Senin, 10 November 2014

Keunggulan Pendidikan Berbasis Komunitas


GERAKAN reformasi 1998, yang semestinya memberikan perubahan bagi dunia pendidikan nasional, ternyata justru melahirkan ambiguitas yang meresahkan. Ambiguitas tersebut antara lain, pertama, mengenai goals setting yang ingin dicapai dari sistem pendidikan.Judul Buku : Pendidikan Alternatif: Qariah Thayyibah
Penulis : Ahmad Bahrudin
Penerbit : L-KiS, Yogyakarta
Cetakan : I, Januari 2007
Tebal Buku : xix + 286 halaman
Harga : Rp 25.000,00

Hingga saat ini, sekolah formal masih memosisikan anak didik pada orientasi pasar (market student) sehingga pendidikan tidak lagi berbasis pada keilmuan dan kebutuhan bakat anak didik. Kedua, munculnya mitologi ruang pendidikan yang dikukuhkan dengan ritual pendidikan. Pada awal kalender akademik misalnya, kita akan menjumpai ritual kompetisi, pemilihan sekolah favorit, uang gedung, uang seragam, dan ritual lainnya yang mesti dipatuhi. Ketiga, pemerintah justru menjadi penjaga utama mitos tersebut. Dengan bangga pemerintah memilih posisi untuk berpihak pada kalangan elite dan menutup harapan kaum miskin untuk duduk di bangku sekolah favorit.

Kekecewaan terhadap sistem pendidikan yang tidak berpihak pada rakyat miskin itulah yang menjadi inspirasi utama Bahrudin, untuk segera menggagas model pendidikan yang diharapkan menjadi tumpuan bagi anak-anak petani di desanya, untuk menuntut ilmu pengetahuan dalam rangka mempercepat proses terciptanya desa yang indah, beradab, dan berkeadilan (Qariah Thayyibah).

Berbasis komunitas

Kita ingat, tahun 1970-an Ivan Illich pernah melontarkan gagasan kontroversial tentang Deschooling Society (masyarakat tanpa sekolah). Illich meramalkan, jika pengetahuan dan tingkat kedewasaan masyarakat sudah berkembang dengan wajar, institusi-institusi pendidikan formal tidak lagi diperlukan. Masyarakat akan mampu menjalankan fungsi pendidikan lewat elemen sosial budaya yang luas, tanpa harus terikat dengan otoritas kelembagaan seperti sekolah.

Dalam pandangan Lembaga Qariah Thayyibah sekolah harus dikembalikan pada habitatnya yang lebih dikenal sebagai pengorganisasian pendidikan bagi sistem formal untuk tidak menjadi satu-satunya jalan keluar. Masyarakat harus secara kreatif menentukan berbagai model pendidikan yang mampu menyelesaikan problem yang terjadi pada masyarakatnya sendiri, dengan membuat model pendidikan yang responsif terhadap penyelesaian problem sesuai dengan konteks masyarakat. Bagi Bahrudin, model pendidikan yang tepat adalah model sekolah komunitas yang memungkinkan masyarakat sendiri merefleksikan pendidikan sebagai sistem pembudayaan yang menghargai apa yang menjadi keyakinan dan pengetahuan sebagai basis aspirasi bagi kehidupan mereka.

Oleh karena itu, pengetahuan harus dikembalikan pada realitas aslinya. Sebab, pengetahuan adalah abstraksi dari realitasnya sehingga yang paling tepat dipelajari adalah belajar dalam realitas itu sendiri karena dengan begitu, pengetahuan mempunyai makna yang sebenarnya.
Buku ini –yang mengupas tuntas tentang sejarah dan keberhasilan pendidikan alternatif Qariah Thayyibah– merupakan tawaran riil yang lebih menjanjikan terhadap gersangnya tanah dunia pendidikan di Indonesia. Gagasan Bahrudin dalam mendirikan pendidikan alternatif berbasis komunitas ini, sangatlah brilian dan menakjubkan. Tak heran jika Naswil Idris, salah seorang dosen komunikasi dan peneliti untuk Asia Pacific Telecommunity mengatakan, bahwa SMP alternatif Qariah Thayyibah sejajar dengan Issy Les Mauleniauk di Prancis, Kecamatan Mitaka di Tokyo, dan lima komunitas lain di dunia yang dipandang sebagai keajaiban dunia ke tujuh.

November 5, 2007

Tragisnya Menjadi Siswa Indonesia
Pembodohan Siswa Tersistematis
M. Joko Susilo
Cetakan Pertama, Februari 2007
PINUS Book Publisher Yogyakarta
Tebal 239 halaman

Paradigma yang berkembang di dalam kultur masyarakat Indonesia (masih) menempatkan sekolah sebagai satu-satunya corong pendidikan. Masyarakat dalam perkembangannya selalu menuntut pendidikan dapat memberikan manfaat kepada anak-anak bangsa. Guru ditempatkan sebagai orang suci yang tidak pernah salah. Gelar “Pahlawan Tanpa Tanda Jasa” dulu memang pernah populer. Gelar itu disematkan khusus kepada para pelaku pendidikan yang tidak peduli kepada dirinya alias mengorbankan kepentingan pribadi demi mencerdaskan generasi muda Indonesia. Tetapi, apakah sekarang guru patut disematkan gelar tersebut? Namun, pada kenyataannya yang mau tidak mau harus kita maklumi, profesi guru di Indonesia merupakan tempat pelarian orang-orang yang gagal memperoleh pekerjaan yang (katanya) lebih menjamin kesejahteraan. (hal. 27) Karena profesi guru merupakan tempat pelarian, maka Indonesia pun hanya mencetak guru-guru yang tidak pantas untuk menjadi guru-Indonesia hanya melahirkan guru-guru yang text book. Akibatnya, penyelewengan terhadap tugas guru seperti yang diungkapkan oleh V. Setyasih Harini (pada Kompas Senin 20 Desember 2004, Guru Jangan Jualan Buku!”) menjadikan pendidikan Indonesia hanya semata ‘politik balas dendam’ dengan mengkomersialisasikan buku pelajaran dan mewajibkannya kepada murid. Bahkan ada oknum guru yang dengan enteng mengancam, jika tidak beli buku pelajaran (yang dia jual) maka sang murid nilainya akan jelek.

Dalam bukunya ini, Joko Susilo tidak saja menyoroti tentang guru, tetapi mempertanyakan loyalitas pemerintah terhadap perkembangan pendidikan di Indonesia. Apakah dana BOS (Bantuan Operasional Sekolah) telah benar-benar optimal, atau hanya sekedar pengalih isu terhadap penderitaan rakyat akibat kenaikan harga BBM dan kebutuhan pokok lainnya. (hal.69) Selain itu, Joko Susilo juga mempertanyakan kredibilitas orang tua yang sebenarnya bertanggungjawab penuh terhadap pendidikan anaknya. Bertanggungjawab tidak saja berarti tercukupinya kebutuhan material si anak, tetapi kasih sayang. Acap kali orang tua marah-marah kepada pihak sekolah jika anaknya nilainya kurang memuaskan apalagi terlibat perbuatan yang melanggar hukum (tawuran, malak atau mencuri). “Buat apa saya membayar mahal-mahal sekolah bila anak saya tidak diajar dengan becus” begitulah orang tua, padahal belum tentu kesalahan ada di pihak sekolah sepenuhnya. (hal. 74) Pendidikan yang mahal, egoisitas guru dan orang tua, dan pemerintah yang masih memposisikan pendidikan sebagai bidang yang sekunder-itulah yang membuat siswa ataupun murid sekolah di Indonesia menjadi ‘bodoh’ karena terlalu bingung memikirkan masalah yang seharusnya tidak perlu dipikirkan untuk anak-anak seumuran mereka yang haus akan pendidikan-sekolah. Tentunya kita masih ingat lagunya Iwan Fals, yang berjudul “Sore Tugu Pancoran”. Pertanyaannya, apakah nurani kita (pelaku pendidikan Indonesia, dan masyarakat (dewasa) Indonesia) terlalu bebal sehingga sampai hati membiarkan Budi-Budi kecil yang banyak bersliweran di persimpangan jalanan kota?

Pada bab terakhir buku ini, Joko Susilo mengutip pendapat Frietz R. Tambunan yang menyampaikan pesan revolusioner: masyarakat yang demokratis harus menyediakan kesempatan pendidikan yang sama bagi semua warganya serta kualitas pendidikan yang sama. (hal. 224-225) Hakikat pendidikan yang demokratis adalah pemerdekaan. Tujuan pendidikan dalam suatu negara yang demokratis adalah membebaskan anak bangsa dari kebodohan, kemiskinan dan berbagai “perbudakan” lainnya. (hal. 225) Terlepas dari itu, tentunya Joko Susilo dan semua kita masih berharap agar pendidikan Indonesia bisa berjalan kondusif tanpa ada campur tangan kepentingan pragmatis yang membuat generasi muda Indonesia tidak bisa sekolah. Semoga adagium “Orang Miskin Dilarang Sekolah”, cepat-cepat sirna dan berubah menjadi “Orang Miskin Gratis Untuk Sekolah”.

Potret Pendidikan Indonesia

 Dalam UUD 1945 Pasal 31 ayat 1 dan 2 disebutkan bahwa setiap warga negara berhak mendapatkan pendidikan, setiap warga negara wajib mengikuti pendidikan dasar dan pemerintah wajib membiayainya. Negara memprioritaskan anggaran pendidikan sekurang-kurangnya 20% dari APBN dan APBD.

Namun, apakah anak-anak di negeri khatulistiwa ini sudah mendapatkan haknya? Sudahkah anak-anak Indonesia mendapatkan pendidikan yang nyaman, adil dan sejahtera?

Melihat fakta saat ini, di Indonesia pada tahun 2007 tercatat ada 11,7 juta jiwa anak putus sekolah. Hanya 80% saja yang bertahan hingga lulus dan 60%nya yang melanjutkan ke SMP dan sederajat. Pengamat Pendidikan, Muhammad Zuhdan, sebagaimana dilansir suaramerdeka.com, 09/03/2013, menyebutkan bahwa tercatat ada 1,3 juta anak usia 7-15 tahun di Indonesia terancam putus sekolah.

Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI)  memperkirakan ada lebih dari 11,7 juta anak usia sekolah di Indonesia yang belum bisa baca tulis alias BUTA AKSARA.

Menurut Sekjen Komnas Perlindungan Anak, Arist Merdeka Sirait, kasus putus sekolah yang paling menonjol tahun 2013 terjadi di tingkat SMP, yaitu 48 %. Adapun di tingkat SD tercatat 23%. Sedangkan presentase jumlah putus sekolah di tingkat SMA adalah 29%.

Ya, anak bangsa yang putus sekolah itu sebagian besar berasal dari keluarga kurang mampu. Faktor ekonomi yang menjadi hambatannya. Mereka tidak bisa membayar biaya sekolah yang tinggi. Hingga akhirnya memaksa mereka berhenti sekolah dan memilih untuk bekerja di usia sekolah.

Biaya pendidikan memang sangat mahal. Namun, problem yang terjadi dalam dunia pendidikan Indonesia bukan hanya itu. Masalah lainnya yaitu bangunan sekolah yang rusak bahkan tak layak untuk digunakan sebagai tempat belajar. Departemen Pendidikan Nasional mencatat bahwa pada tahun 2007 hampir 50% ruang kelas di sekolah dasar (SD) dan Madrasah Ibtidaiyah (MI) di Indonesia rusak dan tidak layak.

Belum lagi kecurangan dan bocornya soal Ujian Nasional (UN). UN yang membuat siswa stress hingga akhirnya menyontek bahkan sampai bunuh diri karena hasilnya yang tidak sesuai dengan apa yang diharapkan. Kemudian masalah kurikulum yang diubah-ubah. Saat kurikulum 2013 diterapkan ratusan ribu guru di PHK dan 62% guru tidak mendapat pelatihan hingga masa pensiun.

Tawuran, pergaulan bebas, guru tidak berkualitas, gaji guru yang tak mencukupi, siswa yang berani berbuat mesum dengan teman sekolahnya. Program KRR (Kesehatan Reproduksi Remaja) yang saat ini sudah dimasukkan dalam kurikulum di sekolah menengah. Padahal materi dan metodenya sangat liberal. Hanya membekali remaja agar prilaku seksualnya ‘aman dan sehat’ dan terhindar dari resiko kehamilan dan penyakit seksual. Faktanya, sex bebas semakin merajalela.

Pertanyaannya, bukankah fakta-fakta ini sangat jelas bahwa pendidikan di Indonesia buruk? Pendidikan di Indonesia CARUT MARUT!

Bukankah fakta-fakta ini bertentangan dengan UUD 1945? Juga Pancasila yang menjanjikan keadilan dan kesejahteraan? Bukankah ini juga melanggar Hak Asasi Manusia?

Maka tak heran terjadi banyak aksi demo baik yang dilakukan siswa, guru, orang tua, lembaga pendidikan dan masyarakat. Bahkan Federasi Guru Indonesia, Ikatan Guru Indonesia dan Persatuan Guru Republik Indonesia juga menolak adanya UN.

Mengenyam pendidikan pun tak menjamin lulusan sekolah mendapatkan pekerjaan. Berapa banyak lulusan sarjana yang menganggur?

Liputan6.com, Jakarta : Jumlah pengangguran di Indonesia pada Agustus 2013 tercatat naik menjadi 7,39 juta dibandingkan periode yang sama di 2012 sebanyak 7,24 juta.

Dari 7,39 juta jumlah penggangguran Indonesia sebanyak 360.000-nya merupakan sarjana lulusan universitas masih menganggur.

Tentu keadaan ini berbanding terbalik dengan mereka, para wakil rakyat yang duduk di kursi pemerintahan. Pendidikan tinggi mereka dapatkan. Jabatan pun mereka dapat. Tapi sayangnya, sebagian dari mereka tidak bisa menghargai pendidikan yang telah didapatkannya. Pendidikan yang mereka miliki telah ternoda dan tercoreng karena ulah mereka sendiri. Nafsu mereka akan kehidupan duniawi hingga memakan uang haram. Korupsi. Ya.

Masih ingatkah kalian kasus Century, BLBI, BUMN, perpajakan dan korupsi dalam sektor pendidikan?

Berdasarkan data Indonesia Corruption Watch (ICW) tahun 2011, kasus suap terbanyak berasal dari sektor pendidikan. Dari 436 kasus yang ditangani penegak hukum, 54 kasus atau 12,4% berhubungan dengan korupsi di sektor pendidikan.

Saudaraku…

Inilah buah dari KAPITALISME yang diusung oleh negeri ini. Dalam sistem kufur ini, pendidikan hanya untuk mereka yang memiliki uang. Pendidikan Indonesia berada dalam cengkraman kapitalisme global. Orang miskin dilarang sekolah. Obral ijazah, jual beli nilai, mengubah kurikulum, guru tak berkualitas dan pendidikan yang menjadi orientasi bisnis memang sudha tak asing lagi bahkan telah menjadi hal yang lumrah dalam dunia pendidikan Indonesia. Pembodohan siswa TERSISTEMATIS!

Dalam sistem pendidikan saat ini mungkinkah mencetak generasi pemimpin yang akan memajukan negeri?

Ketika gelar lebih penting dari ilmu pengetahuan. Ketika uang dan kedudukan lebih penting dari integritas. Maka pendidikan di Indonesia telah kehilangan tujuan mulianya dan bangsa ini telah kehilangan pemimpin yang berkualitas secara SISTEMATIS. Padahal pendidikan sangat strategis dalam mewujudkan generasi pemimpin.

Saudaraku…

Sudikah kita berada dalam keadaan seperti ini?

Tak cukupkah semua penderitaan yang dialami anak negeri?

Penderitaan dari para calon pemimpin kita?

Lalu apa yang harus dilakukan?

Keadaan seperti ini memang membuat kita prihatin dan sedih. Namun hal ini bukan untuk dikasihani tapi DITANGGULANGI. Pemerintah seharusnya memberi perhatian lebih terhadap pendidikan.

Inilah buah dari tidak diterapkan syariat Islam di negeri yang penduduknya merupakan umat Muslim terbanyak se-dunia. Maka sudah saatnya sistem negara ini diganti menjadi syariat Islam. Sistem pendidikan Islam adalah solusi bagi pendidikan nasional.

Dalam Islam, pendidikan bukan hanya untuk umat Islam atau berorientasi pada akhirat semata. Non-Islam sebagai warga negara juga berhak mendapatkan pendidikan. Manusia khususnya umat Islam sangat dianjurkan menguasai ilmu pengetahuan dan teknologi untuk memudahkan urusan duniawi.

Saudaraku…

Untuk itu marilah kita bersama-sama berjuang menegakkan syariat Islam. Marilah kita bangkit dan berjuang dengan penuh keyakinan. Seluruh umat Islam berjuang hadapi tantangan perjuangan. Terus berjuang dan mewujudkan tegaknya syariat Islam.

Wahai seluruh umat Islam…marilah kita tegakkan khilafah! Allahu Akbar!