, jika ada warga Nahdliyyin yang tidak mengenal dua kitab tersebut, dia termasuk orang yang majhul.

NU memahami bahwa dasar hukum syariah adalah al qur’an, hadits, ijma’ dan qiyas. Demikian pula HT. Hanya HT menambahkan sedikit agar lebih clear, bahwa untuk ijma’ bukan sekedar ijma’, tetapi ijma’ shahabat, dan untuk qiyas bukan sekedar qiyas, tetapi qiyas syar’i, yaitu qiyas atas suatu nash yang ada illat syar’i-nya.

NU memahami bahwa semua sahabat Nabi adalah orang-orang adil. Mereka adalah orang-orang yang mulia. Kita sama sekali tidak boleh mencela mereka. Demikian pula HT, HT memandang bahwa para sahabat Nabi adalah orang-orang yang mulia. Kita sama sekali tidak boleh menghina dan mencaci mereka. Apalah artinya kita dibanding para sahabat Nabi. Perjuangan kita dan pemahaman kita tentang Islam tidak ada sak kuku irenge (maksudnya kita tidak ada apa-apanya dibanding mereka). Kita semua dapat ilmu tentang Islam, semuanya dari mereka.

NU memahami bahwa umat Islam itu ada dua, yaitu orang yang mampu memahami langsung dari sumber-sumber Islam, yang dinamakan dengan mujtahid, dan juga ada orang-orang yang tak mampu memahami Islam langsung dari sumber aslinya, yang dinamakan dengan muqollid. Seorang muqollid karena tidak memiliki ilmu, ia harus mengikuti orang yang memiliki ilmu, yaitu para mujtahid. HT juga memiliki pandangan yang sama. Baik NU maupun HT sama-sama sangat menghormati dan menjunjung tinggi para ulama, terutama para ulama mujtahid muthlaq, seperti Imam Syafi’i, Imam Hanafi, Imam Malik, Imam Hambali dan lain-lain. Kita sama sekali tidak boleh menghina dan mencela mereka. Apalah artinya kita dibanding keilmuan mereka. Kita ini seperti anak TK, sementara beliau-beliau itu seperti professor. Layakkah seorang anak TK menghina keilmuan professor?

NU sangat hati-hati dalam menilai seseorang, apalagi membid’ahkan atau mengkafirkan seseorang. Sebab jika kita keliru dalam mengkafirkan orang, maka tuduhan itu akan kembali kepada penuduhnya. HT juga demikian, sangat hati-hati. Baik NU maupun HT lebih suka menggunakan istilah umum, misalnya bahwa “zina itu dosa besar”, tetapi tidak berani mengatakan bahwa “si A itu mendapat dosa besar”, kecuali telah ada bukti yang kuat di hadapan Allah. Contoh yang lain, misalnya mengatakan bahwa “orang yang tidak berhukum dengan hukum Allah itu ada kalanya kafir, dzalim atau dzalim”. Tetapi, baik NU atau HT, tidak berani mengatakan bahwa “si A adalah kafir, dzalim atau dzalim”, kecuali telah terbukti dengan bukti yang kuat.

NU memandang bahwa Islam itu paripurna, mengatur masalah aqidah (tauhid), akhlaq, ibadah, mu’amalah, buyu’, hudud, hukmul aradli, jihad, dan lain sebagainya. Hal ini terdapat hampir di semua kitab ulama, dari kitab yang dipelajari level MTS seperti kitab Taqrib, level aliyah seperti kitab Fathul Mu’in, dan kitab-kitab besar lainnya seperti Al-Umm, Hasyiyah Al-Bajuri, dll. Demikian pula HT. HT memandang bahwa Islam itu ajaran yang paripurna dan lengkap. Tema-tema yang dipelajari di HT, juga sama dengan tema-tema yang dipelajari di pesantren NU. Bedanya, HT hanya menggunakan bahasa kontemporer dan membandingkan dengan keadaan dunia saat ini. Jadi tidak ada bedanya sama sekali, kecuali hanya penggunaan beberapa istilah baru.

NU memandang bahwa Islam wajib diterapkan. Saat itu kerahmatan Islam akan terwujud di muka bumi ini. Tetapi penerapan Islam harus benar, adil dan sesuai dengan metode syar’i karena semata-mata mengharap ridlo Allah. Islam tidak boleh diterapkan dengan kasar dan menyimpang dari metode syar’i-nya. Demikian pula HT. HT memandang bahwa islam harus diterapkan. Itulah, insya Allah, yang akan membawa kebahagian dan keadilan yang sejati bagi umat manusia.

NU memandang bahwa Islam itu ajaran untuk seluruh umat manusia, makanya NU tidak menganggap remeh dan rendah orang-orang yang memiliki kebangsaan berbeda. Hanya, saja karena Syeikh Hasyim Asy’ari orang Indonesia, maka beliau memulai dakwah dari Indonesia dan disebarkan ke seluruh dunia. Makanya lambang NU adalah bola dunia, sebuah lambang yang menggambarkan wawasan para pendirinya yang sangat global dan komprehensif. Demikian pula HT. HT memandang bahwa Islam itu juga untuk seluruh umat manusia. Tidak ada nasionalisme di dalam Islam. Kita memang memiliki kebangsaan yang berbeda, tetapi kita tidak boleh menilai sesorang atas dasar bangsanya, membela atau memusuhi seseorang atas dasar bangsanya. Itulah yang dinamakan nasionalisme. HT mulai dari Palestina, karena Syeikh Taqiyuddin adalah orang Palestina. Lalu dakwah HT menyebar ke seluruh dunia.

NU sangat menghormati para Khalifah Islam, apalagi Khulafaur Rosyidin. Bahkan NU membuat tradisi untuk mendoakan para Khalifah yang empat itu saat sholat tarawih, dengan mengucapkan “al khalifatul ula sayyuda Abu Bakar Ash Shiddiq radliyallau anhu...” dan seterusnya. Kitab-kitab yang dikaji warga Nahdliyyin membahas dengan detil tentang Khilafah, misalnya kitab Al-Ahkam Assulthaniyyah, dan kitab-kitab lainnya. NU menganggap para Khalifah, para sahabat Nabi lainnya, dan para ulama pasca beliau adalah salafus sholih yang harus kita jadikan teladan. Demikian pula HT. HT sangat menghormati para Khalifah, terutama Khulafaur Rosyidin. HT memahami bahwa sistem yang harus diterapkan saat ini haruslah sistem yang dahulu diterapkan oleh para salafus sholih kita, yaitu sistem Khilafah. HT bahkan membahas Khilafah secara khusus. Bedanya, HT membahas Khilafah dengan bahasa yang lebih kontemporer dan membandingkan dengan sistem-sistem yang saat ini diterapkan. Sehingga lebih clear.

NU memandang bahwa mendakwahkan Islam tidak mungkin sendirian dan terpisah-pisah, karena itu para ulama membentuk organisasi dakwah yang solid bernama NU. HT juga sama. HT memandang bahwa mendakwahkan Islam tidak mungkin sendirian. Rasulullah dalam berdakwah juga bersama para sahabatnya dalam suatu barisan yang sangat rapi. Tentu saja, organisasi di sini sama sekali tidak boleh dimaksudkan untuk ashobiyah atau berbangga-bangga, tetapi organisasi ini dimaksudkan agar dakwah dapat berjalan dengan solid. NU dan HT sama-sama menjauhi sikap ashobiyyah dalam segala hal. Sebab ashobiyyah itu dilarang Islam. Sebagai organisasi, tentu NU dan HT memiliki struktur organisasi dan mekanisme tertentu dalam pengaturan para anggotanya.

NU sangat konsisten dengan ajaran Islam, dan terbuka dengan berbagai hal baru yang tidak bertentangan dengan Islam. Inilah yang membuat NU dinamis. Kaidah masyhur di kalangan NU “al muhafadzatu bil qodimi ashsholih, wal akhdzu bil jadidi al-ashlah (menjaga hal lama yang baik, dan mengambil hal baru yang lebih baik). Baik atau sholih di sini dasarnya adalah Islam. Maka para ulama mengatakan “alhasan ma hassanahu asy-syar’u, wal qabih ma qobbahahu asy-syar’u (Baik adalah apa yang dianggap baik oleh syara’. Sedangkan buruk adalah apa yang dianggap buruk oleh syara’)”. Demikian pula HT. Hanya HT membahas dengan istilah yang berbeda yang dianggapnya lebih jelas, yaitu istilah hadloroh dan madaniyyah. HT akan istiqomah dengan hadloroh Islam, tetapi mengambil madaniyyah yang tidak bertentangan dengan Islam, seperti tenologi dll.

NU sangat mencintai orang-orang yang mencintai Allah dan rasul-Nya, dan membenci orang-orang yang membenci Allah dan Rasulnya. NU tidak pernah rela dengan penjajahan, karena penjajahan adalah pelanggaran terhadap Islam. Karena itu, ulama-ulama NU bangkit melawan penjajahan sesuai dengan kemampuan beliau waktu itu. Perjuangan melawan penjajhan adalah jihad fi sabilillah. HT juga sama. HT sangat mencintai orang-orang yang mencintai Allah, dimana pun mereka berada. Juga membenci orang-orang yang membenci Allah dan Rasul-Nya. HT sangat benci dengan penjajahan. HT sejak didirikan sampai sekarang, menentang bentuk penjajahan, baik secara militer, ekonomi dan politik atau teknik-teknik lain.

NU sangat concern mendidik umat dengan Islam, lewat berbagai forum dan media yang dimungkinkan. Lewat pesantren, musholla, masjid, majlis ta’lim, pengajian-pengajian rutin di kampung-kampung. Inilah yang dinamakan pendekatan kultural. HT juga sama. HT sangat concern mendidik umat dengan Islam, lewat berbagai sarana yang dimungkinkan. HT mengadakan halaqoh-halaqoh kecil, dan juga berbagai acara besar. Berbagai sarana yang dimungkinkan, HT dapat dipastikan menggunakannya untuk kepentingan mendidik umat. Inilah yang dinamakan HT sebagai pendekatan kultural (tatsqif). Hanya saja, HT berpandangan bahwa meskipun pendekatan kultural ini sangat penting dan harus digarap dengan serius, ada pendekatan lain yang tidak boleh dilupakan, yaitu pendekatan politis. Pendekatan politis ini hanya akan terwujud lewat institusi politik umat Islam yang bernama Khilafah. Ini pula yang disampaikan oleh Hujjatul Islam Imam Ghozali “Addiinu ussun was shulthanu harisun. Fa ma laa ussa lahu fmahduumun. Ma wa la harisa lahu fa dlo’i’un (Agama adalah pondisi, kekuasan politik adalah penjaganya. Sesuatu yang tak ada pondasinya akan roboh. Dan sesuatu yang tak ada penjaganya, maka akan terlantar)”. Sekedar contoh, masyarakat diharapkan tidak melakukan pencurian. Lalu mereka dididik tentang haramnya mencuri dan wajibnya bekerja. Ini adalah pendekatan kultural. Namun, tentu saja, dalam pendidikan tersebut, ada sebagain masyarakat yang karena suatu hal tetap melakukan penjurian. Maka dalam hal ini, pencuri tersebut harus diberi sangsi. Sehingga mereka dan yang lain jera melakukan pencurian. Inilah yang dinamakan pendekatan politis. Jadi pendekatan kultural dan politis itu sama-sama pentingnya. Hanya saja, saat pendekatan politis belum bisa dilakukan, maka yang dilakukan adalah pendekatan kultural.

NU sangat kritis dan tegas kepada penguasa yang tidak menjalankan amanah dan melanggar syariah. Bahkan beberapa ulama NU sampai pada sikap yang agak ekstrim. Misalnya kyai saya, Syeikh. KH. Ma’mun Ahmad, beliau mengharamkan ujian nasional kepada santri-santrinya. Menurut beliau, dalam Islam ujian bukan seperti itu. Itu meniru orang-orang kafir. Beliau tidak mau menerima bantuan dari pemerintah, hingga pondok dan rumah beliau masih sangat sederhana, hingga akhir hayat beliau. HT juga demikian. HT sangat tegas dan kritis kepada para pemimpin yang tidak menjalankan amanah dan melanggar hukum syariah. Bedanya, HT merinci beberapa hal sehingga lebih clear, sebagaimana dalam pembahasan hadloroh dan madaniyyah.

Dan lain sebagainya. Mungkin akan butuh beratus-ratus halaman, jika saya sebutkan semua. Singkatnya, NU dan HT itu layaknya saudara kembar dalam memperjuangkan diinullah, litakuuna hiyal ulya.

******

Itulah NU dan HT, sepanjang yang saya ketahui dan saya rasakan. NU dan HT itu sama. Sama-sama diniatkan untuk memperjuangkan Islam. Sama-sama didirikan dan diikuti oleh orang-orang yang mengharap ridlo Allah.

Ketika saya pertama berdiskusi dengan teman HT, memang itu belum tergambar dengan jelas di benak saya. Waktu itu, menurut saya, aktivis HT hanyalah orang-orang yang exited karena baru mengenal Islam. Ternyata saya salah besar. Aktivis HT itu sangat beragam dengan latar belakang keilmuan yang sangat beragam. Para aktivis HT juga terkadang ada yang belum memahami perjuangan secara utuh. Itu hal yang sangat wajar. Namun, setelah saya lama diskusi dengan beberapa aktivis HT dan membaca kitab-kitabnya, hal itu tergambar dengan sangat clear. Kitab HT yang ditulis Syeikh Taqiyuddin, itu benar-benar kitab yang istimewa, menurut saya waktu itu. HT itu persis NU, hanya HT memperjelas dan mempertegas hal-hal yang selama ini agar kurang jelas. Maksud kurang jelas, tidak berarti bahwa kitab-kitab ulama NU tidak membahas hal itu. Tidak. Kitab-kitab ulama yang membahas itu sanagat banyak. Tetapi karena kitab ulama itu sangat banyak, dan terkadang terjadi ikhtilaf. Lalu, dari ikhtilaf itu tidak ada yang melakukan tarjih. Sehingga banyaknya pendapat itu terkadang membuat para santri kurang tegas dalam mengambil sikap. Tentu saja ini bukan hal yang salah.

Sementara HT mengapresiasi berbagai ikhtilaf di kalangan ulama, lalu HT mengambilnya yang menurutnya lebih rajih. Ini yang membuat gagasan HT terkesan lebih tegas. Lagi pula, HT selalu membandingkan pemahamannya dengan kondisi saat ini, di dunia kontemporer. HT membandingkan antara Islam, Kapitalisme, dan Komunisme hampir dalam segala hal. Dengan perbandingan ini, membuat HT memiliki determinasi yang lebih tegas dan jelas. Misalnya tentang mua’malah, baik NU atau HT sama-sama membahas tentang syirkah, dan kesimpulannya sama. Namun, HT tidak sekedar mengkaji dalil-dalinya, HT menambah pembahasan dengan mengkaji fakta berbagai syirkah yang sekarang ada di dunia kontemporer, menelitinya dengan hati-hati. Sehingga tampak lebih jelas, mana yang absah dan mana yang bathil.

Jadi, tidak ada beda yang berarti antara HT dan NU.

Sampai akhirnya, muncul generasi muda yang pulang mencari ilmu dari Amerika, Kanada, Eropa dan lain-lain. Mereka membawa gagasan yang aneh dan tidak dikenal dalam pemikiran NU. Namun, karena mereka adalah anak kyai-kyai yang karismatik dan mukhlis, meski gagasannya aneh, mereka tetap diterima sebagai bagian dari tradisi dan keilmuan NU yang holistik. Mereka mulai mencampurkan berbagai gagasan yang bersandar pada pemikiran barat, dan lambat laun mereka menduduki posisi kunci, baik secara kultural maupun politis. Akibatnya, gagasan NU yang semula bersih dan lurus, menjadi agak bergeser. Pada titik ini, NU memang sangat berbeda dengan HT.

Karena itu, untuk memahami gagasan NU, ada baiknya kita membaca kitab-kitab Syeikh KH. Hasyim Asy’ari. Itulah gagasan NU. Dari sana, kita tidak akan dibingungkan dengan istilah “NU Garis Lurus”, “Generasi Muda NU”, “Pembela Ulama”, dan lain sebagainya.

Jadi, dengan mengkaji secara jujur terhadap kitab dua ulama besar: Syeikh. KH Hasyim Asy’ari dan Syeikh Taqiyuddin Annabhani, kita akan dapat memposisikan NU dan HT pada tempat yang proporsional.